Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

PASAL VI

MENUTUPI BADAN DALAM SHALAT

Masalah 787: Dalam kondisi shalat, seorang lelaki harus menutupi tubuhnya meskipun tidak seorang pun yang melihatnya, dan yang paling baik adalah (minimal) hendaklah ia menutupi bagian tubuhnya dari pusar hingga lutut.

Masalah 788: Dalam kondisi shalat, seorang wanita harus menutupi seluruh tubuhnya meskipun kepala dan rambutnya. Akan tetapi, tidak wajib ia menutupi wajah sekadar yang wajib dibasuh ketika berwudhu, kedua tangan hingga pergelangan tangan dan kedua kaki hingga pergelangan kakinya. Akan tetapi, supaya ia yakin bahwa kadar yang wajib telah tertutup, ia juga harus menutupi wajahnya melebihi kadar (yang wajib dibasuh ketika ia berwudhu) dan melebihi pergelangan tangan dan pergelangan kaki.

Masalah 789: Ketika seseorang ingin mengganti sujud dan tasyahud yang lupa dikerjakan, bahkan berdasarkan ihtiyath wajib ketika ia ingin mengerjakan sujud sahwi, ia harus menutupi tubuhnya seperti ketika hendak mengerjakan shalat.

Masalah 790: Dalam kondisi shalat, tidak wajib bagi wanita untuk menutupi rambut palsu (yang dipakainya), perhiasan yang tersembunyi, seperti gelang dan kalung, dan perhiasan yang terdapat di wajah, seperti celak mata. Akan tetapi, wajib baginya untuk menutupinya dari lelaki yang bukan muhrim.

Masalah 791: Jika seseorang tidak menutupi auratnya dengan sengaja ketika mengerjakan shalat, maka shalatnya adalah batal. Bahkan, jika hal itu terjadi karena ia tidak mengetahui hukum, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia juga harus mengulangi shalatnya.

Masalah 792: Jika di pertengahan shalat ia tahu bahwa auratnya kelihatan, maka ia harus menutupinya, dan berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menyempurnakan shalat tersebut dan mengulanginya. Akan tetapi, jika ia baru tahu setelah mengerjakan shalat bahwa auratnya kelihatan pada waktu ia mengerjakan shalat, maka shalatnya adalah sah.

Masalah 793: Jika dalam kondisi berdiri pakaiannya bisa menutupi auratnya dan dalam kondisi lain, seperti ruku’ dan sujud, pakaian itu tidak dapat menutupinya, sekiranya ketika aurat tersebut kelihatan ia dapat menutupinya dengan menggunakan apa saja, maka shalatnya adalah sah. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia tidak mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian semacam ini.

Masalah 794: Dalam shalat seseorang dapat menutupi tubuhnya dengan menggunakan dedaunan. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia menutupinya dengan dedaunan tersebut ketika ia tidak memiliki sesuatu yang lain.

Masalah 795: Jika selain lumpur ia tidak memiliki sesuatu yang lain yang dapat digunakan untuk menutupi tubuhnya, lumpur itu tidak dapat digunakan untuk menutupi aurat, dan ia dapat mengerjakan shalat dengan telanjang. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia mengumpulkan kedua cara shalat tersebut. Yaitu, sekali ia mengerjakan shalat dengan telanjang dan sekali lagi mengerjakan shalat setelah menutupi kedua auratnya dengan lumpur.

Masalah 796: Jika ia tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk menutupi aurat dan ia masih memberikan kemungkinan akan menemukannya, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menunda shalatnya. Seandainya ia tidak menemukan penutup aurat juga, maka ia harus mengerjakan shalat di akhir waktu sesuai dengan tugasnya.

Masalah 797: Seseorang yang ingin mengerjakan shalat, jika ia tidak memiliki sesuatu meskipun dedaunan yang dapat digunakan untuk menutupi tubuhnya dan ia juga tidak dapat memberikan kemungkinan bahwa di akhir waktu akan menemukannya, maka ia harus mengerjakan shalat dalam kondisi duduk dan menutupi auratnya dengan paha jika ada orang bukan muhrim yang melihatnya. Jika tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka ia harus mengerjakan shalat dalam kondisi berdiri dan menutupi (aurat) depan dengan tangan. Dalam kedua kondisi ini, ia harus mengerjakan ruku’ dan sujud dengan menggunakan isyarat, dan untuk mengerjakan sujud, hendaknya ia menundukkan kepala lebih rendah (daripada ruku’nya).

Pakaian Mushalli

Masalah 798: Pakaian mushalli memiliki enam syarat:

Pertama, pakaian itu harus suci.

Kedua, berdasarkan ihtiyath wajib, pakaian itu harus mubah, (bukan hasil ghashab).

Ketiga, pakaian itu tidak terbuat dari bahan bangkai.

Keempat, pakaian itu tidak terbuat dari hewan yang haram dimakan dagingnya.

Kelima dan keenam, jika mushalli adalah laki-laki, maka pakaiannya tidak boleh terbuat dari sutra murni dan tidak ditenun dari emas.

