PASAL V
HUKUM KIBLAT
Masalah 770: Baitullah yang terdapat di Makkah
adalah Kiblat (kita). Wajib kita mengerjakan shalat dengan menghadap ke
arahnya. Akan tetapi, orang yang berada di tempat yang jauh darinya, seandainya
ia berdiri sedemikian rupa sekiranya dapat dikatakan ia sedang mengerjakan
shalat dengan menghadap ke Kiblat, maka hal itu sudah cukup. Begitu juga pekerjaan-pekerjaan
lain, seperti menyembelih binatang, yang harus dilakukan dengan menghadap ke
arah Kiblat.
Masalah 771: Orang yang mengerjakan shalat
dalam kondisi berdiri, ia harus berdiri sedemikian rupa sekiranya dapat
dikatakan bahwa ia berdiri menghadap ke arah Kiblat, dan tidak wajib lutut dan
ujung jari kakinya juga menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 772: Orang yang harus mengerjakan shalat
dalam kondisi duduk, jika ia tidak dapat duduk sebagaimana biasanya (orang lain
duduk dalam shalat), dan malahan di waktu duduk, ia harus meletakkan kedua
telapak kakinya di atas tanah, maka pada waktu mengerjakan shalat, wajah, dada
dan perutnya harus menghadap ke arah Kiblat, dan tidak wajib betisnya juga
menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 773: Seseorang yang tidak dapat
mengerjakan shalat dalam kondisi duduk, ketika ingin mengerjakan shalat, ia
harus tidur miring ke sebelah kanan sekiranya bagian depan tubuhnya menghadap
ke arah Kiblat, dan jika hal ini tidak mungkin, maka ia harus tidur miring ke
sebelah kiri sekiranya bagian depan tubuhnya menghadap ke arah Kiblat. Dan jika
hal ini pun tidak mungkin, maka ia harus tidur terlentang sedemikian rupa sekiranya
telapak kakinya menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 774: Kita harus mengerjakan shalat ihtiyath
dan mengganti sujud dan tasyahud yang terlupakan dengan menghadap ke arah
Kiblat. Dalam mengerjakan sujud sahwi juga—berdasarkan ihtiyath wajib—kita
harus menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 775: Shalat sunah dapat dikerjakan
dalam kondisi berjalan dan menaiki kendaraan, kereta api, pesawat atau kapal
laut. Jika seseorang mengerjakan shalat sunah dalam dua kondisi itu, tidak
wajib ia menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 776: Seseorang yang ingin mengerjakan
shalat harus berusaha untuk menemukan arah Kiblat sehingga ia yakin Kiblat itu
berada di sebelah mana. Dalam hal ini ia dapat memegang teguh kesaksian dua
orang yang adil yang kesaksian mereka berdasarkan pada pembuktian intuitif (hissiy)
atau ucapan seseorang yang mengetahui (letak) Kiblat berdasarkan kaidah ilmiah
dan ia dapat dipercaya. Jika kedua cara itu tidak mungkin, maka ia dapat
bersandarkan pada sangkaan yang dihasilkannya dari arah mihrab masjid muslimin,
kuburan mereka atau dari jalan lain. Seandainya pun ia—(ketika kedua cara itu
tidak mungkin)—dapat menyangka di mana arah Kiblat karena kesaksian seorang
fasiq atau kafir yang mengetahui letak arah Kiblat berdasarkan kaidah ilmiah, maka
hal itu sudah cukup.
Masalah 777: Seseorang yang memiliki sangkaan
di mana arah Kiblat berada, jika ia dapat memperoleh sangkaan yang lebih kuat
dari itu, maka ia tidak dapat memegang teguh sangkaannya yang pertama tersebut.
Contoh, seorang tamu yang memperoleh sangkaan tentang arah Kiblat dari pemilik
rumah, jika ia dapat memperoleh sangkaan yang lebih kuat dari itu dengan
menggunakan jalan lain, kompas penentu arah Kiblat misalnya, maka ia tidak
dapat memegang teguh ucapan pemilik rumah tersebut.
Masalah 778: Kompas-kompas penentu arah
Kiblat—jika ia tidak rusak—adalah salah satu sarana yang baik sekali untuk
menentukan arah Kiblat, dan sangkaan di mana arah Kiblat yang kita peroleh
darinya tidak lebih lemah dari jalan-jalan lain, bahkan sarana ini pada umumnya
adalah lebih jitu.
