Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan dan Nabi kita Abul Qasim Muhammad dan keluarganya yang suci, dan laknat semoga selalu tertimpakan atas musuh-musuh mereka hingga hari Kiamat.

BAB I
HUKUM-HUKUM TAQLID

Masalah 1: Berkenaan dengan Ushuluddin, seseorang harus memiliki keyakinan yang kokoh, dan keyakinan ini jika terwujud melalui dalil dan cara apa pun, baik melalui argumentasi yang kuat, ucapan kedua orang tua maupun para mubaligh, hal itu sudah mencukupi meskipun ia sendiri tidak mampu untuk membawakan argumentasi.

Masalah 2: Berkenaan dengan hukum-hukum agama yang tidak dharuri[1] (hukum-hukum fiqih amaliah praktis), seseorang adakalanya mujtahid dan beramal sesuai dengan ijtihadnya sendiri, muqallid yang beramal sesuai dengan fatwa seorang mujtahid, atau jika ia mengenal cara untuk berihtiyath, maka ia harus beramal sesuai dengan ihtiyath sekiranya ia yakin sudah melaksanakan kewajibannya. Contoh, jika sebagian mujtahid berfatwa haram berkenaan dengan suatu amalan dan sebagian yang lain berfatwa tidak haram, maka janganlah ia mengerjakannya; jika sebagian mujtahid berfatwa wajib tentang sebuah amalan dan sebagian yang lain berfatwa sunnah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Begitu juga diwajibkan baginya untuk berihtiyath dalam cara melakukan ihtiyath. Artinya, seandainya suatu ihtiyath dapat dilakukan melalui beberapa cara dan jalan, maka wajib baginya untuk memilih cara dan jalan yang lebih sesuai dengan ihtiyath.

Masalah 3: Jika seorang mukallaf yang bukan mujtahid mengerjakan seluruh amalannya (baca: kewajibannya) tanpa bertaqlid dan ia pun tidak bertqalid, maka seluruh amalannya batal. Artinya, ia tidak dapat mencukupkan diri dengan amalan tersebut, dan ia harus beramal sesuai dengan masalah 15.

Masalah 4: Taqlid dalam hukum (fiqih) adalah beramal sesuai dengan fatwa seorang mujtahid. Dan kita harus bertaqlid kepada seorang mujtahid laki-laki, baligh, berakal, bermazhab Syi’ah Imamiah, anak halal, hidup dan adil. Maksud dari keadilan (di sini) adalah sebuah kemampuan (yang tertanam dalam) jiwa untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan dosa-dosa besar. Dan secara ihtiyath wajib, marja’ taqlid tidak boleh rakus terhadap dunia dan ia harus a’lam dari para mujtahid yang lain. Artinya, dalam memahami hukum Allah, ia harus lebih alim dari para mujtahid yang lain.

Masalah 5: Salah satu jalan untuk mengenal keadilan seseorang adalah lahiriahnya yang baik. Untuk mengetahuinya, kita dapat mengadakan hubungan langsung dengannya (dalam kehidupan sehari-hari) dan dalam berbagai kondisi yang berbeda kita melihat ia selalu menjaga hukum-hukum syari’at atau para tetangga dan penduduk (yang hidup di) daerahnya membenarkan kebaikannya.

Masalah 6: Jika dua orang mujtahid adalah sama dari sisi keilmuan, menurut ihtiyath wajib kita harus bertaklid kepada mujtahid yang lebih takwa dan wara’.

Masalah 7: Kita dapat mengenal mujtahid yang a’lam melalui tiga jalan berikut ini:

Pertama, kita sendiri mendapatkan keyakinan atau ketenangan hati (ithmi`nân) atas kea’laman seorang mujtahid, seperti kita sendiri memiliki wawasan cukup (khibrah) untuk mengenal seorang mujtahid yang a’lam.

Kedua, dua orang alim yang adil yang dapat mengenal seorang mujtahid a’lam membenarkan kea’laman seorang mujtahid dengan syarat dua orang alim lain yang adil tidak menentang kesaksian mereka berdua.

Ketiga, ketenaran ijtihad dan kea’laman seorang mujtahid sekiranya karena ketenaran tersebut kita memperoleh keyakinan atau ketenangan hati (akan kea’lamannya).

Masalah 8: Jika sulit bagi kita untuk menentukan mujtahid yang a’lam, maka kita harus bertaqlid kepada seorang mujtahid yang kita memiliki sangkaan (zhann) atas kea’lamannya. Bahkan, jika kita memberikan kemungkinan yang lemah (baca: tipis) atas kea’laman seorang mujtahid dan tidak memungkinan kea’laman mujtahid yang lain, maka kita harus bertaqlid kepada mujtahid tersebut. Begitu juga jika kita yakin bahwa dua orang mujtahid adalah sama dari sisi keilmuan atau salah satunya dimungkinkan kea’lamannya dan kita tidak memungkinkan kea’laman yang lain, maka kita wajib bertaqlid kepada mujtahid yang mungkin a’lam tersebut. Dan jika kita yakin bahwa ada beberapa mujtahid yang a’lam dari yang lain dan mereka adalah sama dari sisi kea’laman tersebut, maka kita harus bertaqlid kepada salah seorang dari mereka.