Penjabaran semua syarat tersebut akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

Syarat Pertama: Pakaian Harus Suci

Masalah 799: Pakaian mushalli harus suci. Jika ia mengerjakan shalat dengan badan atau pakaian yang najis, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 800: Seseorang yang tidak mengetahui bahwa mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian dan badan yang najis adalah batal, jika ia mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian atau badan yang najis, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 801: Jika karena tidak mengetahui hukum ia tidak mengetahui bahwa suatu benda adalah najis; seperti ia tidak mengetahui bahwa keringat onta pemakan najis atau keringat orang musyrik adalah najis, dan ia mengerjakan shalat dengan menggunakan (pakaian yang terkena) keringat tersebut, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 802: Jika seseorang tidak mengetahui bahwa badan atau pakaiannya adalah najis dan setelah mengerjakan shalat ia baru tahu bahwa pakaian itu adalah najis, maka shalatnya adalah sah. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab jika ia masih memiliki waktu, hendaknya ia mengulangi shalat tersebut.

Masalah 803: Jika seseorang lupa bahwa badan atau pakaiannya adalah najis dan di pertengahan shalat atau setelah mengerjakan shalat ia ingat hal itu, maka ia harus mengulangi shalatnya, dan jika waktu shalat tersebut telah lewat, maka ia harus mengqadhanya.

Masalah 804: Seseorang yang sedang mengerjakan shalat di dalam waktu yang masih luas, jika di pertengahan shalat itu badan atau pakaiannya menjadi najis dan sebelum ia sempat mengerjakan bagian shalat selanjutnya dengan pakaian najis tersebut ia tahu bahwa badan atau pakaiannya adalah najis, serta ia ragu apakah badan atau pakaian tersebut kejatuhan najis pada waktu itu juga atau sudah najis sebelum ia mengerjakan shalat, sekiranya dengan mencuci badan atau pakaian, mengganti pakaian atau menanggalkannya shalatnya tidak akan batal, maka di pertengahan mengerjakan shalat itu ia harus mencuci badan atau pakaiannya, mengganti pakaiannya, atau menanggalkannya jika auratnya masih memiliki penutup yang lain dan meneruskan shalatnya. Akan tetapi, jika dengan mencuci badan atau pakaiannya, mengganti pakaian atau menanggalkannya itu shalatnya akan batal atau dengan menanggalkan pakaiannya itu ia akan telanjang, maka ia harus membatalkan shalatnya dan mengerjakan shalatnya lagi dengan badan dan pakaian yang suci.

Masalah 805: Seseorang yang sedang mengerjakan shalat di dalam waktu yang sempit, jika di pertengahan shalat itu pakaiannya menjadi najis dan sebelum ia sempat mengerjakan bagian shalat selanjutnya dengan pakaian najis tersebut ia tahu bahwa pakaiannya adalah najis, serta ia ragu apakah pakaian tersebut kejatuhan najis pada waktu itu juga atau sudah najis sebelum ia mengerjakan shalat, sekiranya dengan mencuci pakaian, mengganti atau melepasnya shalatnya tidak akan batal, maka ia harus mencuci pakaiannya, mengganti, atau melepasnya jika auratnya masih memiliki penutup yang lain dan meneruskan shalatnya. Akan tetapi, jika tidak ada penutup lain yang menutupi auratnya dan ia tidak dapat mencuci pakaian tersebut atau menggantinya, maka ia harus menanggalkan pakaiannya itu dan menyempurnakan shalatnya sesuai dengan tata cara yang telah dijelaskan untuk orang-orang yang mengerjakan shalat dengan telanjang. Akan tetapi, jika dengan mencuci pakaiannya atau menggantinya shalatnya akan batal atau karena hawa yang dingin dan yang semisalnya ia tidak dapat menanggalkan pakaiannya, maka ia harus mengerjakan shalat dalam kondisi mengenakan pakaian najis tersebut dan shalatnya adalah sah.

Masalah 806: Seseorang yang sedang mengerjakan shalat di dalam waktu yang sempit, jika di pertengahan shalat badannya menjadi najis dan sebelum ia sempat mengerjakan bagian shalat selanjutnya dengan badan najis tersebut ia tahu bahwa badannya adalah najis, serta ia ragu apakah badannya kejatuhan najis pada waktu itu juga atau sudah najis sebelum ia mengerjakan shalat, sekiranya dengan mencuci badannya shalatnya tidak akan batal, maka ia harus mencuci badannya. Akan tetapi, jika dengan mencuci badannya itu shalatnya akan batal, maka ia harus mengerjakan shalat dengan badan yang najis tersebut dan shalatnya adalah sah.

Masalah 807: Seseorang yang ragu akan kesucian badan atau pakaiannya, jika ia mengerjakan shalat (dalam kondisi seperti itu) dan setelah shalat usai ia tahu bahwa badan atau pakaiannya tidak suci, maka berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia mengulangi shalat itu jika waktu shalat masih ada dan mengqadhanya jika waktunya sudah habis.

