PASAL VII
TEMPAT MUSHALLI
Tempat mushalli harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
Syarat Pertama: Tempat Itu Harus Mubah
Masalah 873: Barangsiapa mengerjakan shalat di
tempat hasil ghashab, shalatnya adalah batal meskipun ia mengerjakannya di atas
karpet, ranjang atau yang semisalnya. Akan tetapi, tidak ada larangan mengerjakan
shalat di bawah atap dan kemah hasil ghashab.
Masalah 874: Mengerjakan shalat di sebuah tempat
yang manfaatnya menjadi hak milik orang lain tanpa restu pemilik manfaat
tersebut adalah batal. Contoh, rumah sewaan. Jika pemilik rumah atau orang lain
ingin mengerjakan shalat di rumah itu tanpa restu penyewanya, maka shalatnya
adalah batal. Begitu juga jika seseorang mengerjakan shalat di sebuah tempat
yang orang lain juga memiliki hak (milik) atas tempat itu, maka shalatnya
adalah batal. Contoh, jika seseorang berwasiat supaya sepertiga hartanya digunakan
untuk sebuah keperluan, maka selama sepertiga harta itu belum dipisahkan, kita tidak
dapat mengerjakan shalat di atas tempat miliknya tersebut.
Masalah 875: Seseorang yang telah duduk di
sebuah tempat di dalam sebuah masjid, jika orang lain mengghashabnya dan
mengerjakan shalat di tempat itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia
harus mengulangi shalatnya di tempat yang lain.
Masalah 876: Barangsiapa mengerjakan shalat di
sebuah tempat yang tidak diketahui olehnya apakah berasal dari hasil ghashab atau
tidak dan setelah shalatnya usai ia baru mengetahui (bahwa tempat itu adalah
hasil ghashab) atau mengerjakan shalat di sebuah tempat yang ia lupa bahwa
tempat itu adalah hasil ghashab dan setelah shalatnya usai ia baru ingat hal
itu, maka shalatnya adalah sah, kecuali jika ia sendiri yang mengghashabnya.
Dalam kondisi demikian, berdasarkan ihtiyath wajib shalatnya adalah
batal.
Masalah 877: Jika seseorang tahu bahwa sebuah
tempat adalah hasil ghashab dan ia tidak tahu bahwa mengerjakan shalat di
tempat hasil ghashab adalah batal, lalu ia mengerjakan shalat di tempat
tersebut, maka shalatnya adalah batal.
Masalah 878: Kita dapat mengerjakan shalat
sunah dalam kondisi mengendarai meskipun kita tidak berada dalam kondisi
terpaksa, sebagaimana kita juga dapat mengerjakan shalat wajib dalam kondisi
mengendarai jika kita berada dalam kondisi terpaksa. Dalam hal ini, jika pelana
kuda dan tempat duduk mobil, kereta api dan pesawat adalah hasil ghashab, maka
shalat kita adalah batal.
Masalah 879: Tidak boleh kita memanfaatkan
tanah hasil ghashab yang sementara ini tidak memiliki pemilik yang jelas dan
shalat di atasnya adalah batal. Untuk menentukan nasib tanah tersebut kita
harus merujuk kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat (jâmi’
asy-syarâ’ith). Begitu juga memanfaatkan bangunan yang dibangun dengan
menggunakan bahan-bahan material yang tidak diketahui pemiliknya memiliki hukum
seperti menggunakan harta hasil ghashab dan hal itu tidak boleh. Adapun
mengerjakan shalat di atas tanah mubah bangunan tersebut yang belum dilapisi
dengan bahan-bahan material itu adalah tidak batal.
Masalah 880: Seseorang yang memiliki hak milik
bersama dengan orang lain terhadap sebuah tanah, jika sahamnya tidak terpisah,
maka ia tidak dapat memanfaatkan tanah tersebut tanpa izin partnernya, dan
begitu juga mengerjakan shalat di atasnya.
Masalah 881: Jika seseorang membeli sebuah
tanah dengan menggunakan uang yang belum dikeluarkan khumus dan zakatnya, maka
memanfaatkannya adalah haram dan shalat di atasnya adalah batal. Begitu juga
hukumnya—berdasarkan ihtiyath wajib—jika ia membelinya dengan cara
menghutang dan ketika mengadakan transaksi pembelian ia berniat untuk
membayarnya dengan uang yang belum dikeluarkan khumus atau zakatnya.
Masalah 882: Jika pemilik tempat memberikan
izin secara lisan dan kita tahu bahwa hatinya tidak rela, maka mengerjakan
shalat di tempat tersebut adalah batal. Jika ia tidak memberikan izin (secara
lisan) dan kita yakin bahwa hatinya rela, maka shalat di tempat itu adalah sah.
