Hukum Jenazah
Hukum Orang
yang Sedang Menghadapi Kematian
Masalah 527:
Seorang Muslim yang sedang menghadapi kematian (ihtidhâr), baik laki-laki
maupun wanita, besar maupun kecil harus ditidurkan terlentang dan telapak
kakinya menghadap ke arah Kiblat. Dan tidak jauh kemungkinannya bahwa pekerjaan
ini juga wajib bagi orang yang sedang menghadapi kematian itu sendiri.
Masalah 528:
Berdasarkan ihtiyath wajib selama mayit belum dimandikan ia harus
ditidurkan dengan menghadap ke arah Kiblat, dan setelah selesai dimandikan, yang
lebih baik adalah ia ditidurkan seperti ketika akan dishalati.
Masalah 529:
Menghadapkan seorang yang sedang menghadapi kematian ke arah Kiblat adalah wajib
bagi setiap Muslim dan ia (dalam hal ini) tidak perlu meminta izin dari walinya.
Masalah 530:
Disunahkan kita membacakan dua kalimat syahadat, pengakuan terhadap dua belas
imam ma’shum as dan seluruh akidah yang benar kepada orang yang sedang
menghadapi kematian (dengan suara agak keras) supaya ia memahami (semua itu).
Begitu juga disunahkan untuk mengulangi semua yang telah kita baca tadi hingga
ia meninggal dunia.
Masalah 531:
Disunahkan untuk membacakan doa berikut ini kepada orang yang sedang menghadapi
maut (dengan suara yang agak keras) supaya ia dapat memahaminya:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيَ الْكَثِيْرَ مِنْ مَعَاصِيْكَ وَ اقْبَلْ مِنِّي
الْيَسِيْرَ مِنْ طَاعَتِكَ، يَا مَنْ يَقْبَلُ الْيَسِيْرَ وَ يَعْفُوْ عَنِ
الْكَثِيْرِ، اقْبَلْ مِنِّي الْيَسِيْرَ وَ اعْفُ عَنِّي الْكَثِيْرَ، إِنَّكَ
أَنْتَ الْعَفُوُّ الْغَفُوْرُ، اَللَّهُمَّ ارْحَمْنِيْ فَإِنَّكَ رَحِيْمٌ
Masalah 532:
Disunahkan jika seseorang sulit untuk menghembuskan nafas terakhirnya untuk
dibawa ke tempat biasanya ia melakukan shalat jika hal itu tidak menyakitkannya.
Masalah 533:
Disunahkan supaya orang yang sedang menghadapi kematian itu tenang untuk
dibacakan surah Yasin, ash-Shaffat, al-Ahzab, ayat Kursi, ayat 54 surah al-A’raf
dan tiga ayat terakhir surah al-Baqarah. Bahkan ayat manapun yang mungkin untuk
dibaca.
Masalah 534:
Dimakruhkan meninggalkan orang yang sedang menghadapi maut sendirian, meletakkan
sesuau di atas perutnya, kehadiran orang yang sedang junub dan wanita haidh di
sisinya, berbicara banyak di sisinya, menangisinya dan meninggalkan kaum wanita
sendirian di sisinya.
Hukum
Setelah Meninggal Dunia
Masalah 535:
Setelah meninggal dunia, disunahkan untuk menutup mulut mayit supaya tidak
menganga, menutup matanya, mengikat dagunya, meluruskan tangan dan kakinya, dan
menutupinya dengan kain. Jika ia meninggal dunia di malam hari, maka hendaknya
kita menyalakan lampu di tempat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk
mengantarkan jenazahnya (tasyyi’) hendaknya kita memberitahukan mukminin
yang lain. Hendaknya kita segera menguburkannya. Akan tetapi, jika kita tidak
yakin dengan kematiannya, hendaknya kita bersabar sehingga kematiannya pasti.
Begitu juga jika mayit itu adalah wanita yang sedang hamil dan bayinya masih
hidup, maka hendaknya kita menunda penguburannya sekadar waktu yang cukup untuk
membelah bagian kiri perutnya, mengeluarkan bayinya dan menjahit kembali bagian
yang telah dibelah tersebut.
Memandikan,
Mengafani, Menyalati dan Menguburkan Mayit
Masalah 536:
Memandikan, mengafani, menyalati dan menguburkan mayit seorang Muslim adalah
wajib bagi setiap mukalaf meskipun si mayit tidak bermazhab Syi’ah Imamiah. Jika
sebagian orang telah melakukan semua itu, maka kewajiban itu gugur dari mukalaf
yang lain. Jika tidak seorang pun yang melaksanakannya, maka kita semua telah
bermaksiat.
Masalah 537:
Jika ada seseorang yang sedang menangani mayit, maka tidak wajib bagi yang lain
untuk ikut campur menanganinya. Akan tetapi, jika ia hanya melakukannya separuh,
maka yang lain harus menyempurnakannya.
Masalah 538:
Jika seseorang yakin bahwa ada orang lain yang telah menangani mayit, maka tidak
wajib ia untuk ikut menanganinya. Akan tetapi, jika ia ragu atau hanya menyangka
telah ada orang yang menanganinya, maka ia harus menanganinya.
Masalah 539:
Jika seseorang mengetahui bahwa orang (yang sedang menanganinya) keliru
memandikan, mengafani, menyalati atau menguburkan mayit, maka ia harus
mengulanginya. Akan tetapi, jika ia hanya menyangka semua itu telah dilakukan
dengan keliru atau ia ragu apakah mereka telah melakukannya dengan benar atau
salah, maka tidak wajib ia mengulanginya.
Masalah 540:
Untuk memandikan, mengafani, menyalati dan menguburkan mayit kita harus meminta
izin dari walinya.
Masalah 541:
Wali seorang wanita yang memiliki hak untuk ikut campur dalam memandikan,
mengafani dan menguburkannya adalah suaminya, dan setelah suaminya, kaum lelaki
yang berhak mendapatkan warisan darinya adalah lebih utama dari kaum wanitanya.
Setiap orang yang lebih berhak untuk mendapatkan warisan adalah juga lebih
berhak dalam urusan ini.
Masalah 542:
Jika seseorang berkata, “Saya adalah wali/washi mayit ini” atau ia berkata,
“Wali mayit telah memberikan izin kepadaku untuk memandikan, mengafani dan
menguburkannya”, sekiranya tidak ada orang lain yang berkata, “Aku adalah
wali/washi mayit” atau “Wali mayit telah memberikan izin kepadaku”, maka
penanganan mayit tersebut berada di tangannya.
Masalah 543:
Jika mayit telah menentukan orang lain selain walinya untuk memandikan,
mengafani, menyalati dan menguburkan dirinya, maka berdasarkan ihtiyath wajib
walinya dan orang tersebut yang berhak untuk memberikan izin. Jika mayit
berwasiat dan menjadikan anak terbesarnya sebagai washi, maka berdasarkan
ihtiyath wajib anak tersebut harus melaksanakan wasiat ayahnya dan tidak
boleh menolaknya. Akan tetapi, jika sang ayah menentukan orang lain selain
anaknya untuk menjadi washi, sekiranya sang washi tahu akan hal itu dan
menyampaikan kepadanya ketika pewasiat itu masih hidup dan dapat memilih washi
yang lain bahwa ia tidak siap untuk melaksanakan wasiatnya, maka hal itu tidak
ada masalah. Dan jika tidak demikian, maka ia harus melaksanakan wasiatnya.
