PASAL VIII WUDHU
Masalah
241:Dalam berwudhu wajib bagi kita untuk membasuh wajah dan kedua tangan, dan
mengusap bagian depan kepala dan bagian atas kedua kaki.
Masalah
242:Dari sisi panjang kita harus membasuh wajah dimulai dari dahi (tepatnya
dari tempat tumbuhnya rambut) hingga janggut dan dari sisi lebar seukuran
cakupan ibu jari dan jari tengah telapak tangan. Jika sebagian dari kadar
(wajib) tersebut tidak terbasuh, maka wudhu kita adalah batal. Dan supaya kita
yakin bahwa kadar wajib itu sudah pasti terbasuh, maka kita harus membasuh
sedikit melebihi kadar wajib tersebut.
Masalah
243:Jika ukuran wajah seseorang lebih besar atau telapak tangannya lebih kecil
dari ukuran normal umumnya masyarakat, maka ia harus memperhatikan mereka sampai
di batas mana membasuh wajah mereka, dan ia juga harus membasuh wajahnya hingga
batas mereka membasuh wajah. Akan tetapi, jika kedua tangan dan wajahnya berbeda
dengan ukuran normal umumnya masyarakat dan ukuran kedua bagian itu serasi
dengan bagian yang lain, maka tidak wajib baginya untuk memperhatikan ukuran
normal umumnya masyarakat. Ia harus berwudhu sesuai dengan cara yang telah
disebutkan di atas. Begitu juga, jika dahinya ditumbuhi rambut atau bagian depan
kepalanya botak, maka ia harus berwudhu sebagaimana manusia normal
lainnya.
Masalah
244:Jika kita memberikan kemungkinan bahwa masih terdapat daki atau benda lain
yang terdapat alis mata, sudut mata dan bibir yang dapat mencegah masuknya air
ke kulit (pada saat berwudhu), maka kita harus menghilangkannya terlebih dahulu
sebelum berwudhu jika kemungkinan yang kita miliki itu adalah sesuatu yang layak
(diperhatikan) di mata masyarakat umum (’urf).
Masalah
245:Jika kulit wajah terlihat dari sela-sela jenggot, maka kita harus
membasuhnya, dan jika tidak terlihat, maka cukup bagi kita untuk membasuh
jenggot tersebut saja dan tidak wajib untuk menyampaikan air ke bawah
jenggot.
Masalah
246:Jika kita ragu apakah kulit wajah itu terlihat dari sela-sela jenggot atau
tidak, maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus membasuh jenggot dan
menyampaikan air ke kulit tersebut.
Masalah
247:Tidak wajib membasuh bagian dalam hidung dan pinggiran bibir dan mata yang
ketika tertutup bagian itu tidak tampak (dari luar). Akan tetapi, supaya kita
yakin semua bagian yang wajib dibasuh telah terbasuh (dengan sempurna), maka
kita juga harus membasuh sebagian dari bagian (yang tak terlihat) tersebut.
Masalah
248:Berdasarkan ihtiyath wajib kita harus membasuh wajah dimulai dari
atas hingga ke bawah, dan jika kita membasuhnya dimulai dari bawah ke atas, maka
wudhu kita adalah batal. Dan kita wajib membasuh tangan dimulai dari siku-siku
hingga ujung jari.
Masalah
249:Jika kita hanya membasahi telapak tangan dan mengusap wajah dan tangan
dengan telapak tangan yang basah tersebut, maka hal itu sudah cukup (dalam
membasuh) jika kebasahan tangan tersebut sedemikian rupa sekiranya air itu
mengalir di atas wajah dan tangan.
Masalah
250:Setelah membasuh wajah, wajib bagi kita untuk membasuh tangan kanan, lalu
tangan kiri dimulai dari siku-siku hingga ujung jari.
Masalah
251:Supaya kita yakin seluruh bagian siku-siku telah terbasuh (dengan
sempurna), maka kita juga harus membasuh sedikit melebihi batas siku-siku
tersebut.
Masalah
252:Jika kita telah membasuh tangan hingga pergelangan tangan sebelum membasuh
wajah, maka di saat berwudhu kita harus membasuhnya kembali hingga ujung jari.
Dan jika kita hanya membasuhnya hingga pergelangan tangan saja, maka wudhu kita
adalah batal.
Masalah
253:Dalam berwudhu, membasuh wajah dan tangan untuk kali pertama adalah wajib
dan untuk kali kedua adalah boleh. Membasuhnya untuk kali ketiga dan seterusnya
adalah haram. Jika dengan satu genggam air satu anggota wudhu dapat terbasuh
dengan sempurna dan kita menuangkan air satu genggam tersebut dengan niat
berwudhu, maka hal itu sudah dihitung satu kali basuhan, baik kita meniatkannya
basuhan kali pertama atau tidak.
Masalah
254:Setelah membasuh kedua tangan, kita harus mengusap bagian depan kepala
dengan air yang tersisa di kedua tangan tersebut. Dalam hal ini tidak wajib bagi
kita untuk mengusapnya dengan tangan kanan atau dimulai dari belakang ke
depan.
Masalah
255:Tempat mengusap kepala adalah kepala bagian depan yang berada belakang
dahi. Jika kita mengusap bagian manapun dari bagian tersebut dengan kadar berapa
pun, maka itu sudah cukup, meskipun berdasarkan ihtiyath mustahab
hendaknya kita mengusapnya dengan seukuran satu jari dari sisi panjang dan tiga
jari tertutup dari sisi lebar.
Masalah
256:Tidak wajib mengusap kulit kepala. Bahkan, mengusap rambut bagian depan
kepala juga dibenarkan. Akan tetapi, jika rambut kita panjang sekiranya jika
kita menyisirnya rambut itu akan terurai ke dahi dan ke bagian-bagian yang lain,
maka kita harus mengusap pangkal rambut tersebut atau kita membuat belahan
rambut dan mengusap kulit kepala. Jika kita mengumpulkan rambut-rambut yang
terurai di dahi dan di bagian-bagian lain kepala di bagian depan kepala dan
mengusapnya atau mengusap rambut yang terdapat di bagian lain kepala yang
terurai, maka wudhu kita adalah batal.
Masalah
257:Setelah mengusap kepala, kita harus mengusap bagian atas kaki dimulai dari
salah satu ujung jari kaki hingga bagian tengah atas kaki yang agak meninggi
dengan menggunakan air yang tersisa di tangan.
Masalah
258:Tidak ada ketentuan ukuran khusus dari sisi lebar dalam mengusap kaki.