Masalah 808: Jika seseorang mencuci pakaian dan yakin bahwa pakaian itu sudah suci, lalu ia mengerjakan shalat dengannya dan setelah usai mengerjakan shalat ia tahu bahwa pakaian itu belum suci, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengulangi shalatnya jika waktunya masih ada dan mengqadhanya jika waktunya sudah habis.

Masalah 809: Jika seseorang melihat sendiri darah di badan atau pakaiannya dan ia yakin bahwa darah itu bukan termasuk darah-darah yang najis, seperti darah nyamuk, sekiranya setelah shalat usai ia tahu bahwa darah itu termasuk darah-darah yang tidak sah shalat dengannya, maka shalatnya (meskipun demikian) adalah sah.

Masalah 810: Jika ia yakin bahwa darah yang terdapat di badan atau pakaiannya adalah darah najis yang shalat bisa sah dengannya, seperti darah luka dan bisul, sekiranya setelah shalat usai ia tahu bahwa darah itu adalah darah (najis) yang tidak sah shalat dengannya, maka shalatnya (meskipun demikian) adalah sah.

Masalah 811: Jika ia lupa akan kenajisan sebuah benda, dan badan atau pakaiannya yang basah menyentuh benda tersebut, lalu ia mengerjakan shalat dan setelah shalat usai ia ingat (bahwa benda itu adalah najis), maka shalatnya adalah sah. Jika tanpa mencuci bagian badan yang menyentuh benda najis sebelumnya ia melakukan mandi (wajib) dengan menggunakan air sedikit dan lalu mengerjakan shalat, maka mandi dan shalatnya adalah batal. Adapun jika ia melakukan mandi (wajib) itu dengan menggunakan air mengalir atau air kur, maka mandinya adalah sah dan shalatnya pun tidak ada masalah, karena ketika air menyentuh bagian yang najis itu untuk pertama kalianya, bagian itu telah suci. Jika bagian yang menyentuh benda najis tersebut adalah salah satu anggota wudhu dan tanpa menyucikannya terlebih dahulu ia berwudhu dengan menggunakan air sedikit dan dengan sekali basuhan, lalu ia mengerjakan shalat, maka wudhu dan shalatnya adalah batal, dan pada asumsi tersebut juga, jika ia berwudhu dengan menggunakan air yang banyak atau membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali, maka penyucian telah dilaksanakan, dan wudhu dan shalatnya adalah sah.

Masalah 812: Seseorang yang hanya memiliki satu buah pakaian, jika badan dan pakaiannya itu najis dan ia hanya memiliki air yang dapat digunakan untuk menyucikan salah satunya, sekiranya ia dapat menanggalkan pakaiannya, maka ia harus mencuci badannya dan mengerjakan shalat sesuai dengan tata cara yang telah dijelaskan untuk orang-orang yang mengerjakan shalat dengan telanjang. Dan jika karena dinginnya hawa atau karena uzur yang lain ia tidak dapat menanggalkan pakaiannya dan benda najis yang terdapat di badan dan pakaiannya itu adalah sama, keduanya adalah air kencing atau darah misalnya, atau benda najis yang terdapat di badan adalah lebih berat atau lebih banyak, air kencing misalnya yang harus dicuci dengan air sedikit sebanyak dua kali, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mencuci badannya. Dan jika benda najis yang terdapat di pakaiannya adalah lebih berat atau lebih banyak, maka ia dapat memilih mana yang harus dicuci; badannya atau pakaiannya.

Masalah 813: Seseorang yang tidak memiliki pakaian lagi selain pakaian yang najis dan waktu shalat sudah sempit atau ia tidak memberikan kemungkinan akan menemukan pakaian yang suci, maka ia harus mengerjakan shalat sesuai dengan kewajiban orang-orang yang mengerjakan shalat dengan telanjang. Akan tetapi, jika karena dinginnya hawa atau karena uzur yang lain ia tidak dapat menanggalkan pakaiannya tersebut, maka ia harus mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian tersebut dan shalatnya adalah sah.

Masalah 814: Seseorang yang memiliki dua buah pakaian, jika ia mengetahui bahwa salah satunya adalah najis dan tidak dapat memastikan yang mana, serta ia tidak dapat mencucinya, sekiranya ia masih memiliki banyak waktu, maka ia harus mengerjakan shalat dengan menggunakan kedua pakaian tersebut. Contoh, jika ia ingin mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar, maka ia harus mengerjakan shalat Zhuhur (sebanyak dua kali) dengan mengenakan masing-masing kedua pakaian tersebut, dan begitu juga dengan shalat Ashar. Dan jika waktu shalat sudah sempit, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat sesuai dengan kewajiban orang-orang yang telanjang, dan berdasarkan ihtiyath wajib juga ia harus mengqadha shalatnya dengan menggunakan pakaian yang suci.