Hukum
Memandikan Mayit
Masalah 544:
Wajib kita memandikan mayit sebanyak tiga kali:
Pertama,
dengan menggunakan air yang telah dicampur dengan daun bidara (sidir).
Kedua,
dengan menggunakan air yang telah dicampur dengan air kapur barus.
Ketiga,
dengan menggunakan air murni.
Masalah 545:
Daun bidara dan kapur barus itu tidak boleh terlalu banyak sehingga menjadikan
air tersebut air mudhaf dan tidak boleh terlalu sedikit sehingga tidak dapat
dikatakan bahwa air telah dicampur dengannya.
Masalah 546:
Jika kita tidak menemukan daun bidara dan kapur barus yang cukup, maka
berdasarkan ihtiyath wajib kita harus mencampurkan sekadar yang telah
kita dapatkan itu dengan air. Akan tetapi, daun bidara dan kapur barus (yang
berhasil kita dapatkan itu) tidak boleh terlalu sedikit sekiranya air campuran
itu tidak dapat disebut air duan bidara dan air kapur barus.
Masalah 547:
Seseorang yang telah melakukan ihram untuk haji, jika ia meninggalkan dunia
sebelum menyempurnakan amalan sa’i antara Shafa dan Marwah, maka ia tidak boleh
dimandikan dengan menggunakan air kapur barus, dan sebagai gantinya kita harus
memandikannya dengan menggunakan air murni. Begitu juga orang yang meninggal
dunia setelah melakukan ihram untuk umrah sebelum memotong rambutnya (tahallul).
Masalah 548:
Jika daun bidara dan kapur barus atau salah satunya tidak ada atau haram untuk
digunakan karena hasil ghashab misalnya, maka sebagai gantinya kita harus
memandikannya dengan air murni.
Masalah 549:
Seseorang yang memandikan mayit haruslah bermazhab Syi’ah Imamiah dan berakal.
Dan berdasarkan ihtiyath wajib ia juga harus baligh dan memahami masalah
memandikan mayit.
Masalah 550:
Seseorang yang memandikan mayit harus berniat qurbah. Yaitu ia memandikan
mayit demi melaksanakan perintah Allah semata. Jika ia memiliki niat tersebut
hingga memandikan mayit yang ketiga kali usai, maka hal itu sudah cukup dan
tidak perlu untuk mengulanginya.
Masalah 551:
Memandikan anak kecil yang Muslim adalah wajib meskipun ia adalah anak zina, dan
tidak boleh memandikan, mengafani dan menguburkan orang kafir dan keturunannya.
Jika seseorang telah gila semenjak dari kecil dan ia menjadi baligh dalam
keadaan gila, sekiranya ayah, ibu, kakek dan neneknya atau salah satu dari
mereka adalah Muslim, maka ia wajib dimandikan, dan jika tak seorang pun dari
mereka yang Muslim, maka tidak boleh kita memandikannya.
Masalah 552:
Bayi yang keguguran harus dimandikan jika ia telah berusia empat bulan atau
lebih. Jika ia belum berusia empat bulan, maka cukup kita membungkusnya dengan
sepotong kain dan menguburkannya tanpa harus memandikannya.
Masalah 553:
Jika seorang lelaki memandikan jenazah wanita atau seorang wanita memandikan
jenazah lelaki, maka mandi mayit itu adalah batal. Akan tetapi, istri dapat
memandikan suaminya dan suami juga dapat memandikan istrinya meskipun
berdasarkan ihtiyath mustahab suami tidak memandikan jenazah istrinya dan
begitu juga sebaliknya.
Masalah 554:
Seorang lelaki dapat memandikan anak kecil perempuan yang usianya tidak lebih
dari tiga tahun dan seorang wanita juga dapat memandikan anak lelaki yang
usianya tidak lebih dari tiga tahun.
Masalah 555:
Jika untuk memandikan seorang mayit lelaki tidak ditemukan seorang lelaki pun,
maka wanita yang memiliki hubungan dengannya dan mahramnya, seperti ibu,
saudari, dan bibi atau wanita yang memiliki hubungan mahram dengannya karena
saudara sesusuan dapat memandikannya dari bawah kain. Begitu juga jika untuk
memandikan mayit seorang wanita tidak ditemukan seorang wanita pun, maka lelaki
yang memiliki hubungan nasab dengannya atau menjadi mahramnya karena pernah
menyusu dari satu ibu dapat memandikannya dari bawah kain.
Masalah 556:
Jika mayit dan orang yang memandikannya keduanya adalah lelaki atau wanita, maka
yang lebih baik adalah hendaknya seluruh badan mayit telanjang selain auratnya.
Masalah 557:
Melihat aurat seorang mayit adalah haram. Jika orang yang memandikannya melihat
aurat tersebut, maka ia telah bermaksiat. Akan tetapi, mandi mayit tersebut
tidak batal.
Masalah 558:
Jika sebagian anggota badan mayit adalah najis, maka bagian itu harus dicuci
terlebih dahulu sebelum dimandikan. Dan berdasarkan ihtiyath wajib
seluruh bagian tubuh mayit harus suci sebelum dimandikan.
Masalah 559:
Memandikan mayit adalah seperti mandi janabah. Dan berdasarkan ihtiyath wajib
selama masih mungkin bagi kita untuk memandikannya dengan cara tatibi, kita
jangan memandikannya dengan cara irtimasi. Akan tetapi, jika kita memandikannya
secara tartibi, kita dapat memasukkan setiap bagian dari ketiga bagian badan
mayit ke dalam air yang banyak.
Masalah 560:
Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan junub atau haidh, maka tidak wajib
kita melaksanakan mandi janabah dan haidh terhadapnya. Mandi mayit itu sudah
cukup baginya.
Masalah 561:
Tidak boleh kita mengambil upah karena memandikan mayit. Akan tetapi, mengambil
upah karena menyiapkan persiapan-persiapan mandi adalah tidak haram.
Masalah 562:
Jika air tidak ada atau terdapat larangan untuk menggunakannya, maka sebagai
ganti dari setiap mandi kita harus melaksanakan tayamum terhadapnya.
Masalah 563:
Seseorang yang melaksanakan tayamum terhadap mayit harus memukulkan kedua
telapak tangannya ke atas tanah, lalu mengusapkannya ke wajah dan kedua bagian
atas tangan mayit. Tidak harus ia memangku mayit tersebut, lalu mengusapkan
telapak tangannya ke wajahnya atau mengusapkan tangannya (ke wajahnya) dari arah
depan dengan menyilang. Akan tetapi, jika ia mengusapnya dengan cara yang biasa
dilakukan, maka hal itu sudah cukup. Dan berdasarkan ihtiyath wajib jika
mungkin ia juga melaksanakan tayamum terhadapnya dengan menggunakan tangan mayit
itu sendiri.
Hukum
Mengafani Mayit
Masalah 564:
Kita harus mengafani mayit seorang Muslim dengan tiga potong kain kafan: sarung,
baju dan jubah.