Masalah 779: Jika seseorang tidak mengetahui
arah Kiblat, maka ia dapat menentukan arah Kiblat itu dengan melihat mihrab
masjid dan kuburan muslimin. Akan tetapi, jika dengan usahanya sendiri atau
menggunakan pertolongan sarana-sarana modern, seperti kompas penentu arah
Kiblat, ia meyakini arah lain sebagai arah Kiblat, maka berdasarkan ihtiyath
wajib ia tidak dapat menjadikan mihrab masjid dan kuburan tersebut sebagai
tolok ukur untuk menentukan arah Kiblat. Apalagi jika ia memiliki sangkaan yang
kuat bahwa muslimin di daerah itu tidak begitu perhatian dalam membangun mihrab
dan kuburan itu. Dalam hal ini ia harus mengerjakan shalat dengan menghadap ke
satu arah atau beberapa arah yang ia memiliki kemantapan hati atau sangkaan
kuat bahwa Kiblat berada di arah-arah tersebut.<><>
Masalah 780: Jika seseorang tidak memiliki
sarana untuk menentukan arah Kiblat atau dengan usaha keras yang telah
dilakukannya ia tidak menemukan sangkaan di mana arah Kiblat sebenarnya, seandainya
ia masih memiliki waktu yang luas, maka ia harus mengerjakan empat kali shalat masing-masing
menghadap ke empat arah (yang berbeda), dan seandainya ia tidak memiliki waktu
untuk mengerjakan empat kali shalat, maka ia harus mengerjakan shalat sesuai
dengan waktu yang dimilikinya. Contoh, jika ia hanya memiliki waktu untuk
mengerjakan shalat sekali, maka ia harus mengerjakan shalat tersebut dengan
menghadap ke arah yang diinginkannya. Ia harus mengerjakan shalat-shalatnya itu
sedemikian rupa sekiranya ia yakin bahwa salah satunya pasti telah dikerjakan
dengan menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 781: Jika ia yakin atau menyangka
bahwa arah Kiblat terdapat di salah satu dari dua arah, maka ia harus
mengerjakan shalat dengan menghadap ke dua arah tersebut. Akan tetapi,
berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia tetap mengerjakan shalat
dengan menghadap ke empat arah meskipun ia memiliki sangkaan tersebut.
Masalah 782: Seseorang yang harus mengerjakan
shalat dengan menghadap ke beberapa arah, jika ia ingin mengerjakan shalat
Zhuhur dan Ashar atau shalat Maghrib dan Isya’, yang lebih baik adalah
hendaknya ia mengerjakan shalat pertama dengan menghadap ke beberapa arah yang
diwajibkan, dan kemudian ia memulai shalat yang kedua.
Masalah 783: Seseorang yang tidak memiliki
keyakinan tentang arah Kiblat, jika ia ingin mengerjakan sebuah pekerjaan yang
harus dilaksanakan dengan menghadap ke arah Kiblat, seperti menyembelih
binatang, maka ia harus melakukannya sesuai dengan sangkaannya, dan jika ia
tidak memiliki sangkaan sekalipun, menghadap ke arah manapun ia melakukannya,
maka hal itu adalah sah.
Masalah 784: Jika seseorang memiliki sangkaan
tentang arah Kiblat dan di pertengahan shalat ia mendapat sangkaan lain bahwa
Kiblat berada di arah yang lain, maka ia harus mengerjakan sisa shalatnya
dengan menghadap ke arah kedua tersebut. Akan tetapi, jika kadar shalat yang
telah dikerjakannya itu ternyata menghadap ke arah kanan, kiri atau
membelakangi Kiblat (sesuai dengan sangkaan kedua), maka berdasarkan ihtiyath
wajib ia harus mengulangi shalat tersebut dengan menghadap ke arah yang
sesuai dengan sangkaan keduanya.
Masalah 785: Jika tanpa penelitian sebelumnya,
entah karena lalai atau kurang perhatian (dalam menentukan arah Kiblat) ia
mengerjakan shalat, sekiranya setelah shalat usai ia tahu bahwa arah Kiblatnya
adalah betul dan dalam mengerjakan shalat ia berniat qurbah, maka
shalatnya adalah sah. Akan tetapi, jika setelah shalat usai ia tahu bahwa arah
Kiblatnya adalah salah, maka shalatnya adalah batal dan ia harus mengulanginya.
Kiblat yang dimaksud di sini adalah lebih umum dari Kiblat itu sendiri dan arahnya
hingga 10 derajat ke sebelah kanan dan kirinya.
Masalah 786: Jika seseorang menyembelih
kambing atau onta dengan tidak menghadapkannya ke arah Kiblat dengan sengaja,
maka memakan daging kambing dan onta itu adalah haram. Akan tetapi, jika ia
tidak mengetahui, lupa atau tidak bisa menentukan arah Kiblat dan
menyembelihnya dengan tidak menghadapkannya ke arah Kiblat, maka memakan
dagingnya adalah halal.
|