Masalah 883: Jika jumlah utang seorang mayit
melebihi seluruh harta warisannya, maka semua jenis pemanfaatan terhadap
seluruh hartanya adalah haram dan shalat yang dilakukan oleh ahli waris di atas
tanah dan di dalam rumah peninggalannya tanpa restu para penagih utang adalah
batal. Adapun jika utangnya lebih sedikit dari harta warisannya, maka boleh memanfaatkan
harta dan mengerjakan shalat di atas tanah dan di dalam rumah peninggalannya
dengan dua syarat: (1) melalui indikasi-indikasi eksternal (khârijî)
para ahli waris tahu bahwa para penagih utang rela (dengan itu semua), dan (2) para
ahli waris berkehendak untuk melunasi seluruh utangnya tanpa ditunda-tunda.
Masalah 884: Memanfaatkan harta milik mayit
yang memiliki utang kepada orang lain adalah haram dan mengerjakan shalat di
tempat yang dimilikinya adalah batal. Hal ini berlaku jika seluruh jumlah
utangnya sama dengan seluruh harta peninggalannya. Akan tetapi, jika jumlah
utangnya adalah kurang dari seluruh harta peninggalannya dan para ahli waris
tahu bahwa karena jumlah utangnya sedikit, para penagih akan rela (dengan
pemanfaatannya) dan mereka berkehendak untuk melunasi seluruh utangnya tanpa
ditunda-tunda, maka tidak ada masalah memanfaatkan hartanya dan mengerjakan
shalat di atas harta miliknya. Akan tetapi, meskipun demikian, mereka
juga—berdasarkan ihtiyath wajib—harus meminta izin dari wali mayit.
Masalah 885: Jika mayit tidak memiliki utang,
akan tetapi sebagian ahli warisnya masih kecil, gila atau gaib, maka kita hanya
dapat memanfaatkan hartanya sekadar yang sesuai dengan hal-hal yang berlaku
bagi seorang jenazah yang sekiranya jika hal itu tidak dilakukan, maka
jenazahnya tak akan terurus, seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan. Akan
tetapi, seluruh jenis pemanfaatan yang lain terhadap harta tersebut adalah
haram dan mengerjakan shalat di dalam rumah peninggalannya adalah batal kecuali
setelah menentukan seorang qayim (yang mengurusi para ahli waris yang
masih kecil, gila atau gaib tersebut) dan mengamalkan sesuai dengan pendapatnya.
Masalah 886: Tidak ada masalah mengerjakan
shalat di tempat-tempat umum yang memang disediakan untuk penginapan para
musafir, seperti hotel, motel dan mushalla di toilet-toilet umum. Dan juga
tidak ada masalah musafir lain yang tidak menginap di tempat-tempat itu untuk
mengerjakan shalat di situ jika terdapat indikasi bahwa pemiliknya rela dengan
itu. Tidak boleh mengerjakan shalat di tempat-tempat pribadi tanpa seizin
pemiliknya. Akan tetapi, jika ia telah memberikan izin untuk keperluan yang
lain yang sekiranya dapat dipahami dari izin tersebut bahwa ia juga rela dengan
pelaksanaan shalat di tempat itu, maka kita dapat mengerjakan shalat di tempat
itu. Contoh, ia mengundang seseorang untuk santap makan dan menyuruhnya
beristirahat di situ. Hal ini mengindikaskan bahwa ia juga rela jika tamunya
itu mengerjakan shalat di tempat itu.
Masalah 887: Tidak ada masalah mengerjakan
shalat, duduk dan tidur di tempat-tempat yang sangat luas yang tidak mungkin
atau sangat sulit bagi kita untuk menghindarinya meskipun para pemiliknya enggan
untuk itu dan di antara mereka masih terdapat pemilik yang masih kecil atau
gila. Hanya saja—berdasarkan ihtiyath mustahab—hendaknya kita menghindari
tempat-tempat semacam ini jika kita tahu bahwa para pemiliknya tidak rela.
Syarat Kedua: Tempat Itu Harus Tetap (Tidak Bergerak)
Masalah 888: Tempat shalat mushalli harus
tetap dan tidak bergerak. Oleh karena itu, mengerjakan shalat di dalam kendaraan
yang ketika sedang berjalan menyebabkan tubuhnya bergerak-gerak adalah batal kecuali
dalam kondisi terpaksa, seperti sempitnya waktu. Dalam kondisi ini ia harus
memperhatikan syarat-syarat shalat semampu mungkin. Ketika tubuhnya sedang
bergerak, ia harus menghentikan bacaan dan ketika kendaraan itu merubah arah,
ia harus memutar tubuhnya sehinga tetap menghadap ke arah Kiblat.
Masalah 889: Tidak ada masalah mengerjakan
shalat di kendaraan-kendaraan yang tidak menyebabkan tubuh kita bergerak-gerak
(ketika ia sedang berjalan), seperti kapal laut, pesawat terbang dan kereta api
dengan memperhatikan seluruh syarat sahnya shalat, seperti menghadap ke arah
Kiblat. Akan tetapi, jika sebuah kendaraan—secara ‘urf—tidak dapat
menjamin ketenangan (baca: ketidakbergerakan) tubuh, seperti sampan dan mobil,
maka shalat kita adalah batal kecuali dalam kondisi terpaksa dan sempitnya
waktu.