Masalah 565:
Sarung itu harus menutupi bagian tubuh antara pusar dan lutut. Yang lebih baik
adalah hendaknya kain itu menutupi bagian tubuh dari dada hingga bagian atas
kaki. Berdasarkan ihtiyath wajib baju itu harus menutupi bagian badan
dari bahu hingga pertengahan betis. Yang lebih baik adalah hendaknya baju ini
memanjang hingga sampai ke bagian atas kaki. Dari sisi panjang, jubah itu harus
memiliki ukuran yang sesuai (dengan mayit) sekiranya kedua ujungnya dapat diikat
dan dari sisi lebar juga demikian sekiranya kedua sisinya dapat diletakkan di
atas sisi yang lain.
Masalah 566:
Jika para pewaris sudah baligh dan mengizinkan untuk mengeluarkan biaya dari
saham warisan mereka demi menambah kain kafan dari kadar yang wajib, maka hal
itu tidak ada masalah. Bahkan tidak jauh kemungkinannya jika kadar kain kafan
yang umum dan layak bagi kepribadian dan status sosial mayit itu dikeluarkan
dari harta warisannya, meskipun berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya
kita jangan mengambil biaya dari saham pewaris yang belum baligh untuk membeli
kain yang lebih dari kadar kafan yang wajib dan juga membeli kadar kain yang
berdasarkan ihtiyath diperlukan.
Masalah 567:
Jika seseorang berwasiat supaya kadar sunah kafannya—seperti yang telah
dijelaskan pada dua masalah di atas—dibelikan dari sepertiga hartanya atau ia
berwasiat supaya sepertiga hartanya digunakan untuk keperluan dirinya dan ia
tidak menentukan harta itu harus digunakan untuk apa atau ia hanya menentukan
penggunaan sebagiannya saja, maka ahli waris dapat menyediakan kadar sunah
kafannya dari sepertiga harta tersebut.
Masalah 568:
Kafan seorang istri ditanggung oleh suaminya meskipun ia memiliki harta sendiri.
Begitu juga, jika seorang istri diceraikan secara raj’i—sebagaimana akan
dijelaskan pada pembahasan talak—dan ia meninggal dunia sebelum ‘iddahnya habis,
maka suaminya harus menanggung seluruh kafannya, dan seandainya suaminya itu
belum baligh atau gila, maka walinya yang harus menyediakan kafan istrinya dari
harta suaminya.
Masalah 569:
Menyediakan kafan mayit tidak wajib bagi familinya, meskipun ketika ia masih
hidup, seluruh biaya hidupnya wajib ditanggung oleh mereka.
Masalah 570:
Berdasarkan ihtiyath wajib kain kafan itu tidak boleh terlalu tipis
sehingga tubuh mayit tampak dari luar.
Masalah 571:
Kafan mayit harus mubah. Yaitu entah kafan itu harus disediakan dari harta mayit
itu sendiri atau orang lain menyediakannya dari harta yang halal dan dengan
kerelaan hati memberikan kafan itu kepadanya supaya ia dikafani dengan kain
kafan itu.
Masalah 572:
Tidak boleh kita mengafani mayit dengan kafan hasil ghashab meskipun tidak ada
sesuatu yang lain yang dapat digunakan untuk mengafaninya. Dan jika kain kafan
mayit berasal dari hasil ghashab dan pemiliknya tidak merelakannya, maka kita
harus melepaskannya dari badannya meskipun ia telah dikuburkan.
Masalah 573:
Tidak boleh kita mengafani mayit dengan menggunakan kulit bangkai. Akan tetapi,
jika tidak ada barang lain lagi, maka berdasarkan ihtiyath wajib kita
harus mengafaninya dengan kulit tersebut.
Masalah 574:
Tidak boleh kita mengafani mayit dengan kain yang najis, kain sutera murni atau
kain yang ditenun dengan emas. Akan tetapi, dalam kondisi terpaksa tidak ada
masalah menggunakan kain-kain itu.
Masalah 575:
Dalam kondisi tidak terpaksa tidak boleh kita mengafani mayit dengan menggunakan
kain yang terbuat rambut atau bulu binatang yang haram dagingnya. Jika kulit
binatang yang halal dagingnya diproduksi sedemikian rupa sehingga dapat dianggap
sebagai sebuah pakaian dan begitu juga jika kafannya terbuat dari rambut dan
bulu binatang yang halal dagingnya, maka tidak ada masalah mengafaninya dengan
semua bahan itu, meskipun berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya kita
tidak mengafaninya dengan kedua jenis kafan tersebut.
Masalah 576:
Jika kafan mayit menjadi najis dengan kotorannya sendiri atau dengan benda najis
lainnya, maka kita harus mencucinya atau memotongnya jika dengan memotongnya itu
kain kafannya tidak akan habis. Akan tetapi, jika kita telah meletakkannya di
dalam kubur, maka yang lebih baik adalah memotongnya. Bahkan, jika mengeluarkan
mayit itu dari dalam kuburnya dapat membuatnya terhina, maka wajib kita memotong
kafan yang najis tersebut. Jika tidak mungkin kita mencuci atau memotongnya,
sekiranya kita dapat menggantinya, maka kita harus menggantinya (dengan kafan
baru).
Masalah 577:
Jika seseorang yang telah berniat ihram untuk haji atau umrah meninggal dunia,
maka ia harus dikafani sebagaimana orang lain, dan tidak ada masalah kita
menutupi kepala dan wajahnya.
Masalah 578:
Disunahkan bagi setiap orang selama masih sehat untuk menyiapkan kafan, daun
bidara dan kapur barus bagi dirinya.
Hukum
Tahnith
Masalah 579:
Setelah dimandikan, kita wajib mentahnith mayit. Yaitu kita mengoleskan kapur
barus di dahi, kedua telapak tangan, lutut dan di kedua ujung ibu jari kaki.
Disunahkan juga untuk mengoleskan kapur barus di ujung hidung. Kapur barus itu
harus dihaluskan dan masih baru. Jika aromanya hilang karena kapur barus itu
telah lama, maka ia tidak cukup.
Masalah 580:
Dalam mentahnith mayit tidak wajib kita melakukannya berurutan sesuai urutan
anggota wudhu, meskipun berdasarkan ihtiyath mustahab pertama kali kita
mengoleskan kapur barus itu ke dahi.
Masalah 581:
Yang lebih baik adalah hendaknya kita mentahnith mayit sebelum dikafani,
meskipun tahnith itu dapat dilakukan ketika kita sedang mengafani dan setelah
usai mengafaninya.
Masalah 582:
Jika seseorang yang telah berniat ihram untuk haji meninggal dunia sebelum
menyempurnakan amalan sa’i antara Shafa dan Marwah, maka ia tidak boleh
ditahnith. Begitu juga jika ia meninggal dunia ketika telah berihram untuk umrah
sebelum memotong rambutnya, maka kita tidak boleh mentahnithnya.
Masalah 583:
Seorang istri yang suaminya meninggal dunia dan ‘iddahnya belum tuntas, meskipun
haram baginya untuk menggunakan wewangian, akan tetapi jika ia meninggal dunia,
maka ia wajib untuk ditahnith.
Masalah 584:
Berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh kita mengoleskan wewangian,
seperti minyak wangi Misik dan lain-lain kepada mayit atau ketika mentahnith
kita mencampurnya dengan kapur barus.