Syarat Kedua: Berdasarkan Ihtiyath Wajib, Pakaian itu Harus Mubah

Masalah 815: Pakaian mushalli—berdasarkan ihtiyath wajib—harus mubah. Seseorang yang mengetahui bahwa mengenakan pakaian hasil ghashab adalah haram, jika dengan sengaja ia mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian hasil ghashab atau pakaian yang benang jahitan, kancing atau bagian yang lainnya adalah hasil ghashab, maka berdasarkan ihtiyath wajib shalatnya adalah batal dan ia harus mengulanginya dengan menggunakan pakaian yang bukan hasil ghashab. Begitu juga dengan orang yang tidak mengetahui—karena keteledorannya (taqshîr)—bahwa mengenakan pakaian hasil ghashab adalah haram.

Masalah 816: Seseorang yang mengetahui bahwa mengenakan pakaian hasil ghashab adalah haram, akan tetapi, ia tidak mengetahui bahwa hal itu dapat membatalkan shalat, jika ia sengaja mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian hasil ghashab, maka berdasarkan ihtiyath wajib shalatnya adalah batal dan ia harus mengulanginya dengan menggunakan pakaian yang bukan hasil ghashab.

Masalah 817: Jika seseorang tidak mengetahui atau lupa bahwa pakaiannya adalah hasil ghashab dan ia mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian itu, maka shalatnya adalah sah. Akan tetapi, jika ia sendiri yang telah mengghashabnya dan ia lupa telah mengghashabnya, maka berdasarkan ihtiyath wajib shalatnya adalah batal dan ia harus mengulanginya dengan menggunakan pakaian yang bukan hasil ghashab.

Masalah 818: Jika barang-barang hasil ghashab, baik kecil maupun besar, seperti tasbih, sapu tangan dan lain-lain ikut serta bersama mushalli, (bukan dipakainya), maka barang-barang itu tidak dapat membatalkan shalat.

Masalah 819: Jika dengan tujuan menjaga diri atau supaya pencuri tidak mencuri pakaian hasil ghashab seseorang mengerjakan shalat dengan mengenakannya, maka shalatnya adalah sah.

Masalah 820: Jika seseorang tidak tahu atau lupa bahwa pakaiannya adalah hasil ghashab dan ketika di pertengahan shalat ia baru ingat (akan hal itu), sekiranya ia masih memiliki sesuatu yang lain yang dapat digunakan untuk menutupi auratnya dan ia dapat menanggalkan pakaian hasil ghashab itu secara langsung dan syarat “berkesinambungan (dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban shalat)” masih dapat dijaga, maka ia harus menanggalkannya dan menyempurnakan shalat, dan shalatnya adalah sah. Jika ia tidak memiliki sesuatu yang lain yang dapat menutupi auratnya, tidak dapat menanggalkan pakaian itu secara langsung atau jika ia menanggalkannya, syarat “berkesinambungan” (muwâlât) tidak dapat dijaga, sekiranya ia masih memiliki waktu meskipun sekadar mengerjakan satu rakaat, maka ia harus membatalkan shalatnya dan mengulanginya dengan mengenakan pakaian yang bukan hasil ghashab. Jika ia tidak memiliki waktu meskipun sekadar satu rakaat, maka ia harus menanggalkan pakaian tersebut di pertengahan shalat dan menyempurnakan shalatnya sesuai dengan kewajiban orang-orang yang mengerjakan shalat dalam kondisi telanjang.

Masalah 821: Jika seseorang membeli pakaian dengan menggunakan uang yang belum dikeluarkan khumus atau zakatnya, maka pakaian tersebut memiliki hukum seperti pakaian hasil ghashab dan shalat dengan menggunakannya adalah batal. Jika ia membeli pakaian secara kredit atau menghutang sebuah pakaian dan ia berniat untuk membayar harga pakaian tersebut dengan uang yang belum dikeluarkan khumus atau zakatnya, atau dengan harta haram, maka shalat dengan menggunakan pakaian tersebut adalah batal.

Syarat Ketiga: Pakaian Mushalli Tidak Boleh Terbuat dari Bahan Bangkai

Masalah 822: Pakaian mushalli tidak boleh terbuat dari bahan bangkai binatang yang memiliki darah memancar ketika disembelih. Bahkan, jika ia memproduksi pakaian dari bangkai binatang yang halal dagingnya dan tidak memiliki darah memancar, seperti ikan, maka berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia tidak mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian tersebut.

Masalah 823: Jika sebagian dari bangkai binatang yang memiliki ruh ketika ia hidup, seperti daging dan kulitnya, ikut berserta mushalli, maka shalatnya adalah batal meskipun bagian bangkai tersebut bukan pakaian (baca : tidak terhitung pakaian).

Masalah 824: Jika bagian dari bangkai binatang yang halal dagingnya dan tidak memiliki ruh ketika ia masih hidup, seperti bulu dan wol, ikut beserta mushalli atau ia mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, maka shalatnya adalah sah.

