PASAL III
HUKUM-HUKUM BERTAKHALLI
Masalah 61: Wajib bagi kita pada saat takhalli
(buang air besar dan kecil) dan pada waktu-waktu yang lain untuk menutupi aurat
dari (pandangan) orang-orang yang sudah mukallaf, meskipun mereka adalah muhrim
kita, seperti ibu, saudara dan saudari. Begitu juga dari (pandangan) orang gila
mumayiz dan anak kecil mumayiz yang dapat memahami yang baik dan
buruk. Akan tetapi, tidak wajib bagi suami-istri untuk menutupi aurat mereka dari
(pandangan) masing-masing.
Masalah 62: Tidak diharuskan bagi kita untuk menutupi
aurat dengan sebuah penutup khusus. Jika kita menutupinya dengan tangan, hal
itu sudah cukup.
Masalah 63: Ketika bertakhalli, tidak diperbolehkan
bagian depan badan kita, seperti perut dan dada untuk menghadap Kiblat atau kita membelakanginya.
Masalah 64: Jika pada saat takhalli bagian
depan badan kita menghadap Kiblat atau membelakanginya, akan tetapi kita
mengarahkan aurat ke selain arah Kiblat, maka hal itu tidak mencukupi (baca:
tidak diperbolehkan). Dan jika bagian depan badan kita tidak menghadap ke arah
Kiblat atau membelakanginya, berdasarkan ihtiyath wajib kita tidak boleh
untuk mengarahkan aurat kita ke arah Kiblat.
Masalah 65: Pada saat menyucikan tempat keluarnya air
besar dan kecil atau istibra`, diperbolehkan bagi kita untuk menghadap
atau membelakangi Kiblat. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab pada
kondisi ini pun kita jangan menghadap atau membelakangi Kiblat.
Masalah 66: Jika kita terpaksa harus menghadap atau
membelakangi Kiblat supaya orang yang bukan muhrim tidak melihat kita (saat
bertakhalli), maka kita harus duduk menghadap atau membelakangi Kiblat. Begitu
juga, jika karena faktor lain kita terpaksa harus duduk menghadap atau
membelakangi Kiblat, maka hal itu tidak ada larangan.
Masalah 67: Berdasarkan ihtiyath wajib tidak
boleh bagi kita untuk mendudukkan anak kecil menghadap atau membelakangi Kiblat
ketika ia bertakhalli. Akan tetapi, jika ia sendiri yang duduk (menghadap atau
membelakangi Kiblat), maka tidak wajib bagi kita untuk mencegahnya.
Masalah 68: Di empat tempat (berikut ini) bertakhalli
adalah haram:
Pertama, di gang-gang buntu jika orang-orang yang
tinggal di sekitarnya tidak mengizinkan.
Kedua, di tanah milik seseorang yang tidak
memberi izin (untuk itu).
Ketiga, di tempat yang telah diwakafkan untuk
golongan tertentu, seperti sebagian sekolah.
Keempat, di atas kuburan mukminin jika hal itu
adalah penghinaan bagi mereka.
Masalah 69: Saluran air kencing tidak bisa suci
dengan selain air. Jika kita mencucinya sekali setelah air kencingnya habis, hal
itu sudah cukup, sekalipun berdasarkan ihtiyath mustahab kita dianjurkan
untuk mencucinya sebanyak dua kali. Akan tetapi, seseorang yang air kencingnya
keluar bukan dari saluran normalnya, ia harus mencucinya sebanyak dua kali, khususnya
jika keluarnya air kencing dari tempat itu dianggap sesuatu yang tidak biasa.
Masalah 70: Jika kita mencuci tempat keluarnya air
besar dengan menggunakan air, maka tidak boleh ada sisa air besar yang tersisa
di tempat itu. Akan tetapi, jika warna dan baunya saja yang tersisa, maka tidak
ada masalah. Jika pada kali pertama mencuci sudah tidak ada air besar yang
tersisa (di tempat keluarnya), mencuci untuk kedua kalinya tidaklah wajib.
Masalah 71: Jika kita telah membersihkan air besar
dari tempat keluarnya dengan menggunakan batu, segumpal tanah dan yang
sejenisnya, maka tidak ada larangan (bagi kita) untuk mengerjakan shalat (dengan
cara penyucian semacam ini) meskipun kesucian tempat itu masih diragukan (mahal-le
ta`ammol).
Masalah 72: Tidak wajib bagi kita untuk membersihkan
tempat keluarnya air besar itu dengan menggunakan tiga biji batu atau tiga
potong kain. Bahkan, jika kita menggunakan ujung-ujung sebiji batu atau
sepotong kain, hal itu sudah cukup. Tapi, hal itu tidak boleh kurang dari tiga
kali penyucian. Jika kita menyucikan tempat keluarnya dengan menggunakan
tulang, kotoran binatang atau segala sesuatu yang harus dihormati, seperti
secarik kertas yang bertuliskan nama Allah, maka kita tidak dapat mengerjakan
shalat (dengan cara penyucian seperti ini).
Masalah 73: Dalam tiga kondisi (berikut ini) tempat
keluarnya air besar hanya dapat disucikan dengan menggunakan air:
Pertama, ada najis lain seperti darah yang keluar
bersamanya.
Kedua, ada benda najis lain dari luar yang
terciprat kepadanya.
Ketiga, air besar keluar sedemikian rupa
sehingga melebihi batas normal salurannya, (seperti orang yang sedang mencret).
Di selain tiga
kondisi itu, tempat keluar air besar dapat dicuci dengan menggunakan air atau dengan
kain, batu dan yang sejenisnya, sekalipun menyucikannya dengan menggunakan air
adalah lebih baik.