Masalah 585:
Disunahkan kita mencampurkan tanah Imam Husain as dengan kapur barus. Akan
tetapi, jangan sampai kita mengoleskan kapur barus (yang telah dicampur dengan
tanah tersebut) ke tempat-tempat yang menodai kehormatan (tanah tersebut), dan
begitu juga hendaknya tanah Imam Husain as itu jangan terlalu banyak sehingga
hasil campuran itu tidak dapat dinamakan kapur barus.
Masalah 586:
Jika kapur barus yang ada tidak cukup digunakan untuk memandikan dan mentahnith,
maka kita harus menggunakannya untuk memandikan, dan jika kapur barus tidak
cukup untuk mentahnith ketujuh anggota tubuh itu, maka kita harus mendahulukan
bagian dahi.
Masalah 587:
Disunahkan meletakkan dua ranting kayu yang masih basah dan baru di dalam
kuburan bersama mayit.
Hukum Shalat
Jenazah
Masalah 588:
Menyalati jenazah seorang Muslim adalah wajib meskipun ia masih kecil dengan
syarat ayah, ibu, kakek dan neneknya atau salah satu dari mereka adalah Muslim
dan ia sudah berusia genap enam tahun.
Masalah 589:
Shalat jenazah harus dikerjakan setelah memandikan, tahnith dan mengafaninya.
Jika shalat itu dikerjakan sebelum semua itu atau ketika sedang melaksanakannya,
maka shalat itu tidak cukup meskipun shalat itu dilakukan karena lupa atau tidak
mengetahui masalah.
Masalah 590:
Tidak wajib bagi orang yang ingin mengerjakan shalat mayit untuk berwudhu,
melaksanakan mandi wajib, bertayamum, menyucikan badan dan pakaiannya. Bahkan
jika pakaiannya berasal dari hasil ghashab sekalipun, maka hal itu tidak ada
masalah, meskipun berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia
memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam shalat-shalat wajib
lainnya.
Masalah 591:
Orang yang mengerjakan shalat jenazah harus menghadap ke arah Kiblat. Begitu
juga wajib kita menidurkan jenazah tersebut terlentang dengan posisi kepalanya
berada di sebelah kanan orang yang menyalatinya dan kakinya berada di sebelah
kirinya.
Masalah 592:
Tempat orang yang menyalati jenazah tidak boleh lebih randah atau lebih tinggi
dari tempat jenazah itu sendiri. Akan tetapi, jika tempatnya lebih rendah atau
lebih tinggi sedikit, maka hal itu tidak ada masalah.
Masalah 593:
Posisi orang yang mengerjakan shalat jenazah harus berdekatan dengan posisi
jenazah itu sendiri. Akan tetapi, jika posisi orang yang mengerjakan shalat
jenazah secara berjamaah berada jauh dari posisi jenazah dan barisan para makmum
saling bersambung, maka hal itu tidak ada masalah.
Masalah 594:
Orang yang mengerjakan shalat jenazah harus berhadapan langsung dengan jenazah
itu sendiri. Akan tetapi, jika shalat jenazah itu dikerjakan secara berjamaah
dan barisan para makmum melampui dua arah (kanan dan kiri) jenazah, maka shalat
orang-orang yang tidak berhadapan langsung dengannya itu tidak ada masalah.
Masalah 595:
Tidak boleh ada penghalang, seperti tabir, tembok dan yang semisalnya antara
jenazah dan orang yang ingin mengerjakan shalat jenazah. Akan tetapi, jika
jenazah itu berada di keranda mayat dan yang semisalnya, maka hal itu tidak ada
masalah.
Masalah 596:
Ketika pelaksanaan shalat jenazah berlangsung, aurat jenazah harus tertutup.
Jika jenazah itu tidak mungkin untuk dikafani, maka kita harus menutupi auratnya
sedapat mungkin meskipun dengan menggunakan papan kayu, batu bata dan yang
semisalnya.
Masalah 597:
Ia harus mengerjakan shalat jenazah dalam kondisi berdiri dan dengan niat
qurbah, serta jenazahnya harus ditentukan. Misalnya, ia berniat, “Saya
mengerjakan shalat jenazah untuk mayit ini dengan niat qurbah kepada
Allah”.
Masalah 598:
Jika tidak seorang pun yang dapat mengerjakan shalat jenazah dengan posisi
berdiri dan tidak mungkin untuk menunggu atau kita sudah putus asa terhadap
kedatangan seseorang yang dapat mengerjakan shalat jenazah dengan posisi
berdiri, maka shalat jenazah itu dapat dilaksanakan dengan posisi duduk, dan
jika setelah shalat jenazah dengan posisi duduk itu usai dan jenazah belum
dikuburkan ditemukan seseorang yang dapat mengerjakan shalat jenazah dengan
posisi berdiri, maka wajib ia mengulangi shalat jenazah itu lagi dengan posisi
berdiri.
Masalah 599:
Jika si jenazah berwasiat agar seseorang menyalatinya, maka berdasarkan
ihtiyath wajib ia harus meminta izin terlebih dahulu kepada walinya dan bagi
si wali juga—berdasarkan ihtiyath wajib—harus memberikan izin.
Masalah 600:
Makruh mengerjakan shalat terhadap (satu) jenazah beberapa kali. Akan tetapi,
jika jenazah itu adalah seorang alim dan bertakwa, maka hal itu tidak makruh.
Masalah 601:
Jika jenazah dikuburkan tanpa dishalati terlebih dahulu, baik dengan sengaja,
lupa maupun karena alasan tertentu, atau dikarenakan shalat yang telah
dikerjakan terhadapnya adalah batal (baca : tidak memenuhi syarat), sekiranya
jasadnya belum hancur, maka kita harus mengerjakan shalat di atas kuburannya
sesuai dengan syarat-syarat shalat jenazah yang telah disebutkan.
Tata Cara
Shalat Mayit
Masalah 602:
Shalat jenazah memiliki lima kali takbir, dan jika kita mengerjakannya sesuai
dengan urutan lima takbir berikut ini, maka shalat itu dapat mencukupi.
Setelah takbir
pertama membaca:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
اللهِ
Setelah takbir
kedua membaca:
أَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ
Setelah takbir
ketiga membaca:
أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ
Setelah takbir
keempat membaca: (bacaan yang pertama untuk jenazah lelaki dan bacaan yang kedua
untuk jenazah wanita)
أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِهَذَا الْمَيِّتِ
أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِهَذِهِ الْمَيِّتِ
Setelah itu,
mengucapkan takbir kelima (dan selesailah prosesi shalat jenazah).