Masalah 825: Jika seseorang tidak memiliki pakaian lain selain pakaian hasil ghashab atau pakaian yang terbuat dari bangkai dan ia tidak terpaksa harus mengenakan pakaian, maka ia harus mengerjakan shalat sesuai dengan kewajiban orang-orang yang mengerjakan shalat dengan telanjang.

Syarat Keempat: Pakaian Mushalli Tidak Boleh Terbuat dari Hewan yang Haram Dagingnya

Masalah 826: Pakaian mushalli tidak boleh terbuat dari binatang yang haram dagingnya, dan jika sepotong bulu dari binatang tersebut ikut beserta dengannya, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 827: Jika air liur, ingus atau cairan lain binatang yang haram dagingnya, seperti kucing, yang masih basah menempel di badan atau pakaian mushalli, maka ia dapat membatalkan shalat, dan jika cairan itu sudah mengering dan bekasnya sudah menghilang, maka ia tidak membatalkan shalat.

Masalah 828: Jika bulu, keringat dan air ludah manusia menempel di badan atau pakaian mushalli, maka hal itu tidak ada masalah. Begitu juga jika mutiara, rumah lebah dan madu ikut bersama mushalli.

Masalah 829: Jika ia ragu apakah pakaian yang dimilikinya terbuat dari hewan yang halal dagingnya atau binatang yang haram dagingnya, baik pakaian itu diproduksi di luar negeri maupun dalam negeri, maka tidak ada larangan ia mengerjakan shalat dengan mengenakannya.

Masalah 830: Jika ia memberikan kemungkinan bahwa kancing baju (model) kerang (baca : rumah mutiara) dan yang semisalnya berasal dari binatang, maka mengerjakan shalat dengan mengenakannya tidak ada masalah. Dan jika ia tahu bahwa kancing itu adalah kerang (sejati) dan ia memberikan kemungkinan bahwa kerang itu tidak memiliki daging, maka tidak ada larangan kita mengerjakan shalat dengan mengenakannya.

Masalah 831: Tidak ada masalah mengerjakan shalat dengan mengenakan kulit (ÎŇ) (????). Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath wajib kita jangan mengerjakan shalat dengan mengenakan kulit bajing.

Masalah 832: Jika seseorang mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian yang ia tidak mengetahui apakah terbuat dari hewan yang haram dagingnya atau tidak, maka shalatnya adalah sah. Akan tetapi, jika ia lupa (apakah pakaian itu terbuat dari hewan yang halal dagingnya atau tidak), maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengulangi shalatnya.

Masalah 833: Mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit buatan yang diproduksi dari bahan-bahan plastik dan yang semisalnya adalah tidak ada masalah. Atas dasar ini, ketika seseorang ragu apakah sebuah pakaian terbuat dari kulit buatan, kulit asli, (kulit) binatang yang haram dagingnya, bangkai, atau terbuat dari hewan yang halal dagingnya dan telah disembelih, tidak ada masalah mengerjakan shalat dengan mengenakannya.

Masalah 834: Jika ia tidak memiliki pakaian lain selain pakaian yang terbuat dari binatang yang haram dagingnya dan ia terpaksa harus mengenakan pakaian, maka ia dapat mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian tersebut, dan sekiranya ia tidak terpaksa harus mengenakan pakaian, maka ia harus mengerjakan shalat sesuai dengan kewajiban orang-orang yang mengerjakan shalat dengan telanjang. Dan berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat lagi dengan pakaian tersebut.

Kelima dan Keenam: Pakaian Mushalli Laki-laki Tidak Boleh Terbuat dari Sutra Murni dan Tidak Ditenun dengan Emas

Masalah 835: Mengenakan pakaian yang ditenun dengan emas untuk laki-laki adalah haram dan mengerjakan shalat dengan mengenakannya adalah batal. Akan tetapi, tidak ada masalah mengenakan pakaian tersebut bagi wanita, baik dalam shalat maupun di luar shalat.

Masalah 836: Memakai perhiasan emas, seperti menggantungkan rantai emas di bagian dada (pakaian), memakai cincin emas dan menggunakan jam tangan emas bagi laki-laki adalah haram dan mengerjakan shalat dengan memakai semua itu adalah batal. Dan juga ia harus menghindari pemakaian kaca mata emas. Akan tetapi, tidak ada masalah memakai perhiasan emas bagi wanita, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.

Masalah 837: Jika karena tidak tahu hukum atau lupa seseorang mengerjakan shalat dengan memakai emas, maka berdasarkan ihtiyath wajib shalatnya adalah batal.

Masalah 838: Memakai perhiasan emas atau mengenakan pakaian yang ditenun dengan emas bagi lelaki adalah haram, baik nampak maupun tersembunyi dan mengerjakan shalat dengan mengenakannya adalah batal. Atas dasar ini, jika pakaian dalam seorang lelaki ditenun dengan emas atau ia memakai kalung emas, maka—meskipun tidak kelihatan—semua itu adalah haram dan dapat membatalkan shalatnya.