Seukuran berapa pun lebarnya adalah cukup, meskipun berdasarkan ithiyath
mustahab hendaknya kita membasuhnya dengan seluruh telapak tangan.
Masalah
259:Dalam mengusap kaki—berdasarkan ihtiyath wajib—kita harus meletakkan
telapak tangan di ujung jari kaki dan mengusapnya. Jika kita meletakkan seluruh
telapak tangan di atas kaki dan menggerakkannya sedikit, maka hal itu tidak
dibenarkan.
Masalah
260:Dalam mengusap kepala dan kaki, kita harus mengusapkan tangan di atas
keduanya. Jika kita menahan tangan kita dan menggerakkan kepala atau kaki, maka
wudhu kita adalah batal. Akan tetapi, ketika kita sedang mengusapkan tangan,
kepala atau kaki bergerak sedikit, maka hal itu tidak ada masalah.
Masalah
261:Tempat mengusap harus kering. Jika tempat itu basah sekiranya sisa air yang
berada di tangan kita tidak mampu untuk mempengaruhinya, maka mengusap (di
tempat itu) adalah batal. Akan tetapi, jika kebasahannya sangat sedikit
sekiranya setelah mengusapnya kebasahan yang berada di atasnya masih dikatakan
berasal dari sisa air yang terdapat di tangan kita, maka hal itu tidak ada
masalah.
Masalah
262:Jika untuk mengusap tidak ada sedikit air pun yang tersisa di telapak
tangan kita (baca:telapak tangan sudah kering), maka tidak boleh kita membasahi
telapak tangan dengan air baru dari luar. Akan tetapi, kita harus mengambil sisa
air yang masih tersisa di anggota wudhu yang lain dan mengusap dengan air
tersebut.
Masalah
263:Jika sisa air yang tersisa di telapak tangan hanya cukup untuk mengusap
kepala saja, maka kita dapat mengusap kepala dengan sisa air tersebut, dan untuk
mengusap kaki kita mengambil sisa air yang tersisa di anggota wudhu yang
lain.
Masalah
264:Mengusap di atas kaos kaki dan sepatu adalah batal. Akan tetapi, jika kita
tidak dapat melepas kaos kaki atau sepatu dikarenakan hawa sangat dingin atau
khawatir terhadap (serangan) pencuri, binatang buas dan yang semisalnya, maka
mengusap di atasnya tidak apa-apa, dan jika bagian atas sepatu itu adalah najis,
maka kita harus meletakkan sesuatu yang suci di atasnya dan mengusap sesuatu
yang suci tersebut.
Masalah
265:Jika bagian atas kaki adalah najis dan kita tidak dapat mencucinya sebelum
mengusap, maka wajib bagi kita untuk bertayamum.
Irtimasi
Masalah
266:Wudhu irtimasi adalah kita memasukkan wajah dan tangan ke dalam air
sambil berniat wudhu dengan memperhatikan kewajiban membasuh yang harus dimulai
dari atas ke bawah atau kita memasukkan kedua (anggota wudhu) tersebut ke dalam
air dan mengeluarkannya dari dalam air tersebut dengan niat berwudhu. Dan ketika
memasukkan kedua tangan ke dalam air kita berniat wudhu dan niat itu masih kita
miliki ketika mengeluarkannya dari dalam air dan hingga tetesan air (dari tangan
tersebut) tuntas, maka wudhu kita adalah sah.
Masalah
267:Dalam wudhu irtimasi wajah dan kedua tangan juga wajib dibasuh
dimulai dari atas ke bawah. Dengan demikian, ketika memasukkan wajah dan kedua
tangan ke dalam air kita berniat wudhu, maka kita harus memasukkan wajah ke
dalam air dimulai dari arah kening dan tangan dimulai dari siku-siku, dan jika
kita berniat wudhu ketika mengeluarkannya dari dalam air, maka kita harus
mengeluarkan wajah dari dalam air dimulai dari arah kening dan tangan dimulai
dari siku-siku.
Masalah
268:Jika kita melaksanakan wudhu irtimasi untuk satu anggota wudhu dan
selain irtimasi untuk anggota wudhu yang lain, maka hal itu tidak ada
masalah.
Doa-doa Sunah
ketika Berwudhu
Masalah
269:Ketika kita ingin berwudhu, disunnahkan bagi kita (untuk membaca doa-doa
berikut ini):
a. Doa ketika
memandang air (wudhu).
ÈöÓúãö Çááåö æó
ÇáúÍóãúÏõ öááåö ÇáøóÐöíú ÌóÚóáó ÇáúãóÇÁó ØóåõæúÑðÇ æó áóãú íóÌúÚóáúåõ äóÌöÓðÇ
b. Doa ketika
mencuci tangan.
Çóááøóåõãøó
ÇÌúÚóáúäöíú ãöäó ÇáÊøóæøóÇÈöíúäó æó ÇÌúÚóáúäöíú ãöäó ÇáúãõÊóØóåøöÑöíúäó
c. Doa ketika
berkumur.
Çóááøóåõãøó áóÞøöäöíú
ÍõÌøóÊöíú íóæúãó ÃóáúÞóÇßó æó ÃóØúáöÞú áöÓóÇäöíú ÈöÐößúÑößó
d. Doa ketika
istinsyâq (memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali
dengan tekanan).
Çóááøóåõãøó áÇó
ÊõÍóÑøöãú Úóáóíøó ÑöíúÍó ÇáúÌóäøóÉö æó ÇÌúÚóáúäöíú ãöãøóäú íóÔõãøõ ÑöíúÍóåóÇ æó
ÑóæúÍóåóÇ æó ØöíúÈóåóÇ
e. Doa ketika
membasuh wajah.
Çóááøóåõãøó ÈóíøöÖú
æóÌúåöíú íóæúãó ÊóÓúæóÏøõ Ýöíúåö ÇáúæõÌõæúåõ æóáÇó ÊõÓóæøöÏú æóÌúåöíú íóæúãó
ÊóÈúíóÖøõ Ýöíúåö ÇáúæõÌõæúåõ
f. Doa ketika
membasuh tangan kanan.
Çóááøóåõãøó ÃóÚúØöäöíú
ßöÊóÇÈöíú Èöíóãöíúäöíú æó ÇáúÎõáúÏó Ýöí ÇáúÌöäóÇäö ÈöíóÓóÇÑöíú æó ÍóÇÓöÈúäöíú
ÍöÓóÇÈðÇ íóÓöíúÑðÇ
g. Doa ketika
membasuh tangan kiri.