Yang lebih
baik, setelah takbir pertama hendaknya kita membaca:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ إِلَهًا
وَاحِدًا أَحَدًا صَمَدًا فَرْدًا حَيًّا قَيُّوْمًا دَائِمًا أَبَدًا لَمْ
يَتَّخِذْ صَاحِبَةً وَلاَ وَلَدًا، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ
رَسُوْلُهُ أَرْسَلَهُ بِالْهُدَى وَ دِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ
كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ بَشِيْرًا وَ نَذِيْرًا بَيْنَ يَدَيِ
السَّاعَةِ
Setelah takbir
kedua kita membaca:
أَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ
آلِ مُحَمَّدٍ وَ ارْحَمْ مُحَمَّدًا وَ آلَ مُحَمَّدٍ كَأَفْضَلِ مَا صَلَّيْتَ وَ
بَارَكْتَ وَ تَرَحَّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَ صَلِّ عَلَى جَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ
Setelah takbir
ketiga kita membaca:
أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ
الْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ الْأمْوَاتِ، تَابِعْ بَيْنَنَا وَ
بَيْنَهُمْ بِالْخَيْرَاتِ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
Setelah takbir
keempat kita membaca: (bacaan yang pertama untuk mayit lelaki dan bacaan yang
kedua untuk mayit wanita)
اَللَّهُمَ إِنَّ هذَا الْمُسَجَّى قُدَّامَنَا عَبْدُكَ وَ ابْنُ عَبْدِكَ وَ
ابْنُ أَمَتِكَ نَزَلَ بِكَ وَ أَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ، اَللّهُمَّ إِنَّكَ
قَبَضْتَ رُوْحَهُ إِلَيْكَ وَ قَدِ احْتاجَ إِلَى رَحْمِتَكَ، وَ أَنْتَ غَنِيٌّ
عَنْ عَذابِهِ، اَللّهُمَّ إِنَّا لاَ نَعْلَمُ مِنْه إِلاَّ خَيْرًا وَ أَنْتَ
أَعْلَمُ بِهِ مِنَّا، اَللّهُمَّ إِنْ كانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِيْ إِحْسانِهِ وَ
إِنْ كَانَ مُسِيْئًا فَتَجاوَزْ عَنْهُ وَ اغْفِرْ لَنا وَ لَهُ، اَللّهُمَّ
اجْعَلْهُ عِنْدَكَ فِيْ أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ وَ اخْلُفْ عَلى أَهْلِهِ فِى
الْغَابِرِيْنَ وَ ارْحَمْهُ بِرَحْمِتَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللّهُمَ إِنَّ هذِهِ الْمُسَجَّاةَ قُدَّامَنَا أَمَتُكَ وَ ابْنَةُ عَبْدِكَ
وَابْنَةُ أَمَتِكَ نَزَلَتْ بِكَ وَ أَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ، اَللّهُمَّ
إِنّا لاَ نَعْلَمُ مِنْهَا إِلاَّ خَيْرًا وَ أَنْتَ أَعْلَمُ بِهَا مِنَّا،
اَللّهُمَّ إِنْ كَانَتْ مُحْسِنةً فَزِدْ فِيْ إِحْسَانِهَا وَ إِنْ كَانَتْ
مُسِيْئَةً فَتَجاوَزْ عَنْهَا وَ اغْفِرْ لَهَا، اَللّهُمَّ اجْعَلْهَا عِنْدَكَ
فِيْ أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ وَ اخْلُفْ عَلَى أَهْلِهَا فِي الْغَابِرِيْنَ وَ
ارْحَمْهَا بِرَحْمِتَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
Kemudian, kita membaca takbir kelima (dalam usailah prosesi
shalat jenazah).
Masalah 603: Hendaknya kita membaca
seluruh takbir dan doa tersebut secara berkesinambungan sehingga shalat jenazah
(yang kita lakukan itu) tidak keluar dari kategori shalat.
Masalah 604: Barangsiapa mengerjakan
shalat jenazah secara berjamaah, ia juga harus membaca semua takbir dan doa-doa
itu.
Hal-hal yang Disunahkan dalam Shalat Jenazah
Masalah 605: Ada beberapa hal yang
disunahkan dalam mengerjakan shalat jenazah:
a. Orang yang ingin mengerjakan shalat jenazah hendaknya
berwudhu, mandi atau bertayamum, dan berdasarkan ihtiyath mustahab
hendaknya ia melakukan tayamum jika berwudhu dan mandi tidak mungkin baginya
atau ia khawatir jika berwudhu atau melakukan mandi, ia tidak akan memiliki
kesempatan untuk melakukan shalat jenazah.
b. Jika jenazah itu adalah jenazah seorang lelaki, maka imam
shalat jenazah atau orang yang ingin mengerjakan shalat jenazah sendirian (tanpa
berjamaah) hendaknya berdiri tepat berhadapan dengan bagian pertengahan
tubuhnya, dan jika jenazah itu adalah jenazah seorang wanita, maka hendaknya ia
berdiri tepat berhadapan dengan bagian dadanya.
c. Hendaknya ia mengerjakan shalat jenazah dengan kaki
telanjang.
d. Mengangkat tangan ketika mengucapkan setiap takbir.
e. Hendaknya jarak ia berdiri dan jenazah ditidurkan sangat
dekat sekiranya jika angin bertiup menggerakkan bajunya, hempasan bajunya akan
menyentuh jenazah itu.
f. Mengerjakan shalat jenazah secara berjamah.
g. Hendaknya imam shalat membaca semua takbir dan doa shalat
jenazah itu dengan suara keras dan orang-orang yang menjadi makmum membacanya
dengan suara perlahan.
h. Dalam shalat berjamaah hendaknya makmum berdiri di belakang
imam meskipun ia adalah satu orang.
i. Hendaknya orang yang mengerjakan shalat jenazah itu banyak
mendoakan jenazah dan mukminin.
j. Sebelum shalat jenazah dimulai hendaknya kita menyerukan
“ash-sholâh” sebanyak tiga kali.
k. Hendaknya kita mengerjakan shalat jenazah di sebuah tempat
dimana orang-orang banyak dapat berdatangan untuk mengerjakannya.
l. Wanita yang sedang datang bulan harus berdiri di sebuah shaf
sendirian jika ia ingin mengerjakan shalat jenazah secara berjamaah.
Masalah 606: Mengerjakan shalat
jenazah di masjid adalah makruh. Akan tetapi, mengerjakannya di Masjidil Haram
tidaklah makruh.
Hukum Menguburkan Jenazah
Masalah 607: Wajib kita menguburkan
jenazah di dalam tanah sekiranya baunya tidak keluar dan binatang-binatang buas
tidak dapat mengeluarkan tubuhnya dari dalam kuburannya. Seandainya kita tidak
khawatir terhadap binatang buas tersebut dan tidak akan ada orang yang datang ke
kuburannya sehingga ia harus terganggu oleh baunya sekalipun, berdasarkan
ihtiyath wajib ukuran kuburan harus seperti yang telah disebutkan tersebut.
Jika kita khawatir binatang buas akan menggali tubuhnya, maka kita harus
menemboknya dengan batu bata dan yang semisalnya.
Masalah 608: Jika jenazah tidak
mungkin dikuburkan di dalam tanah, maka kita dapat meletakkannya di dalam sebuah
bangunan atau peti.
Masalah 609: Kita harus menidurkan
jenazah di dalam kuburnya dengan posisi bagian kanan tubuhnya berada di sebelah
bawah sehingga bagian depan tubuhnya menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 610: Jika seseorang meninggal
dunia di dalam kapal laut, sekiranya tubuhnya tidak akan busuk dan tidak ada
larangan ia diletakkan di dalam kapal laut itu, maka kita harus bersabar hingga
kita sampai di daratan dan menguburkannya di dalam tanah. Jika tidak demikian,
maka kita harus memandikan, mentahnith dan mengafaninya di dalam kapal laut itu.