Masalah 839: Pakaian seorang mushalli tidak boleh terbuat dari sutera murni. Begitu juga, berdasarkan ihtiyath wajib, segala sesuatu yang tidak dapat menutupi kedua auratnya, seperti kopiah, jika ia terbuat dari sutera yang murni, maka mengerjakan shalat dengan mengenakannya adalah batal. Di luar shalat pun mengenakan pakaian sutera bagi laki-laki adalah haram.

Masalah 840: Jika lapisan dalam seluruh pakaian atau lapisan dalam sebagiannya terbuat dari sutera murni, maka mengenakannya bagi lelaki adalah haram dan mengerjakan shalat dengan mengenakannya adalah batal.

Masalah 841: Jika cincin emas, rantai emas dan yang semisalnya terdapat di saku seorang lelaki, maka hal itu tidak ada masalah dan semua itu (dalam kondisi demikian) tidak membatalkan shalat.

Masalah 842: Tidak ada masalah memakai pakaian yang tidak kita ketahui apakah terbuat dari sutera murni atau dari bahan lain dan mengerjakan shalat dengan mengenakannya adalah sah.

Masalah 843: Sapu tangan yang terbuat dari sutera murni dan yang semisalnya, jika terdapat di saku seorang lelaki, maka hal itu tidak ada masalah dan ia tidak membatalkan shalat.

Masalah 844: Tidak ada masalah memakai pakaian sutera bagi wanita, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.

Masalah 845: Dalam kondisi terpaksa, tidak ada larangan kita mengenakan pakaian hasil ghashab, sutera murni, pakaian yang ditenun dengan emas dan pakaian yang terbuat dari bangkai. Begitu juga, seseorang yang terpaksa harus mengenakan pakaian dan ia tidak memiliki pakaian lain selain pakaian-pakaian tersebut dan hingga akhir waktu pun keterpaksaannya itu tidak akan hilang, maka ia dapat mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian-pakaian tersebut.

Masalah 846: Jika pakaian seorang lelaki adalah campuran dari sutera dan bahan selain sutera, maka mengerjakan shalat dengan mengenakannya adalah sah dengan syarat bahan selain sutera itu berasal dari bahan yang sah shalat dengan mengenakannya. Adapun jika bahan selain sutera itu sangat sedikit kadarnya sekiranya ia seakan-akan tidak masuk hitungan, maka tidak boleh bagi seorang lelaki untuk mengerjakan shalat dengan mengenakannya.

Masalah 847: Jika seorang lelaki tidak memiliki pakaian lain selain pakaian yang terbuat dari sutera murni atau ditenun dengan emas dan ia tidak terpaksa harus berpakaian, maka ia harus mengerjakan shalat sesuai kewajiban orang-orang yang mengerjakan shalat dengan telanjang.

Masalah 848: Jika seseorang tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk menutupi auratnya dalam shalat, maka wajib baginya untuk menyediakannya meskipun dengan cara menyewa atau membeli. Akan tetapi, jika menyediakan pakaian itu memerlukan sejumlah uang yang sangat banyak jika diukur dengan tingkat kekayaannya dan seandainya uang itu digunakan untuk menyewa atau membeli pakaian tersebut, hal itu akan membahayakan kondisi (ekonomi)nya, maka ia harus mengerjakan shalat sesuai dengan kewajiban orang-orang yang mengerjakan shalat dengan telanjang.

Masalah 849: Seseorang yang tidak memiliki pakaian sama sekali, jika orang lain memberikan atau meminjamkan pakaian kepadanya, maka ia harus menerimanya jika hal itu tidak mengandung kesulitan (masyaqqah) yang biasanya tidak dapat ditanggung (oleh orang sepertinya). Bahkan, jika meminta pinjaman atau pemberian pakaian itu tidak mengandung kesulitan yang biasanya tidak bisa ditanggung (oleh orang sepertinya), maka ia harus meminta pinjaman atau pemberian pakaian.

Masalah 850: Berdasarkan ihtiyath wajib, seseorang harus menghindari pemakaian pakaian norak (libâs asy-syuhrah) yang kain, warna atau jahitannya tidak sesuai (dengan kondisi sosial) pemakainya (sebagai anggota sebuah masyarakat). Akan tetapi, seandainya ia mengerjakan shalat dengan mengenakannya, maka hal itu tidak ada masalah.

Masalah 851: Maksud dari pakaian norak (libâs asy-syuhrah) adalah jenis pakaian yang—secara ‘urf­—sangat mencolok dan oleh karena itu, pakaian itu menjadi perhatian khalayak atau tidak sesuai dengan kepribadian dan kedudukan orang (yang memakainya), baik dari sisi jenis, warna maupun jahitannya.

Masalah 852: Berdasarkan ihtiyath wajib, orang laki tidak boleh memakai pakaian wanita dan wanita tidak boleh memakai pakaian lelaki. Maksdunya, orang laki tidak boleh memakai pakaian sedemikian rupa sehingga dikatakan bahwa ia memakai pakaian wanita, dan sebaliknya. Atas dasar ini, tidak ada masalah orang laki hanya memakai sandal wanita, dan begitu juga sebaliknya. Adapun jika ia mengerjakan shalat dengan mengenakannya, maka hal itu tidak ada masalah.