Çóááøóåõãøó áÇó
ÊõÚúØöäöíú ßöÊóÇÈöíú ÈöÔöãóÇáöíú æóáÇó ãöäú æóÑóÇÁö ÙóåúÑöíú æóáÇó ÊóÌúÚóáúåóÇ
ãóÛúáõæúáóÉð Åöáóì ÚõäõÞöíú æó ÃóÚõæúÐõ Èößó ãöäú ãõÞóØøöÚóÇÊö
ÇáäøöíúÑóÇäö
h. Doa ketika
mengusap kepala.
Çóááøóåõãøó ÛóÔøöäöíú
ÈöÑóÍúãóÊößó æó ÈóÑóßóÇÊößó æó ÚóÝúæößó
i. Doa ketika
mengusap kaki.
Çóááøóåõãøó
ËóÈøöÊúäöíú Úóáóì ÇáÕøöÑóÇØö íóæúãó ÊóÒöáøõ Ýöíúåö ÇáúÃóÞúÏóÇãõ æó ÇÌúÚóáú
ÓóÚúíöíú ÝöíúãóÇ íõÑúÖöíúßó Úóäøöíú íóÇ ÐóÇ ÇáúÌóáÇóáö æó
ÇáúÅößúÑóÇãö
Syarat-syarat
Wudhu
Syarat-syarat
sahnya wudhu adalah tiga belas macam:
Syarat
pertama, air wudhu harus
suci.
Syarat
kedua, air wudhu harus
mutlak.
Masalah
270:Berwudhu dengan menggunakan air najis dan air mudhâf adalah batal meskipun
kita tidak mengetahui tentang kemudhâfan dan kenajisannya atau lupa akan hal
itu. Jika kita telah mengerjakan shalat dengan wudhu tersebut, maka kita harus
mengulanginya dengan wudhu yang sah.
Masalah
271:Jika kita tidak memiliki air lagi selain air yang telah bercampur dengan
tanah dan menjadi mudhâf karena itu, maka kita harus bertayamum jika waktu
shalat telah sempit. Akan tetapi, jika waktu shalat masih banyak, maka kita
harus bersabar hingga air tersebut menjadi jernih kembali, dan berwudhu
dengannya.
Syarat
ketiga, air wudhu harus
mubah.
Masalah
272:Berwudhu dengan menggunakan air hasil ghashab atau air yang tidak
diketahui apakah pemiliknya rela atau tidak adalah batal. Akan tetapi, jika
sebelumnya ia telah meridhakannya dan kita tidak mengetahui apakah ia telah
mencabut kembali keridhaannya atau belum, maka berwudhu dengan menggunakan air
itu adalah sah. Begitu juga, jika kita menuangkan air wudhu bekas membasuh wajah
dan kedua tangan di tempat hasil ghashab, maka wudhu kita adalah
sah.
Masalah
273:Jika kita berwudhu dari kolam sebuah sekolah yang kita tidak mengetahui
apakah kolam itu telah diwakafkan untuk semua masyarakat atau khusus untuk para
pelajar yang tinggal di situ, maka wudhu kita itu adalah sah jika masyarakat
selalu berwudhu di kolam tersebut dan kelakuan mereka ini mengindikasikan izin
umum (untuk seluruh masyarakat).
Masalah
274:Jika kita tidak ingin mengerjakan shalat di sebuah masjid, maka tidak boleh
bagi kita untuk berwudhu di kolam masjid tersebut jika kita tidak mengetahui
apakah kolam itu telah diwakafkan untuk masyarakat umum atau hanya khusus untuk
orang-orang yang mengerjakan shalat di situ. Akan tetapi, jika masyarakat umum
yang tidak ingin mengerjakan shalat di masjid tersebut sering berwudhu di kolam
itu dan kelakuan mereka ini mengindikasikan adanya sebuah izin umum, maka kita
dapat berwudhu di kolam itu.
Masalah
275:Berwudhu di kolam losmen dan rumah-rumah penginapan bagi orang-orang yang
tidak tinggal di situ adalah sah dengan syarat orang lain yang tidak tinggal di
losmen dan rumah penginapan itu juga biasa berwudhu di kolam itu dan kelakuan
mereka ini mengindikasikan adanya sebuah izin umum.
Masalah
276:Berwudhu di sebuah sungai yang besar meskipun kita tidak mengetahui
keridhaan pemiliknya adalah sah. Akan tetapi, jika ia melarang kita untuk
berwudhu di sungai tersebut, maka berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh
bagi kita untuk berwudhu di sungai tersebut.
Masalah
277:Jika kita tidak mengetahui
atau lupa bahwa air wudhu (yang kita miliki) adalah hasil ghashab dan
berwudhu dengannya, maka wudhu kita adalah sah.
Syarat
keempat, bejana air wudhu harus
mubah.
Syarat
kelima, bejana tersebut tidak
terbuat dari emas dan perak.
Masalah
278:Jika air terdapat di dalam sebuah bejana hasil ghashab dan kita
tidak memiliki air lain selain itu, maka kita harus bertayamum. Jika kita tetap
berwudhu dengan menggunakan air tersebut, maka wudhu kita adalah batal. Jika
kita memiliki air lain selain air tersebut dan kita berwudhu secara
irtimasi di dalam bejana itu atau menuangkan air ke wajah dan kedua
tangan dengan menggunakan bejana itu, maka wudhu kita adalah batal. Akan tetapi,
jika kita mengambil air dari dalam bejana itu dengan menggunakan telapak tangan,
lalu menuangkannya ke wajah dan kedua tangan, maka wudhu kita adalah sah,
meskipun dari sisi menggunakan barang hasil ghashab, kita telah melanggar
sesuatu yang telah diharamkan. Berwudhu dengan menggunakan bejana yang terbuat
dari emas dan perak—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah sama (hukumnya)
dengan berwudhu dengan menggunakan bejana hasil ghashab.
Masalah
279:Jika kita berwudhu di sebuah kolam yang sebuah batu batanya adalah hasil
ghashab, maka wudhu kita adalah sah.
Masalah
280:Jika di halaman makam salah seorang imam as atau putra-putrinya yang
sebelumnya adalah sebuah pekuburan dibangun sebuah kolam atau kanal, maka
diperbolehkan bagi kita untuk berwudhu di kolam dan kanal tersebut jika kita
tidak mengetahui bahwa tanah halaman tersebut telah diwakafkan untuk
pekuburan.
Syarat
keenam, anggota-anggota wudhu
harus suci ketika kita membasuh dan mengusapnya.
Masalah
281:Jika sebelum selesai berwudhu anggota wudhu yang telah kita basuh dan usap
terkena najis, maka wudhu kita adalah sah.