Setelah menyalatinya kita mengikatkan sesuatu yang berat di kakinya, lalu
melemparkannya ke dalam lautan, atau kita meletakkannya di dalam sebuah peti dan
menutup pintunya rapat-rapat, lalu kita melemparkannya ke dalam lautan. Jika
mungkin, hendaknya kita melemparkannya di bagian lautan yang sekiranya ia tidak
langsung menjadi mangsa binatang-binatang laut.
Masalah 611: Jika kita khawatir musuh
si mayit akan menggali kuburannya dan mengeluarkan jasadnya, maka kita harus
melemparkannya ke dalam lautan sesuai dengan cara yang telah disebutkan di atas.
Masalah 612: Biaya melemparkan
jenazah ke laut dan memperkokoh kuburannya (dengan batu bata) jika diperlukan
harus kita ambil dari harta peninggalannya.
Masalah 613: Jika seorang wanita
kafir meninggal dunia dan bayinya yang masih berada di dalam perutnya juga telah
meninggal dunia, maka kita harus menidurkannya (di dalam kubur) dengan posisi
bagian sebelah kiri tubuhnya berada di sebelah bawah sehingga ia membelakangi
Kiblat dan wajah bayinya menghadap ke arah Kiblat jika ayahnya adalah seorang
Muslim. Bahkan, jika ruhnya belum ditiupkan sekalipun, berdasarkan ihtiyath
wajib kita juga harus menguburkannya dengan cara tersebut.
Masalah 614: Tidak boleh kita menguburkan jenazah
seorang Muslim di pekuburan orang kafir dan menguburkan orang kafir di pekuburan
muslimin.
Masalah 615: Tidak boleh kita
menguburkan jenazah seorang Muslim di sebuah tempat yang dapat melecehkan
kehormatannya, seperti di tanah tempat pembuangan sampah.
Masalah 616: Kita tidak boleh
menguburkan jenazah di tanah hasil ghashab dan di sebuah tempat yang telah
diwakafkan bukan untuk pekuburan, seperti masjid dan husainiyah.
Masalah 617: Tidak boleh menguburkan
jenazah di dalam kuburan jenazah yang lain kecuali jika kuburan itu sudah kuno
dan jenazah pertama (yang ada di dalamnya) sudah punah beserta
tulang-belulangnya. (Untuk keperluan itu) tanah itu harus tanah wakaf untuk
pekuburan, tanah milik pribadi seseorang yang telah memberikan izin jenazah
kedua dikuburkan di situ atau tanah yang tidak ada pemiliknya. Jika dimungkinkan
jenazah yang pertama belum punah secara sempurna, maka tidak boleh menggali
kuburan itu untuk menguburkan jenazah baru atau untuk keperluan yang lain. Akan
tetapi, jika kuburan itu sudah terlanjur digali, maka tidak ada larangan untuk
menguburkan jenazah baru di kuburan itu.
Masalah 618: Sesuatu yang terpisah
dari mayit meskipun berupa rambut, kuku dan gigi harus dikubur bersamanya.
Menguburkan kuku dan gigi yang terpisah dari seseorang yang masih hidup adalah
sunah.
Masalah 619: Jika seseorang meninggal
di dalam sebuah sumur dan tidak mungkin tubuhnya dikeluarkan dari dalamnya, maka
kita harus menutup sumur tersebut dan menjadikannya sebagai kuburannya.
Masalah 620: Jika seorang bayi
meninggal dunia di dalam perut ibunya dan keberadaanya di dalam perut itu
membahayakan ibunya, maka ia harus dikeluarkan dari perut ibunya dengan cara
yang paling mudah. Seandainya kita terpaksa harus memotong-motong bayi tersebut,
maka hal itu tidak ada masalah. Pengeluaran bayi itu harus dilakukan oleh
suaminya jika ia ahli dalam hal itu atau oleh seorang wanita ahli. Jika hal itu
tidak mungkin, maka pengeluaran itu dapat dilakukan oleh seorang lelaki ahli
yang masih muhrimnya. Jika hal itu juga tidak mungkin, maka pengeluaran itu
dapat dilakukan lelaki yang bukan muhrimnya. Jika hal ini juga tidak mungkin,
maka seseorang yang bukan ahli dapat mengeluarkan bayi itu dari dalam perut
ibunya.
Masalah 621: Jika seorang ibu
meninggal dunia dan bayinya yang berada di dalam perutnya masih hidup, meskipun
kita tidak memiliki harapan bayi itu akan hidup, maka dengan perantara
orang-orang yang telah disebutkan di atas bagian kiri perut sang ibu dibedah dan
bayi itu dikeluarkan, lalu bagian yang telah dibedah itu dijahit kembali.
Hal-hal yang Disunahkan Ketika Menguburkan Jenazah
Masalah 622: Ada beberapa hal yang
disunahkan dalam menguburkan jenazah, antara lain:
a. Menggali kuburan seukuran tinggi manusia yang memiliki tinggi
badan sedang.
b. Menguburkan jenazah di pekuburan terdekat kecuali jika
pekuburan yang terjauh memiliki keutamaan dari satu sisi, seperti banyak orang
baik yang telah dikuburkan di situ atau banyak orang yang pergi ke sana untuk
membacakan surah al-Fatihah untuk ahli kubur itu.
c. Meletakkan jenazah jauh beberapa depa dari kuburannya dan
mengangkatnya mendekati kuburan sedikit demi sedikit sebanyak tiga kali; setelah
setiap kali pengangkatan kita meletakkannya di atas tanah kembali dan pada kali
keempat kita memasukkannya ke dalam kuburannya. Jika jenazah itu adalah jenazah
lelaki, maka setelah kali ketiga pengangkatan kita meletakkannya di sebelah
bagian kaki kuburan sehingga pada kali keempat pengangkatan kita memasukkannya
ke dalam kubur dimulai dari arah kepalanya, dan jika jenazah itu adalah jenazah
wanita, maka setelah kali ketiga pengangkatan kita meletakkannya di bagian arah
Kiblat kuburan, lalu memasukkannya ke dalam kubur dari sisi lebar tubuhnya.
d. Membentangkan kain di atas kubur ketika kita ingin memasukkan
jenazah ke dalamnya.
e. Mengeluarkan jenazah dari keranda mayat dan memasukkannya ke
dalam kubur secara perlahan-lahan.
f. Membaca doa-doa yang telah dianjurkan untuk dibaca sebelum
dan ketika melangsungkan prosesi penguburan.
g. Setelah meletakkan jenazah di lahadnya, hendaknya kita
membuka tali-tali kafan dan meletakkan wajahnya bersentuhan dengan tanah. Kita
juga membuatkan bantal baginya dari tanah yang berada di bawah kepalanya dan
kita meletakkan gumpalan tanah di bagian belakang tubuhnya supaya jenazah itu
tidak berbalik ke belakang.