Masalah 853: Seseorang yang tidak memiliki pakaian penutup dan ia memberikan kemungkinan hingga akhir waktu akan menemukannya, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menunda shalatnya dari awal waktu dan mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian.

Masalah 854: Seseorang yang harus mengerjakan shalat dalam kondisi tidur, jika ia telanjang dan selimut atau alas tidurnya adalah najis, terbuat dari sutera murni atau dari hewan yang haram dagingnya, maka berdasarkan ihtiyath wajib ketika ingin mengerjakan shalat ia tidak menutupi dirinya dengan semua itu.

Badan dan Pakaian Mushalli Tidak Harus Suci

Masalah 855: Dalam tiga kondisi, jika badan atau pakaian mushalli najis, maka shalatnya adalah sah:

a.Badan atau pakaiannya berlumuran darah yang keluar dari luka atau bisul yang terdapat di badannya.

b.Darah yang ukurannya kurang dari 1 Dirham (± seukuran uang logam kecil Rp 50-an) menempel di badan atau pakaiannya, kecuali beberapa jenis darah yang akan dijelaskan pada masalah 862 mendatang.

c.Ia terpaksa harus mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian atau badan yang najis.

Dan dalam dua kondisi berikut, jika pakaiannya saja yang najis, maka shalatnya adalah sah:

a.Pakaian yang berukuran kecil, seperti kaos kaki dan kaos tangan.

b.Pakaian seorang baby sister.

Hukum kelima kondisi tersebut masing-masing akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

Masalah 856: Jika di badan atau pakaian mushalli terdapat darah luka atau bisul yang sekiranya mencuci badan atau pakaian, atau mengganti pakaian tersebut sangat sulit bagi kebanyakan orang atau baginya sendiri secara pribadi, maka ia dapat mengerjakan shalat dengan darah tersebut selama luka atau bisulnya belum sembuh. Begitu juga jika nanah yang keluar bersama darah atau obat yang ditaburkan di atasnya dan menjadi najis (karen darah itu) menempel di badan atau pakaiannya.

Masalah 857: Jika darah luka yang dapat sembuh dengan cepat dan dapat dicuci dengan mudah, serta seukuran 1 Dirham atau lebih menempel di badan atau pakaian mushalli, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 858: Jika satu bagian dari badan atau pakaian yang terpisah dari tempat luka menjadi najis oleh cairan luka, maka tidak boleh kita mengerjakan shalat dengan membawa bagian yang najis itu. Akan tetapi, jika sebagian dari badan atau pakaian yang (dekat dengan tempat luka) dan biasanya terkena cairan luka menjadi najis oleh cairan tersebut, maka tidak ada larangan kita mengerjakan shalat dengan membawa bagian tersebut.

Masalah 859: Darah yang  keluar dari mulut dan hidung tidak memiliki hukum darah luka, dan jika pakaian dan badan menjadi najis oleh darah tersebut, maka kita tidak dapat mengerjakan shalat dengan membawanya, kecuali jika ia kurang dari ukuran 1 Dirham. Akan tetapi, darah yang keluar akibat penyakit wasir memiliki hukum darah luka dan tidak ada masalah mengerjakan shalat dengan membawanya.

Masalah 860: Seseorang yang memiliki luka di badannya, jika ia melihat darah di badan atau pakaiannya dan ia tidak tahu apakah darah itu berasal dari darah luka tersebut atau selainnya, maka tidak ada larangan ia mengerjakan shalat dengan membawa darah tersebut.

Masalah 861: Jika di badan seseorang terdapat beberapa luka yang sangat berdekatan sehingga dapat dihitung sebagai satu luka, maka ia dapat mengerjakan shalat dengan darah luka-luka tersebut selama seluruh luka itu belum sembuh. Akan tetapi, jika luka-luka itu terletak berjauhan sehingga masing-masing adalah luka tersendiri, kalau salah satunya telah sembuh, maka ia harus mencuci badan dan pakaiannya dari darah luka yang sudah sembuh itu sebelum mengerjakan shalat.

Masalah 862: Jika di badan atau pakaian mushalli terdapat darah haidh meskipun seukuran ujung jarum, maka shalatnya adalah batal. Berdasarkan ihtiyath wajib darah nifas dan istihadhah tidak boleh terdapat di badan atau pakaiannya, dan yang lebih baik adalah hendaknya ia menghindari darah binatang yang haram dagingnya. Akan tetapi, selain darah-darah tersebut, seperti darah manusia atau darah binatang yang halal dagingnya, meskipun terdapat di beberapa bagian badan dan pakaian selama kurang dari ukuran 1 Dirham secara keseluruhan, maka tidak ada masalah ia mengerjakan shalat dengannya.