Masalah
282:Jika tubuh selain anggota-anggota wudhu adalah najis, maka wudhu
kita—(dengan kondisi seperti ini)—adalah sah. Akan tetapi, jika kita belum
menyucikan tempat keluarnya air besar dan air kencing dari kedua kotoran
tersebut, maka sebaiknya kita menyucikannya terlebih dahulu, lalu kita berwudhu.
Masalah
283:Jika salah satu anggota wudhu adalah najis dan setelah berwudhu kita ragu
apakah anggota wudhu telah dicuci atau belum, maka wudhu kita adalah batal
ketika sedang berwudhu kita sadar bahwa kita tidak perhatian terhadap kesucian
dan kenajisan anggota wudhu itu. Dan jika kita sadar bahwa kita perhatian
terhadap masalah itu ketika sedang berwudhu atau ragu apakah perhatian terhadap
masalah itu atau tidak, maka wudhu kita adalah sah. Bagaimanapun juga, kita
harus mencuci anggota wudhu tersebut dengan air.
Masalah
284:Jika di wajah atau tangan terdapat bekas goresan (pisau) atau luka yang
darahnya tidak kunjung membengku dan air tidak membahayakan bagi luka tersebut,
maka kita harus memasukkannya ke dalam air kur atau air mengalir dan
menekan-nekannya hingga darahnya membengku. Setelah itu, kita harus berwudhu
secara irtimasi seperti cara yang telah disebutkan
sebelumnya.
Syarat
ketujuh, terdapat waktu yang cukup
untuk berwudhu dan mengerjakan shalat.
Masalah
285:Jika waktu shalat sangat sempit sekiranya jika kita berwudhu, seluruh
shalat atau sebagiannya akan dikerjakan di luar waktu, maka kita harus
bertayamum. Akan tetapi, jika waktu (yang diperlukan) untuk berwudhu dan
bertayamum adalah sama, maka kita harus berwudhu.
Masalah
286:Jika kita berwudhu, sedangkan kewajiban kita adalah tayamum karena
sempitnya waktu (shalat), maka wudhu tersebut adalah sah, baik kita berwudhu
untuk shalat tersebut atau untuk pekerjaan yang lain.
Syarat
kedelapan, niat qurbah. Yaitu
berwudhu demi melaksanakan perintah Allah. Jika kita berwudhu supaya (badan
kita) menjadi sejuk atau untuk tujuan yang lain, maka wudhu kita adalah batal.
Masalah
287:Tidak wajib bagi kita untuk mengucapkan niat tersebut dengan lisan atau
melintaskannya di dalam hati. Hendaknya kita harus sadar dalam semua tahapan
wudhu bahwa kita sedang berwudhu sekiranya jika kita ditanya sedang mengerjakan
apa, kita dapat menjawab, “Aku sedang berwudhu.”
Syarat
kesembilan, kita harus berwudhu
sesuai dengan urutan yang telah disebutkan. Yaitu pertama kali kita membasuh
wajah, tangan kanan, lalu tangan kiri. Setelah itu kita mengusap kepala dan
kedua kaki. Dan berdasarkan ihtiyath wajib kita harus mengusap kaki kanan
terlebih dahulu, lalu kaki kiri. Jika kita berwudhu tidak sesuai dengan urutan
tersebut, maka wudhu kita adalah batal.
Syarat
kesepuluh, kita harus melakukan
semua amalan wudhu itu secara berkesinambungan
(muwâlât).
Masalah
288:Jika antara amalan-amalan wudhu tersebut terdapat senggang waktu (yang
begitu panjang) sekiranya ketika kita ingin membasuh atau mengusap sebuah
anggota wudhu yang lain, semua anggota wudhu yang telah kita basuh atau usap
sebelumnya telah kering, maka wudhu kita adalah batal. Dan jika hanya satu
anggota wudhu sebelumnya yang kering, (sementara ada anggota wudhu yang lain
yang masih basah), maka sebaiknya kita memulai wudhu dari awal lagi. Contoh,
ketika kita ingin membasuh tangan kiri, tangan kanan kita sudah kering,
sementara wajah kita masih basah.
Masalah
289:Jika kita telah melaksanakan wudhu secara berkesinambungan, dan karena
panasnya cuaca, tubuh dan faktor-faktor lain seluruh anggota wudhu cepat
mengering, maka wudhu kita adalah sah.
Masalah
290:Tidak ada masalah jika kita berjalan ketika sedang berwudhu. Atas dasar
ini, jika kita melangkah beberapa langkah setelah membasuh wajah dan kedua
tangan, lalu kita mengusap kepala dan kedua kaki, maka wudhu kita adalah sah.
Syarat
kesebelas, kita sendiri yang harus
membasuh wajah dan kedua tangan dan mengusap kepala dan kedua kaki. Jika orang
lain yang melakukan wudhu terhadap kita atau membantu kita dalam berwudhu, maka
wudhu kita adalah batal.
Masalah
291:Jika kita tidak mampu untuk berwudhu sendiri, maka kita harus meminta
pertolongan kepada orang lain untuk melakukan wudhu terhadap kita. Jika ia
meminta upah untuk itu, maka kita harus memberinya jika kita mampu. Akan tetapi,
berdasarkan ihtiyath wajib penolong dan peminta tolong kedua-duanya harus
berniat wudhu dan si peminta tolong harus mengusap dengan tangannya sendiri.
Jika ia tidak dapat mengusap sendiri, maka penolongnya harus memegang tangannya
dan mengusapkannya di tempat usapan. Dan jika hal ini pun tidak mungkin, maka si penolong harus
mengambil air dari sisa air yang tersisa di tangan si peminta tolong dan
mengusap kepala dan kedua kakinya dengan sisa air tersebut. Dan berdasarkan
ihtiyath mustahab hendaknya ia juga bertayamum di samping wudhu tersebut.
Masalah
292:Setiap amalan wudhu yang dapat kita lakukan sendiri, tidak boleh kita
meminta pertolongan (kepada orang lain untuk
melakukannya).
Syarat kedua
belas, tidak ada halangan untuk
menggunakan air.
Masalah
293:Seseorang yang takut sakit jika ia berwudhu atau jika air (yang
dimilikinya) digunakan untuk berwudhu, ia akan menderita kehausan, maka
wudhunya—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah batal jika ia berwudhu (dengan
air itu). Akan tetapi, jika ia tidak mengetahui bahwa air berbahaya baginya dan
setelah berwudhu baru memahami bahwa air berbahaya baginya, maka wudhunya adalah
sah, meskipun—berdasarkan ihtiyath mustahab—hendaknya ia tidak
mengerjakan shalat dengan wudhu tersebut dan hendaknya bertayamum (untuk
mengerjakan shalat). Jika ia telah mengerjakan shalat dengan wudhu tersebut,
maka berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia mengulangi shalatnya.