h. Sebelum menutup lahadnya, kita memukulkan tangan kanan kita
ke pundak kanannya dan meletakkan tangan kiri kita di atas pundak kirinya dengan
kuat, serta mendekatkan mulut kita ke telinganya lalu mengguncangkan tubuhnya
dengan kuat seraya mengucapkan (talqin mayit berikut ini):
اِسْمَعْ، اِفْهَمْ يا فُلاَنُ بْنَ فُلاَنْ
Sebagai ganti dari Fulan bin Fulan, sebutkanlah nama mayit dan
nama ayahnya. Begitu juga selanjutnya, kita sebutkan nama mayit dan nama
ayahnya. Contoh,
اِسْمَعْ، اِفْهَمْ يا مُحَمَّدُ بْنَ عَلِىّ
Lalu melanjutkan bacaan dengan membaca:
هَلْ أَنْتَ عَلَى الْعَهْدِ الَّذِيْ فَارَقْتَنَا عَلَيْهِ مِنْ شَهَادَةِ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِه عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَسَيِّدُ النَّبِيِّيْنَ وَ
خَاتَمُ الْمُرْسَلِيْنَ وَ أَنَّ عَلِّيًا أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ سَيِّدُ
الوَصِيِّيْنَ وَ إِمامٌ افْتَرَضَ اللهُ طَاعَتَهَ عَلَى الْعالَمِيْنَ وَ أَنَّ
الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَ عَلِىَّ بْنَ الْحُسَيْنِ وَ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِىٍّ وَ
جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَ مُوْسَى بْنَ جَعْفَرٍ وَ عَلِىَّ بْنَ مُوْسَى وَ
مُحَمَّدَ بْنَ عَلِىٍّ وَ عَلِىَّ بْنَ مُحَمَّد وَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ وَ
الْقَائِمَ الْحُجَّةَ الْمَهْدِيَّ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَئِمَّةُ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَحُجَجُ اللهِ عَلَى الخَلْقِ أَجْمَعيْنَ وَ أَئِمَّتُكَ
أَئِمَّةُ هُدًى أَبْرَارٌ، يا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنْ، إِذَا أَتَاكَ الْمَلَكَانِ
الْمُقَرَّبانِ رَسُوْلَيْنِ مِنْ عِنْدِ اللهِ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى وَ سَأَلاَكَ
عَنْ رَبِّكَ و عَنْ نَبِيِّكَ وَ عَنْ ديْنِكَ وَ عَنْ كِتَابِكَ وَ عَنْ
قِبْلَتِكَ وَ عَنْ أَئِمَّتِكَ فَلاَ تَخَفْ وَ لاَ تَحْزَنْ وَ قُلْ فِيْ
جَوابِهِمَا اللهُ رَبّيْ وَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ نَبِيِّيْ
وَ الْإِسْلاَمُ دِيْنِيْ وَ الْقُرْآنُ كِتَابِيْ وَ الْكَعْبَةُ قِبْلَتِيْ وَ
أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلىُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ إِمَامِيْ وَ الْحَسَنُ بْنُ
عَلىٍّ الْمُجْتَبَى إِمَامِيْ وَ الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِىٍّ الشَّهِيْدُ
بِكَرْبَلاَءَ إِمَامِيْ وَ عَلِىٌّ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ إِمَامِيْ وَ مُحَمَّدٌ
الْبَاقِرُ إِمَامِيْ وَ جَعْفَرٌ الصَّادِقُ إِمَامِيْ وَ مُوْسَى الْكاظِمُ
إِمَامِيْ وَ عَلىٌّ الرِّضَى إِمَامِيْ وَ مُحَمَّدٌ الْجَوَادُ إِمَامِيْ وَ
عَلِىٌّ الْهَادِيْ إِمَامِيْ وَ الْحَسَنُ الْعَسْكَرِيُّ إِمَامِيْ وَ الْحُجَّةُ
الْمُنْتَظَرُ إِمَامِيْ، هَؤُلاَءِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعيْنَ
أَئِمَّتِيْ وَ سَادَتِيْ وَ قَادَتِيْ وَ شُفَعَائِيْ، بِهِمْ أَتَوَلَّى وَ مِنْ
أَعْدَائِهِمْ أَتَبَرَّأُ فِي الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ، ثُمَّ اعْلَمْ يَا
فُلاَنُ بْنَ فُلاَنْ، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى نِعْمَ الرَّبُّ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ نِعْمَ الرَّسُوْلُ وَ أَنَّ
عَلِىِّ بْنَ أَبِيْ طَالِبٍ وَ أوْلاَدَهُ الْمَعْصُوْمِيْنَ الْأَئِمَّةَ
الْإِثْنَيْ عَشَرَ نِعْمَ الْأَئِمَّةُ وَ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ حَقُّ وَ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَسُؤَالَ مُنْكَرٍ
وَ نَكِيْرٍ فِي القَبْرِ حَقُّ وَ الْبَعْثَ حَقٌ و النُّشُوْرَ حَقٌ وَ
الصِّرَاطَ حَقٌّ وَ الْمِيْزَانَ حَقٌّ وَتَطَايُرَ الكُتُبِ حَقٌّ وَ أَنَّ
الْجَنَّةَ حَقُّ وَ النّارَ حَقُّ وَ أَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لاَ رَيْبَ فِيْهَا
وَ أَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ
Setelah itu, kita lanjutkan dengan membaca:
أَفَهِمْتَ يَا فُلاَنُ، ثَبَّتَكَ اللهُ بِالْقوُلِ الثّابِتِ وَهَدَاكَ اللهُ
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، عَرَّفَ اللهُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ أَوْلِيَائِكَ فِيْ
مُسْتَقَرٍّ مِنْ رَحْمَتِهِ
Setelah itu, kita lanjutkan dengan membaca:
اَللَّهُمَّ جَافِ الْأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ وَ اصْعَدْ بِرُوْحِه إِلَيْكَ وَ
لَقِّنْهُ مِنْكَ بُرْهَانًا، اَللَّهُمَّ عَفْوَكَ عَفْوَك
Masalah 623: Disunahkan bagi orang
yang meletakkan jenazah di dalam kubur agar berada dalam keadaan suci dan
bertelanjang kepala dan kaki, serta keluar dari kubur itu melalui arah kaki
mayit. Selain keluarga mayit, orang-orang yang hadir di situ hendaknya
menuangkan tanah ke dalam kubur dengan menggunakan tangan bagian luar seraya
membaca “innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn”. Jika jenazah itu adalah jenazah
wanita, maka hendaknya orang yang masih muhrimnya meletakkannya ke dalam kubur.
Dan jika tidak ada orang yang masih muhrimnya, maka familinya yang meletakkannya
ke dalam kubur.
Masalah 624: Disunahkan kuburan itu
dibuat berbentuk segi empat sama sisi atau berbentuk persegi panjang,
ditinggikan setinggi ukuran empat jari, diberi tanda supaya tidak tertukar, dan
disiramkan air di atasnya. Setelah disiramkan air di atasnya, orang-orang yang
hadir di situ hendaknya meletakkan tangannya di atas kuburnya dengan jari-jari
terbuka dan menekannya sehingga tangan mereka masuk ke dalam tanah seraya
membaca surah al-Qadr sebanyak tujuh kali, memintakan ampunan baginya dan
membaca doa:
اَللَّهُمَّ جَافِ الْأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ وَ اصْعَدْ اِلَيْكَ رُوْحَهُ وَ
لَقِّهِ مِنْكَ رِضْوَانًا وَ أَسْكِنْ قَبْرَهُ مِنْ رَحْمَتِكَ ما تُغْنِيْهِ
بِهِ عَنْ رَحْمَة مَنْ سِوَاكَ
Masalah 625: Setelah orang-orang yang
mengikuti tasyyi’ jenazah pulang semua, disunahkan bagi wali mayit atau orang
yang mendapatkan izin darinya untuk membacakan talqin seperti telah disebutkan
di atas.