Masalah 9: Terdapat tiga cara dalam mendapatkan fatwa seorang mujtahid:

Pertama, mendengar dari mujtahid itu sendiri.

Kedua, mendengar dari dua orang adil yang menukil fatwanya. Mencukupkan diri dengan ucapan satu orang adil (dalam hal ini) tidak dibenarkan (isykâl) kecuali jika kita memperoleh keyakinan atau ketenangan hati (ithmi`nân) dari ucapannya itu.

Ketiga, melihat fatwa di risalah amaliahnya dengan syarat kita yakin dengan kebenaran risalah amaliah tersebut. Yaitu, kita yakin bahwa ia sendiri atau orang-orang kepercayaannya pernah menelaah seluruh isi risalah tersebut.

Masalah 10: Bertaqlid hanya diwajibkan berkenaan dengan hal-hal yang wajib dan haram. Adapun berkenaan dengan hal-hal yang sunnah, bertaqlid ridak diwajibkan,  kecuali sunnah-sunnah yang dimungkinkan wajibnya.

Masalah 11: Selama kita tidak yakin bahwa fatwa seorang mujtahid telah berubah, kita masih bisa mengamalkan apa yang tertulis di dalam risalah amaliah tersebut. Jika kita memberikan kemungkinan bahwa fatwanya sudah berubah, maka tidak diwajibkan bagi kita untuk menanyakannya.

Masalah 12: Diperbolehkan (bagi kita) untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid yang sudah meninggal dunia jika ia dan mujtahid yang masih hidup adalah sama dari sisi keilmuan. Jika salah satunya lebih a’lam, maka bertaqlid kepada yang a’lam adalah wajib. Tidak ada perbedaan dalam tetap bertaqlid kepada mujtahid yang sudah meninggal dunia antara amalan-amalan yang sudah pernah kita kerjakan dan amalan-amalan yang belum pernah kita kerjakan.

Masalah 13: Diperbolehkan (bagi kita untuk) berpindah dari bertaqlid kepada seorang mujtahid yang masih hidup kepada seorang mujtahid lain yang masih hidup juga jika keduanya adalah sama (dari sisi kea’laman). Jika mujtahid yang lain tersebut adalah a’lam, maka diwajibkan untuk berpindah kepadanya.

Masalah 14: Jika fatwa seorang mujtahid telah berubah, maka tidak diperbolehkan (bagi kita untuk) beramal sesuai dengan fatwa lamanya. Akan tetapi, jika fatwa lamanya itu sesuai dengan ihtiyath (kehati-hatian), maka secara ihtiyath wajib masih diperbolehkan (bagi kita) untuk mengamalkannya.

Masalah 15: Jika seorang mukallaf telah mengerjakan ibadahnya tanpa bertaqlid dan tidak mengetahui berapa jumlah ibadah tersebut, maka dalam hal ini, (1) jika ia yakin telah mengerjakan ibadah tersebut sesuai dengan fatwa mujtahid yang semestinya harus ditaqlidi olehnya (pada masa itu), maka seluruh ibadah tersebut adalah sah, dan (2) jika tidak demikian, maka ia harus mengqadha`nya sesuai dengan jumlah ibadah yang diyakininya. Hal ini pun jika marja’ taqlidnya yang sekarang berfatwa wajib untuk mengqadha`nya. Dan secara ihtiyath mustahab ia harus mengqadha`nya sekiranya ia yakin bahwa kewajibannya telah gugur.

Masalah 16: Diwajibkan bagi seorang mukallaf dalam masalah apakah wajib bertaqlid kepada a’lam atau tidak untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid yang a’lam.

Masalah 17: Jika seorang mujtahid adalah a’lam dalam hukum-hukum ibadah dan mujtahid yang lain adalah a’lam dalam hukum-hukum transaksi (mu’âmalah), secara ihtiyath wajib mukallaf harus membagi taqlidnya. Artinya, dalam hukum-hukum ibadah ia harus bertaqlid kepada mujtahid pertama dan dalam hukum-hukum transaksi ia harus bertaqlid kepada mujtahid kedua.

Masalah 18: Selama dalam masa pencarian mujtahid yang a’lam, diwajibkan (bagi kita) untuk beramal sesuai dengan ihtiyath.

Masalah 19: Jika mujtahid yang a’lam mengeluarkan fatwa berkenaan dengan sebuah masalah, maka tidak diperbolehkan bagi orang yang bertaqlid kepadanya untuk beramal sesuai fatwa mujtahid lain dalam masalah tersebut. Akan tetapi, jika ia hanya berihtiyath wajib, maka diperbolehkan bagi muqallidnya untuk beramal sesuai dengan ihtiyath tersebut atau merujuk kepada mujtahid lain yang dari sisi keilmuan lebih rendah darinya atau sama dengannya.


[1] Yang dimaksud dengan hukum-hukum dharuri dalam konteks fiqih amaliah praktis adalah hukum-hukum gamblang di dalam agama yang kewajibannya sudah disepakati oleh seluruh Muslimin, seperti asal kewajiban shalat. (Pen.)