Masalah
294:Jika membasuh wajah dan kedua tangan dengan sedikit air yang wudhu dapat
menjadi sah dengannya tidak berbahaya bagi kita, sedangkan lebih dari kadar itu
adalah berbahaya bagi kita, maka kita harus berwudhu dengan kadar sedikit
tersebut.
Syarat ketiga belas, tidak boleh ada penghalang di
anggota-anggota wudhu yang dapat menghalangi masuknya air.
Masalah
295:Jika kita mengetahui ada sesuatu yang melengket di anggota wudhu, akan
tetapi kita ragu apakah ia dapat mencegah masuknya air (ke anggota-anggota
wudhu) atau tidak, maka kita harus menghilangkannya (terlebih dahulu) atau
memasukkan air ke bawahnya.
Masalah
296:Jika di bawah kuku terdapat kotoran, maka kotoran itu tidak dapat
membahayakan wudhu. Akan tetapi, jika kita memotong kuku tersebut, maka kita
harus menghilangkan kotoran itu terlebih dahulu sebelum berwudhu. Begitu juga
jika kuku kita terlalu panjang melebihi ukuran biasanya dan kotoran yang berada
di bawahnya dianggap bagian luar kuku, maka kita harus menghilangkan kadar
kotoran yang berada di bawah kuku yang terlalu panjang dari kadar biasanya itu.
Masalah
297:Jika kulit wajah, tangan, bagian depan kepala dan bagian atas kaki melepuh
akibat kebakaran atau karena sebab lain, maka cukup bagi kita untuk membasuh dan
mengusap di atasnya. Jika kulit itu berlubang, maka tidak wajib kita memasukkan
air ke bagian bawah kulit (yang melepuh itu). Bahkan, jika sebagian kulit itu
terkelupas, maka tidak wajib kita memasukkan air ke bagian bawah kulit yang
belum terkelupas. Akan tetapi, jika kulit yang telah terkelupas itu
kadang-kadang lengket ke badan dan kadang-kadang tidak, maka kita harus
memotongnya atau menyampaikan air ke bagian bawah dan
atasnya.
Masalah
298:Jika kita ragu apakah ada sesuatu yang melengket di anggota wudhu atau
tidak, maka kita harus menelitinya terlebih dahulu jika keraguan kita tersebut
adalah sebuah keraguan yang layak (diperhatikan) di mata umumnya masyarakat.
Contoh, setelah bekerja dengan lumpur kita ragu apakah ada tanah yang masih
menempel di tangan atau tidak. Dalam hal ini kita harus menelitinya terlebih
dahulu atau menggosokkan tangan tersebut ke sebuah benda sehingga kita yakin
seandainya memang terdapat tanah yang masih menempel, tanah itu sudah hilang
atau air dapat masuk ke bagian bawahnya.
Masalah
299:Kotoran dan daki yang menempel di atas anggota wudhu tidak membahayakan
wudhu selama kotoran dan daki tersebut tidak menghalangi masuknya air. Begitu
juga, jika setelah mengapur (tembok) masih ada bekas putih yang melengket di
kulit tangan dan tidak menghalangi masuknya air ke kulit, maka bekas putih itu
tidak membahayakan wudhu. Akan tetapi, jika kita ragu apakah bekas putih itu
dapat menghalangi masuknya air ke kulit atau tidak, maka kita harus
menghilangkannya terlebih dahulu.
Masalah
300:Jika sebelum berwudhu kita mengetahui ada sesuatu yang dapat mencegah
masuknya air (ke kulit) di salah satu anggota wudhu dan setelah berwudhu kita
ragu apakah kita sudah menyampaikan air ke anggota wudhu tersebut atau belum,
maka wudhu kita adalah sah asalkan kita memberikan kemungkinan bahwa pada saat
berwudhu kita menyadari (hal itu).
Masalah
301:Jika di sebagian anggota wudhu terdapat sebuah penghalang yang
kadang-kadang air bisa menembus masuk ke bagian bawahnya dan kadang-kadang
tidak, dan setelah berwudhu kita ragu apakah air telah menembus bagian bawahnya
atau tidak, maka kita harus mengulangi wudhu tersebut asalkan kita mengetahui
ketika sedang berwudhu, kita menyadari bahwa air tidak masuk ke bagian bawahnya.
Masalah
302:Jika kita melihat sesuatu yang menghalangi masuknya air ke kulit menempel
di salah satu anggota wudhu setelah berwudhu dan kita tidak mengetahui apakah
benda itu sudah ada ketika kita sedang berwudhu atau menempel setelah wudhu
usai, maka wudhu kita adalah sah. Akan tetapi, jika kita yakin bahwa pada saat
berwudhu kita tidak melihat penghalang tersebut, maka kita harus mengulangi
wudhu.
Masalah
303:Jika kita ragu setelah berwudhu apakah ada penghalang yang menghalangi
sampainya air (ke kulit) di anggota wudhu atau tidak dan keraguan kita itu
adalah sebuah keraguan yang layak (diperhatikan) di mata orang-orang yang
berakal, maka wudhu kita adalah sah asalkan kita memberikan kemungkinan bahwa
pada saat berwudhu kita menyadari (adanya penghalang dan ketiadaannya
itu).
Hukum-hukum Wudhu
Masalah
304:Seseorang yang peragu dalam amalan dan syarat-syarat wudhu, seperti dalam
kesucian air dan bukan hasil ghashab, maka ia tidak perlu memperhatikan
keraguannya tersebut.
Masalah
305:Jika kita ragu apakah wudhu kita sudah batal atau belum, maka kita anggap
bahwa wudhu tersebut belum batal. Akan tetapi, jika setalah buang air keil kita
tidak melakukan istibra` dan berwudhu, lalu keluar cairan yang tidak kita
ketahui apakah cairan itu adalah air kencing atau cairan yang lain, maka wudhu
kita adalah batal.
Masalah
306:Seseorang yang ragu apakah sudah berwudhu atau belum, maka ia harus
berwudhu.
Masalah
307:Seseorang yang mengetahui bahwa ia telah berwudhu dan juga telah melakukan
suatu yang membatalkan wudhu, seperti buang air kecil, jika ia tidak mengetahui
mana yang telah dilakukannya terlebih dahulu, maka ia harus berwudhu jika hal
itu terjadi sebelum mengerjakan shalat. Jika hal itu terjadi di pertengahan
shalat, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali, dan jika hal
itu terjadi setelah shalat usai, maka ia harus berwudhu lagi dan mengulangi
shalat yang telah dikerjakannya itu.