Masalah 626: Setelah prosesi
penguburan usai, disunahkan untuk mengucapkan belasungkawa kepada keluarga
mayit. Akan tetapi, jika beberapa waktu telah berlalu dan dengan ucapan
belasungkawa itu mereka akan teringat kembali akan musibah yang telah menimpa
mereka, maka tidak mengucapkan belasungkawa adalah lebih baik. Begitu juga
disunahkan kita mengirimkan makanan kepada mereka selama tiga hari. Makan
bersama mereka dan di rumah mereka adalah makruh.
Masalah 627: Disunahkan bagi kita
untuk besabar menghadapi kematian keluarga kita, khususnya anak-anak kita.
Ketika kita mengingat mereka kembali, hendaknya kita membaca “innâ lillâh wa
innâ ilahi râji’ûn”, membacakan Al-Qur’an untuk mereka, meminta hajat kita di
kuburan orang tua kita dan memperkokoh bangunan kuburan supaya tidak cepat
rusak.
Masalah 628: Tidak boleh kita melukai
wajah dan tubuh kita serta melakukan suatu perbuatan yang dapat membahayakan
badan kita karena kematian seseorang.
Masalah 629: Tidak boleh kita
merobek-robek leher baju (baca : baju) karena kematian selain ayah dan saudara
kita.
Masalah 630: Jika seorang lelaki
merobek-robek leher baju atau bajunya karena kematian istri atau anaknya, atau
jika seorang wanita melukai wajahnya hingga berdarah atau mencabut rambutnya
karena kematian seseorang, maka mereka harus memerdekakan seorang budak,
memberikan pangan kepada sepuluh orang miskin atau memberikan sandang kepada
mereka. Jika mereka tidak mampu untuk itu, maka mereka harus berpuasa selama
tiga hari. Bahkan jika tidak keluar darah sekalipun, maka berdasarkan
ihtiyath wajib ia juga harus melakukan hal tersebut.
Masalah 631: Berdasarkan ihtiyath
wajib tidak boleh kita terlalu mengeraskan suara ketika menangisi seorang
mayit.
Shalat Wahsyah
Masalah 632: Disunahkan pada malam
pertama setelah penguburan kita mengerjakan shalat Wahsyah untuk mayit sebanyak
dua rakaat. Caranya adalah pada rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah
kita membaca ayat Kursi sebanyak sekali dan pada rakaat kedua setelah membaca
surah al-Fatihah kita membaca surah al-Qadr sebanyak sepuluh kali. Setelah
membaca salam, kita membaca:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ ابْعَثْ ثَوَابَها اِلَى
قَبْرِ فُلانَ
Sebagai ganti dari Fulan, sebutkanlah nama mayit tersebut.
Masalah 633: Kita dapat mengerjakan
shalat Wahsyah pada saat kapan pun di malam pertama penguburan itu. Akan tetapi,
yang lebih baik adalah kita mengerjakannya di pertama malam setelah mengerjakan
shalat Isya’.
Masalah 634: Jika kita ingin
memindahkan jenazah ke sebuah kota yang jauh atau karena satu dan lain hal kita
ingin menunda penguburannya, maka kita juga harus menunda shalat Wahsyah itu
hingga malam pertama penguburannya.
Membongkar Kuburan
Masalah 635: Membongkar kuburan
seorang Muslim adalah haram meskipun ia adalah seorang anak kecil atau orang
gila. Akan tetapi, jika tubuhnya sudah hancur menjadi tanah, maka membongkar
kuburannya tidak ada masalah.
Masalah 636: Membongkar kuburan
anak-anak para imam ma’shum as, syuhada’, ulama dan orang-orang salih adalah
haram meskipun kuburan mereka sudah berumur tahunan.
Masalah 637: Dalam beberapa hal
berikut tidak haram membongkar kuburan (seorang Muslim):
a. Jenazah dimakamkan di sebuah tanah hasil ghashab dan
pemiliknya tidak mengizinkan ia dikuburkan di situ.
b. Kafan atau barang lain yang sudah dikuburkan bersama jenazah
adalah hasil ghashab dan pemiliknya tidak mengizinkan ia berada di dalam
kuburnya. Begitu juga jika harta peninggalannya yang telah menjadi harta warisan
para pewarisnya ikut terkubur bersamanya dan mereka tidak rela harta itu berada
di dalam kuburnya. Akan tetapi, jika ia berwasiat supaya buku doa, Al-Qur’an
atau sebuah cincinnya dikubur bersamanya, sekiranya wasiatnya itu tidak melebihi
sepertiga hartanya, maka untuk mengeluarkan barang-barang itu mereka tidak boleh
membongkar kuburnya.
c. Mayit dikuburkan tanpa dimandikan atau dikafani terlebih
dahulu, kita memahami bahwa mandinya adalah batal, dikafani tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditentukan dalam syariat atau dikuburkan tidak menghadap ke
arah Kiblat. Akan tetapi, dalam hal ini jika membongkar kuburannya dapat
mencemarkan kehormatannya, seperti jasadnya sudah membusuk dan mengeluarkan bau
yang tidak sedap, maka tidak boleh kita membongkarnya. Jika jenazah dikuburkan
tanpa dishalati, maka tidak boleh kita membongkar kuburannya dan cukup kita
mengerjakan shalat di atas kuburannya.
d. Untuk membuktikan sebuah hak kita perlu melihat tubuh mayit
itu.
e. Jenazah dikuburkan di sebuah tempat yang dapat mencemarkan
kehormatannya, seperti pekuburan orang-orang kafir atau tempat pembuangan
sampah.
f. Untuk sebuah kepentingan yang mendapatkan legitimasi dari
syariat dan hal itu lebih penting dari sekadar membongkar sebuah kuburan.
Seperti kita ingin menyelamatkan seorang bayi dari perut ibunya yang ikut
terkubur bersamanya.
g. Jika kita takut binatang buas merobek-robek tubuhnya, banjir
menghanyutkannya atau musuhnya membongkar kuburannya.
h. Jika kita ingin mengubur sebagian dari tubuh mayit yang
(terputus) dan belum terkubur. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath wajib
kita harus meletakkannya di dalam kuburnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya
tidak tampak.
i. Jika mayit berwasiat supaya jenazahnya dipindahkan ke
makam-makam suci (para imam dan wali Allah) sebelum dikuburkan dan secara
sengaja atau karena satu dan lain hal wasiatnya itu tidak dilaksanakan. Dalam
hal ini boleh, bahkan wajib kita membongkar kuburannya dan memindahkan
jenazahnya ke tempat yang telah ditentukan di dalam wasiatnya, kecuali jika
tubuhnya sudah rusak atau membongkar kuburannya dapat mencemarkan kehormatannya.
Dalam hal ini membongkar kuburannya dengan tujuan memindahkannya ke
tempat-tempat suci itu bertentangan dengan ihtiyath meskipun ia telah
berwasiat.
|