Masalah 863: Darah yang jatuh di bagian atas pakaian yang tidak memiliki lapisan dan menembus ke bagian bawahnya dihitung satu darah. Akan tetapi, jika bagian bawahnya terkena darah secara terpisah, maka kita harus menghitungnya secara terpisah juga. Dengan ini, jika darah yang terdapat di bagian atas dan bagian bawah pakaian berukuran kurang dari 1 Dirham, maka kita dapat mengerjakan shalat dengan membawanya dan jika darah itu lebih dari 1 Dirham, maka shalat dengan membawanya adalah batal.

Masalah 864: Jika darah menetes di bagian atas pakaian yang memiliki lapisan dalam dan menembus mengenai lapisan tersebut atau darah tersebut menetes di bagian lapisan dalamnya dan menembus bagian atasnya juga, maka kita harus menghitungnya secara terpisah. Dengan demikian, jika darah yang terdapat di bagian atas dan lapisan dalamnya kurang dari ukuran 1 Dirham, maka shalat dengan membawanya adalah sah dan jika ukurannya lebih dari 1 Dirham, maka shalat dengan membawanya adalah batal.

Masalah 865: Jika darah yang menempel di badan atau pakaian mushalli berukuran kurang dari 1 Dirham dan setetes cairan menetes di atasnya, sekiranya darah dan cairan yang menetes di atasnya itu berukuran 1 Dirham atau lebih dan meresap ke pinggirannya, maka shalat dengan kondisi demikian adalah batal. Bahkan, seandainya cairan dan darah itu tidak sampai seukuran 1 Dirham dan tidak meresap ke pinggirannya sekalipun, maka shalat dengan kondisi demikian adalah batal. Akan tetapi, jika cairan itu bercampur dengan darah tersebut dan darah itu sirna, maka shalat kita adalah sah.

Masalah 866: Jika badan atau pakaian kita berlumuran darah, dan ia menyentuh darah (lain), maka kita dapat mengerjakan shalat dengan mengenakannya meskipun darah kedua itu berukuran kurang dari 1 Dirham.

Masalah 867: Jika darah yang menempel di badan atau pakaian kita kurang dari ukuran 1 Dirham dan ada benda najis lain, seperti setetes air kencing, yang menetes di atasnya, maka kita tidak dapat mengerjakan shalat dengan mengenakannya.

Masalah 868: Jika pakaian-pakaian kecil mushalli, seperti kopiah, kaos kaki dan kaos tangan, yang tidak dapat digunakan untuk menutupi aurat adalah najis, maka shalat dengan mengenakan semua itu adalah sah selama ia tidak terbuat dari bangkai dan binatang yang haram dagingnya. Begitu juga jika ia mengerjakan shalat dengan memakai cincin atau kaca mata yang najis, maka hal itu tidak ada masalah.

Masalah 869: Berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh mushalli membawa barang kecil yang najis dan dapat menutupi aurat. Adapun membawa barang kecil yang najis dan tidak dapat menutupi aurat, seperti sapu tangan kecil, kunci, pisau dan uang yang najis adalah tidak ada masalah.

Masalah 870: Wanita yang menjadi baby sister—dan berdasarkan ihtiyath wajib baby sister untuk bayi lelaki, bukan bayi perempuan—dan ia tidak memiliki lebih dari satu pakaian, seandainya ia tidak dapat membeli, menyewa atau meminjam pakaian yang lain dan ia telah mencuci pakaiannya tersebut sebanyak sekali dalam sehari semalam, maka ia dapat mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian tersebut hingga hari berikutnya meskipun pakaian itu telah najis oleh kencing bayi itu. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mencucinya sebanyak sekali dalam sehari semalam sebelum mengerjakan shalat pertama sejak pakaian itu terkena najis. Begitu juga jika ia memiliki lebih dari satu pakaian dan ia terpaksa harus memakai seluruhnya. Dengan demikian, jika ia telah mencuci seluruhnya sebanyak sekali dalam sehari semalam sesuai dengan tata cara yang telah dijelaskan tersebut, maka maka hal itu sudah cukup. Jika ia dapat membeli atau menyewa pakaian yang lain, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan pakaian yang suci.

Hal-hal yang Disunahkan dalam Pakaian Mushalli

Masalah 871: Disunahkan bagi mushalli untuk memakai sorban (‘amâmah) dengan salah satu bagian ujungnya dilingkarkan di bawah dagu (tahtal hanak), memakai ‘aba’ah (pakaian panjang semacam pakaian shalat wanita, tanpa bagian kepala dan bagian depannya terbuka), khususnya bagi imam shalat jama’ah, memakai pakaian berwarna putih, memakai pakaian yang paling bersih, menggunakan wewangian, dan memakai cincin aqiq.

Hal-hal yang Dimakruhkan dalam Pakaian Mushalli

Masalah 872: Dimakruhkan bagi mushalli memakai pakaian berwarna hitam, kotor berdaki, dan ketat, memakai pakaian pemabuk, memakai pakaian orang yang tidak memperhatikan masalah najis, memakai pakaian yang bergambar wajah, membuka kancing-kancing baju, dan memakai cincin yang bergambar wajah.