Masalah
308:Jika kita ragu setelah mengerjakan shalat apakah kita sudah berwudhu atau
belum, maka shalat kita adalah sah asalkan kita memberikan kemungkinan bahwa
pada saat memulai shalat kita sadar (akan kesucian diri kita). Akan tetapi,
untuk shalat-shalat selanjutnya kita harus berwudhu.
Masalah
309:Jika kita ragu di pertengahan shalat apakah sudah berwudhu atau belum, maka
shalat kita adalah batal, kita harus berwudhu dan mengerjakan shalat kembali.
Masalah
310:Jika kita ragu setelah mengerjakan shalat apakah wudhu kita telah batal
sebelum mengerjakan shalat atau setelahnya, maka shalat yang telah kita lakukan
itu adalah sah.
Masalah
311:Seseorang yang memiliki penyakit sehingga air kencingnya selalu keluar
setetes demi setetes atau tidak mampu menahan keluarnya air besar, jika dari
awal waktu shalat hingga akhirnya ia masih memiliki kesempatan untuk berwudhu
dan mengerjakan shalat (karena air kencing dan air besarnya terhenti), maka ia
harus mengerjakan shalat pada kesempatan itu. Jika kesempatan itu hanya cukup
untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban shalat saja, maka ia harus mengerjakan
kewajiban-kewajiban shalatnya saja, dan meninggalkan hal-hal yang disunnahkan
dalam shalat, seperti azan, iqamah dan qunut.
Masalah
312:Jika ia tidak memiliki kesempatan untuk berwudhu dan mengerjakan shalat
serta air kencingnya selalu menetes beberapa kali di pertengahan shalat, maka ia
harus menyediakan bejana air di sisinya dan ketika air kencingnya menetes,
berdasarkan ihtiyath wajib ia harus berwudhu dan meneruskan sisa
shalatnya. Ia harus melakukan hal ini jika tidak menyulitkan (haraj)[1]
baginya. Begitu juga, jika ia memiliki sebuah penyakit yang menyebabkan air
besarnya keluar beberapa kali di pertengahan shalat, maka ia harus menyediakan
bejana air di sisinya dan ketika air besarnya keluar, ia harus berwudhu dan
meneruskan sisa shalatnya. Ia harus melakukan semua itu jika tidak terjadi
haraj baginya.
Masalah
313:Seseorang yang air besarnya keluar terus-menerus, jika ia masih dapat
mengerjakan sebagian shalatnya dengan berwudhu, maka ia harus mengulangi
wudhunya setelah setiap kali air besarnya keluar. Hal ini ia lakukan hingga
terjadi haraj baginya.
Masalah
314:Seseorang yang air kencingnya selalu menetes, jika di antara dua shalat air
kencingnya tidak keluar, maka ia dapat mengerjakan kedua shalatnya dengan satu
wudhu, dan tetesan-tetesan air kencing yang keluar di pertengahan shalatnya
tidak menjadi masalah, meskipun selayaknya ia melakukan ihtiyath. (Yaitu
ia hendaknya berwudhu lagi untuk mengerjakan shalat berikutnya).
Masalah
315:Seseorang yang air kencing atau air besarnya selalu keluar dan tidak dapat
mengerjakan sebagian dari shalat dengan wudhu sama sekali, maka ia dapat
mengerjakan beberapa shalat dengan satu wudhu, kecuali jika ia sendiri yang
sengaja buang air kecil dan buang air besar atau melakukan sesuatu yang
membatalkan wudhu lainnya.
Masalah
316:Jika ia memiliki sebuah penyakit sehingga terus buang angin, maka ia harus
melakukan kewajiban orang yang selalu keluar air besar.
Masalah
317:Seseorang yang air besarnya selalu keluar, maka ia harus berwudhu dan
langsung mengerjakan shalatnya. Akan tetapi, untuk mengerjakan sujud dan
tasyahud yang terlupakan serta shalat ihtiyath yang harus dikerjakan
setelah mengerjakan shalat, maka tidak wajib baginya untuk berwudhu kembali jika
ia mengerjakannya langsung setelah shalat.
Masalah
318:Jika air kencingnya keluar setetes demi setetes, maka ia harus membungkus
kemaluannya dengan sebuah kantong yang telah dipenuhi oleh kapas atau barang
lain yang dapat mencegah sampainya air kencing tersebut ke tempat lain untuk
setiap shalat. Dan sebelum mengerjakan shalat—berdasarkan ihtiyath
wajib—ia harus mencuci kemaluannya yang telah menjadi najis akibat air
kencing tersebut dan menyucikan kantong itu. Begitu juga jika ia tidak dapat
menahan keluarnya air besar, maka ia harus mencegah sampainya kotoran tersebut
ke tempat lain selama mengerjakan shalat jika hal itu mungkin baginya. Dan
berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mencuci tempat keluarnya air besar
itu untuk setiap shalat jika hal itu tidak mendatangkan haraj baginya.
Masalah
319:Jika seseorang tidak dapat menahan keluarnya air kencing dan air besarnya,
maka selama mungkin ia harus mencegah keluarnya kedua kotoran tersebut meskipun
hal itu memerlukan biaya. Dan jika penyakitnya mungkin disembuhkan, maka
berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengobatinya.
Masalah
320:Setelah orang tersebut sembuh dari penyakitnya (sehingga keluarnya air
kencing dan air besarnya dapat terkontrol kembali), tidak wajib baginya untuk
mengqadha shalat-shalat yang telah dikerjakannya sesuai dengan kewajibannya pada
waktu sakit. Akan tetapi, jika penyakitnya sembuh di pertengahan waktu (shalat),
maka ia harus mengulangi shalat yang telah dikerjakannya pada waktu
itu.
Hal-hal yang Mewajibkan
Wudhu
Masalah
321:Untuk mengerjakan enam pekerjaan berikut ini diwajibkan bagi kita untuk
berwudhu:
a. Shalat-shalat wajib selain shalat
jenazah.
b. Sujud dan tasyahud yang terlupakan jika
setelah mengerjakan shalat kita melakukan sesuatu yang dapat membatalkan wudhu,
seperti buang air kecil.
c. Tawaf wajib di
Baitullah.
d. Kita bernazar, berjanji atau bersumpah
untuk berwudhu.
e. Kita bernazar untuk menyentuhkan
sebagian badan kita kepada tulisan Al-Qur’an.
f. Mencuci Al-Qur’an yang terkena najis
atau mengeluarkannya dari WC dan yang semisalnya jika kita terpaksa harus
menyentuh tulisan Al-Qur’an tersebut dengan tangan atau bagian tubuh lainnya.