Masalah 74: Jika kita ragu apakah kita sudah
menyucikan tempat keluarnya air besar atau belum, berdasarkan ihtiyath wajib
kita harus menyucikannya meskipun kebiasaan kita setiap selesai buang air kecil
atau besar adalah bersuci secara langsung.
Masalah 75: Jika kita ragu setelah mengerjakan shalat
apakah kita sudah menyucikan tempat keluarnya air kencing atau air besar, maka
shalat yang telah kita kerjakan adalah sah. Akan tetapi, untuk mengerjakan
shalat-shalat berikutnya, kita harus menyucikannya.
Istibra`
Masalah 76: Istibra` adalah sebuah amalan
sunah yang dilakukan oleh kaum lelaki setelah selesai buang air kecil. Istibra`
ini memiliki beberapa cara. Dan cara yang terbaik adalah setelah selesai kencing,
kita mencuci tempat keluarnya jika ia najis. Setelah itu, kita mengurut saluran
keluarnya dimulai dari tempat keluarnya air besar hingga pangkal kemaluan
dengan menggunakan jari tengah tangan kiri sebanyak tiga kali. Kemudian, kita
meletakkan ibu jari di atas kemaluan dan jari telunjuk di bawah kemaluan, lalu
mengurutnya hingga batas khitan sebanyak tiga kali. Setelah itu, kita menekan
ujung kemaluan sebanyak tiga kali.
Masalah 77: Cairan yang biasanya keluar dari
seseorang setelah “bercanda” dengan istri (foreplay) yang dinamakan madzi
adalah suci. Bagitu juga cairan yang kadang-kadang keluar setelah air sperma
keluar yang dinamakan wadzi adalah suci. Dan cairan yang kadang-kadang
keluar setelah buang air kencing yang dinamakan wadi adalah suci. Oleh
karena itu, jika kita melakukan istibra` setelah buang air kecil, lalu setetes
cairan keluar dan kita ragu apakah cairan itu adalah air kencing atau salah
satu dari tiga cairan di atas, maka cairan itu adalah suci.
Masalah 78: Jika kita ragu apakah sudah melakukan istibra`
atau belum dan setetes cairan yang tidak kita ketahui apakah ia suci atau najis
keluar dari (saluran kencing) kita, maka cairan itu adalah najis. Dan
seandainya kita telah berwudhu sebelumnya, maka wudhu kita adalah batal. Akan tetapi,
jika kita ragu apakah istibra` yang telah kita lakukan itu adalah betul
atau salah dan cairan yang tidak kita ketahui apakah ia adalah suci atau najis
keluar dari (saluran kencing kita), maka cairan itu adalah suci dan tidak
membatalkan wudhu tersebut.
Masalah 79: Jika seseorang tidak melakukan istibra` dan ia
yakin bahwa tidak ada air kencing yang tersisa di saluran kencingnya setelah
beberapa waktu berlalu dari ia buang air kecil, lalu ia menemukan setetes cairan
dan ragu apakah ia suci atau tidak, maka cairan tersebut adalah suci dan tidak
membatalkan wudhunya.
Masalah 80: Jika seseorang melakukan istibra`
dan berwudhu setelah buang air kecil, dan setelah berwudhu ia menemukan setetes
cairan yang diyakininya air kencing atau mani, maka wajib baginya—secara ihtiyath—untuk
melakukan mandi dan berwudhu. Akan tetapi, jika ia belum berwudhu, maka cukup
baginya untuk berwudhu saja.
Masalah 81: Kaum wanita tidak perlu melakukan istibra`.
Dan jika mereka menemukan setetes cairan dan ragu apakah suci atau najis, maka
cairan itu adalah suci dan tidak membatalkan wudhu dan mandinya.
Hal-hal yang Sunah
dan Makruh Saat Takhalli
Masalah 82: Ketika bertakhalli, disunahkan bagi kita
untuk duduk di sebuah tempat yang sekiranya orang lain tidak melihat kita.
Ketika hendak masuk ke tampat takhalli, hendaknya kita mendahulukan kaki kiri
dan ketika keluar dari tempat itu hendaknya kita mendahulukan kaki kanan. Begitu
juga disunahkan bagi kita di saat bertakhalli untuk menutup kepala dan
membebankan berat badan kita ke kaki kiri.
Masalah 83: Ketika bertakhalli, dimakruhkan untuk
duduk menghadap matahari dan bulan. Akan tetapi, jika kita menutupi aurat kita
dengan sebuah penutup, maka hal itu tidak makruh. Begitu juga, ketika
bertakhalli dimakruhkan untuk duduk menantang angin, membuang hajat di
gang-gang, jalan raya, di depan pintu rumah, di bawah pohon yang sedang
berbuah, sambil makan, diam sangat lama (di tempat takhalli), dan membersihkan
(tempat keluarnya air besar dan kecil) dengan tangan kanan. Begitu juga, berbicara
di saat bertakhalli. Akan tetapi, jika kita terpaksa harus berbicara atau
berzikir kepada Allah, maka tidak ada masalah.
Masalah 84: Kencing dalam keadaan berdiri, kecing di
atas tanah yang keras, sarang binatang dan di air, khususnya air yang tergenang
adalah makruh.
Masalah 85: Menahan buang air kencing dan air besar
adalah makruh. Jika hal itu berbahaya (bagi kita), jangan sampai kita
menahannya.
Masalah 86: Disunahkan bagi kita untuk buang air
kecil sebelum mengerjakan shalat, tidur dan jima’, serta setelah keluar mani.
|