Akan tetapi, jika berwudhu yang pasti akan memakan beberapa saat dianggap
sebagai sebuah penghinaan terhadap Al-Qur’an, maka kita harus mengeluarkannya
dari WC tersebut tanpa harus berwudhu terlebih dahulu atau jika Al-Qur’an itu
najis, maka kita harus mencucinya, dan sedapat mungkin, jangan sampai kita
menyentuh tulisan Al-Qur’an tersebut.
Masalah
322:Menyentuh tulisan Al-Qur’an bagi orang yang tidak memiliki wudhu adalah
haram. Akan tetapi, jika Al-Qur’an itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Persia atau bahasa-bahasa yang lain, maka menyentuhnya tidak ada
masalah.
Masalah
323:Mencegah anak kecil dan orang gila dari menyentuh tulisan Al-Qur’an adalah
tidak wajib. Akan tetapi, jika menyentuh tersebut adalah sebuah penghinaan
terhadapnya, maka kita harus mencegah mereka.
Masalah
324:Orang yang tidak memiliki wudhu hendaknya—berdasarkan ihtiyath
wajib—tidak menyentuh nama Allah Ta’ala, baik nama itu ditulis dalam
bahasa apa pun.
Masalah
325:Jika kita berwudhu atau mandi sebelum tiba waktu shalat dengan tujuan
supaya kita berada dalam keadaan suci, maka wudhu dan mandi itu adalah sah.
Begitu juga, jika kita berwudhu dengan niat qurbah, maka hal itu sudah
mencukupi.
Masalah
326:Disunnahkan bagi kita untuk berwudhu ketika hendak mengerjakan shalat
jenazah, menziarahi kubur, pergi ke masjid dan makam para imam as. Begitu juga,
disunnahkan berwudhu ketika kita ingin membawa Al-Qur’an, membaca dan
menulisnya, menyentuh pinggirannya dan untuk tidur. Begitu juga, disunnahkan
bagi orang yang telah memiliki wudhu untuk memperbaharui wudhunya. Jika kita
berwudhu untuk salah satu pekerjaan di atas, maka kita dapat mengerjakan suatu
amalan yang disyaratkan berwudhu dengan wudhu tersebut. Contoh, mengerjakan
shalat.
Hal-hal yang Membatalkan
Wudhu
Masalah
327:Ada tujuh hal yang dapat membatalkan wudhu:
a. Air kencing
b. Air besar.
c. Angin yang keluar dari jalannya air
besar.
d. Tidur yang dapat mematikan fungsi
penglihatan mata dan pendengaran telinga. Akan tetapi, jika mata tidak melihat
dan telinga masih mendengar, maka wudhu kita tidak batal.
e. Segala sesuatu yang dapat menghilangkan
(fungsi) akal, seperti gila, mabuk dan pingsan.
f. Istihadhah. Hukum-hukumnya akan
dijelaskan nanti.
g. Segala sesuatu yang menyebabkan mandi,
seperti jenabah. Dan pemberlakuan hukum ini untuk menyentuh mayat didasarkan
pada ihtiyath.
Hukum-hukum Wudhu
Jabirah
Sesuatu yang kita gunakan untuk menutup
luka dan membalut bagian tubuh yang patah dan obat yang ditaburkan di atas luka
disebut jabirah (penutup luka).
Masalah
328:Jika di salah satu anggota wudhu terdapat luka, bisul atau luka memar, maka
kita harus berwudhu secara normal jika ia terbuka dan air tidak berbahaya
baginya.
Masalah
329:Jika luka, bisul atau luka memar itu terdapat di wajah dan tangan, maka
kita harus membasuh pinggirannya saja jika ia terbuka dan air berbahaya baginya.
Jika mengusapkan tangan yang basah di atasnya tidak berbahaya, maka berdasarkan
ihtiyath wajib kita harus mengusapkan tangan tersebut di atasnya. Jika
hal itu berbahaya baginya, maka kita harus meletakkan sehelai kain yang suci di
atasnya dan mengusapkan tangan basah itu di atas kain tersebut. Jika meletakkan
kain dan mengusap di atasnya itu juga berbahaya baginya atau luka itu adalah
najis dan tidak mungkin untuk dicuci, maka kita harus membasuh pinggirannya saja
dimulai dari atas ke bawah sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal wudhu. Dalam
asumsi terakhir ini, berdasarkan ihtiyath wajib kita juga harus melakukan
tayamum.
Masalah
330:Jika luka, bisul atau luka memar itu terdapat di bagian depan kepala atau
di bagian atas kaki dan ia terbuka, maka sekiranya kita tidak dapat mengusapnya,
kita harus meletakkan sehelai kain yang suci di atasnya dan mengusap kain
tersebut dengan air yang masih tersisa di tangan. Dan jika tidak mungkin untuk
meletakkan kain di atasnya, maka kita tidak perlu mengusap. Akan tetapi, setelah
wudhu itu usai kita harus bertayamum.
Masalah
331:Jika luka, bisul atau luka memar itu tertutup (perban), maka sekiranya
mungkin (perban itu) dibuka dan tidak menyulitkan bagi kita, serta air tidak
berbahaya baginya, kita harus membukanya dan berwudhu (secara normal), baik luka
dan yang semisalnya tersebut terdapat di wajah dan kedua tangan atau terdapat di
bagian depan kepala dan bagian atas kaki.
Masalah
332:Jika luka, bisul atau luka memar itu terdapat di wajah atau kedua tangan
dan (perbannya) bisa dibuka, maka sekiranya membasuhnya dengan air adalah
berbahaya dan mengusapnya dengan tangan yang basah tidak berbahaya baginya,
wajib bagi kita untuk mengusapnya dengan tangan yang basah.
Masalah
333:Jika perban luka itu tidak mungkin dibuka dan luka serta perbannya itu
adalah suci dan mungkin bagi kita untuk menyampaikan air ke luka serta hal itu
tidak berbahaya dan menyulitkan bagi kita, maka kita harus menyampaikan air ke
luka tersebut. Jika luka atau perbannya adalah najis, maka sekiranya mungkin
untuk mencucinya dengan air dan menyampaikan air ke atas luka tanpa menimbulkan
kesulitan bagi kita, kita harus mencucinya dengan air (terlebih dahulu) dan
ketika berwudhu kita harus menyampaikan air ke luka tersebut. Jika air berbahaya
bagi luka tersebut, tidak mungkin untuk menyampaikan air kepadanya atau luka
tersebut adalah najis dan tidak mungkin untuk dicuci dengan air, maka kita harus
membasuhnya sesuai dengan penjelasan yang telah berlalu di pasal wudhu. Jika
jabirah itu adalah suci, maka kita harus mengusapnya. Dan jika jabirah itu
adalah najis atau tidak mungkin bagi kita untuk mengusapnya dengan tangan yang
basah karena ia telah ditaburi obat yang dapat melengket ke tangan yang basah
misalnya, maka kita harus meletakkan sehelai kain yang suci di atas jabirah
tersebut sedemikian rupa sekiranya (menyatu dengannya) sehingga dapat dikatakan
sebagai bagian darinya dan kita mengusapnya dengan tangan yang basah. Dan jika
hal itu juga tidak mungkin, maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus
berwudhu (semampunya) dan bertayamum.
Masalah
334:Jika jabirah menutupi seluruh wajah atau salah satu dari dua tangan kita,
maka seluruh hukum wudhu jabirah berlaku dalam hal ini dan berwudhu jabirah
sudah mencukupi. Akan tetapi, jika jabirah tersebut menutupi mayoritas anggota
wudhu kita, maka hukum wudhu jabirah tidak berlaku dalam hal ini dan kita harus
bertayamum.
Masalah
335:Jika di (salah satu) telapak tangan dan jari-jari kita terdapat jabirah dan
ketika berwudhu kita telah mengusapnya dengan tangan yang basah, maka kita dapat
mengusap kepala dan kaki dengan sisa air (yang terdapat di tangan yang memiliki
jabirah itu) dan dapat juga mengusap dengan menggunakan bagian tangan yang lain
(selain telapak tangan).
Masalah
336:Jika jabirah menutupi sisi lebar bagian atas kaki, sementara sebagian ujung
jari dan bagian atas kaki terbuka, maka kita harus mengusap kaki untuk bagian
yang terbuka dan mengusap jabirah untuk bagian yang tertutup dengan jabirah itu.
Masalah
337:Jika di wajah atau tangan terdapat beberapa jabirah, maka kita harus
membasuh sela-sela antara jabirah-jabirah tersebut. Jika jabirah-jabirah
tersebut terdapat di kepala atau kaki, maka sekiranya kepala atau kaki itu
terbuka sekadar untuk mengusap yang wajib saja, kita harus mengusap tempat
tersebut. Dan jika ia tidak terbuka sekadar untuk mengusap yang wajib tersebut,
maka kita harus mengusap sela-sela antara jabirah-jabirah tersebut, dan untuk
bagian-bagian yang terdapat jabirah kita harus beramal sesuai dengan tata cara
wudhu jabirah.
Masalah
338:Jika jabirah menutupi luka melebihi kadar yang harus ditutupi dan tidak
mungkin untuk dicabut kembali, maka kita harus beramal sesuai dengan tata cara
wudhu jabirah, dan berdasarkan ihtiyath kita juga harus bertayamum. Jika
mungkin untuk mencabutnya kembali, maka kita harus mencabutnya. Dan jika luka
tersebut terdapat di bagian wajah dan tangan, maka kita harus membasuh
pinggirannya saja, dan jika ia terdapat di bagian kepala atau kaki, maka kita
harus mengusap pinggirannya saja dan untuk tempat luka itu kita harus melakukan
tata cara yang telah dijelaskan pada pembahasan luka di
atas.
Masalah
339:Jika di anggota wudhu tidak terdapat luka atau luka memar, akan tetapi
karena suatu sebab lain air berbahaya bagi seluruh wajah dan tangan, maka kita
harus bertayamum. Dan jika air hanya berbahaya bagi sebagian wajah atau tangan,
maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus membasuh pinggirannya saja dan
juga bertayamum.
Masalah
340:Jika sebagian dari anggota wudhu luka akibat goresan pisau dan kita tidak
bisa untuk membasuhnya atau air berbahaya baginya, maka sekiranya bagian itu
tertutup, kita harus melakukan tata cara wudhu jabirah, dan jika ia terbuka,
maka setelah membasuh pinggirannya, kita—berdasarkan ihtiyath wajib—harus
meletakkan sehelai kain di atasnya dan mengusapnya dengan tangan yang
basah.
Masalah
341:Jika suatu benda melengket di anggota wudhu atau mandi yang tidak mungkin
dicabut atau mencabutnya sangat sulit sekiranya rasa sakitnya tidak bisa kita
tahan, maka kita harus melakukan tata cara wudhu jabirah.
Masalah
342:Mandi jabirah adalah sama seperti wudhu jabirah. Akan tetapi, berdasarkan
ihtiyath wajib kita harus melakukan mandi tersebut secara tartibi,
bukan irtimasi.
Masalah
343:Seseorang yang kewajibannya adalah tayamum, jika di sebagian anggota
tayamumnya terdapat luka, bisul atau luka memar, maka ia harus melakukan tayamum
jabirah sesuai dengan tata cara wudhu jabirah.
Masalah
344:Seseorang yang kewajibannya adalah mengerjakan shalat dengan wudhu atau
mandi jabirah, jika ia mengetahui bahwa penyakitnya tidak akan sembuh hingga
akhir waktu shalat, maka ia dapat mengerjakan shalatnya di awal waktu. Akan
tetapi, jika ia masih memiliki harapan akan kesembuhan penyakitnya hingga akhir
waktu shalat, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menunggu (hingga
akhir waktu). Dan jika penyakitnya itu tidak kunjung sembuh, maka ia harus
mengerjakan shalat dengan wudhu atau mandi jabirah di akhir
waktu.
Masalah
345:Jika kita tidak mengetahui apakah harus bertayamum atau melakukan wudhu
jabirah, maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus melakukan keduanya.
Masalah
346:Shalat-shalat yang telah kita kerjakan dengan wudhu jabirah adalah sah, dan
setelah kita sembuh dari penyakit tersebut, tidak perlu kita berwudhu lagi untuk
mengerjakan shalat-shalat selanjutnya. Akan tetapi, jika kita mengerjakan
keduanya karena kita tidak mengetahui apakah kewajiban kita adalah berwudhu atau
bertayamum, maka untuk mengerjakan shalat-shalat selanjutnya kita harus berwudhu
lagi.
[1] Haraj adalah sebuah
kesulitan yang sangat menyusahkan dan pada umumnya tidak bisa
ditanggung.
|