Masalah 890: Mengerjakan shalat di atas
tumpukan jerami gandum, unggukan pasir dan yang semisalnya yang tidak dapat
menjaga tubuh kita tegap berdiri (istiqrâr) adalah batal. Akan tetapi,
jika gerakan tubuh itu sangat sedikit sehingga kita dapat mengerjakan
kewajiban-kewajiban shalat dan menjaga syarat-syarat yang lain, maka hal itu
tidak ada masalah.
Masalah 891: Jika kita memulai shalat di
sebuah tempat yang karena kemungkinan tiupan angin, turunnya hujan, banyaknya
orang berlalu-lalang dan yang semisalnya kita tidak yakin dapat
menyempurnakannya, tapi kita mengerjakannya dengan harapan dapat
menyempurnakannya, maka hal itu tidak ada masalah. Dan jika kita tidak menemukan
kesulitan, maka shalat kita adalah sah. Kita tidak boleh mengerjakan shalat di
tempat yang diharamkan untuk berdiam di situ, seperti di bawah atap yang rusak,
reruntuhan gunung atau bahaya tabrakan. Akan tetapi, jika kita mengerjakan
shalat di tempat-tempat tersebut, maka shalat kita adalah sah meskipun kita
telah melakukan sesuatu yang haram. Begitu juga kita tidak boleh mengerjakan
shalat di atas tempat yang haram kita berdiri dan duduk di atasnya, seperti
karpet dan koran yang bertuliskan nama Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an. Akan
tetapi, jika kita mengerjakan shalat di atasnya, maka shalat kita adalah sah
meskipun kita telah mengerjakan sesuatu yang haram.
Masalah 892: Berdasarkan ihtiyath wajib
tidak boleh kita mengerjakan shalat wajib di dalam dan di atas atap Ka’bah.
Akan tetapi, dalam kondisi terpaksa hal itu tidak ada masalah.
Masalah 893: Tidak ada masalah mengerjakan
shalat sunah di dalam dan di atas atap Ka’bah. Bahkan disunahkan kita
mengerjakan shalat dua rakaat di hadapan setiap rukun di dalam Ka’bah.
Syarat Ketiga: Mengerjakan Shalat di Sebuah Tempat yang Mungkin untuk
Mengerjakan Kewajiban-kewajibannya
Masalah 894: Tidak boleh kita mengerjakan
shalat di sebuah tempat yang atapnya sangat rendah sehingga kita tidak dapat
berdiri lurus atau ukurannya sangat kecil sehingga kita tidak bisa melakukan
ruku’ dan sujud. Jika kita terpaksa harus mengerjakan shalat di tempat semacam
ini, maka kita harus berdiri, melakukan ruku’ dan sujud semampu mungkin.
Masalah 895: Kita harus memperhatikan tata
krama dan janganlah kita mengerjakan shalat lebih maju dari makam Rasulullah
saw dan imam ma’shum as. Dan berdasarkan ihtiyath wajib janganlah kita
mengerjakan shalat sejajar dengan makam imam ma’shum as.
Masalah 896: Jika terdapat pemisah, seperti
tembok, antara tempat ia berdiri untuk mengerjakan shalat dan makam beliau,
maka hal itu tidak ada masalah. Akan tetapi, pemisah seperti peti penutup
makam, pagar yang mengelilingi makam dan kain penutupnya tidaklah cukup.
Syarat Keempat: Tempat Shalat Tidak Menajiskan Pakaian dan Badan Mushalli
Masalah 897: Jika tempat mushalli adalah najis,
hendaknya tempat itu tidak basah sehingga kebasahannya dapat berpindah ke tubuh
atau pakaiannya kecuali benda najis yang dimaafkan dalam shalat. Akan tetapi, jika
tempat sujud adalah najis, shalatnya adalah batal meskipun benda najisnya tidak
berpindah ke dahi. Jika kadar yang wajib dalam sujud adalah suci, maka hal itu
sudah cukup. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya tempat mushalli
tidak najis.
Syarat Kelima: Laki-laki Harus Lebih Maju dari Wanita
Masalah 898: Dalam shalat, wanita harus
berdiri lebih mundur dari laki-laki, dan yang lebih baik, tempat sujudnya hendaknya
juga lebih mundur dari tempat laki-laki berdiri. Atas dasar ini, jika ia
berdiri lebih maju atau sejajar dengan laki-laki, maka shalatnya adalah batal.
Dalam hukum ini tidak ada perbedaan antara muhrim dan selain muhrim atau antara
suami dan istri. Begitu juga tidak ada perbedaan antara shalat wajib dan shalat
sunah.
Masalah 899: Jika seorang wanita berdiri di
samping laki-laki atau berdiri lebih maju darinya dan memulai shalat secara
bersamaan, maka shalat kedua orang tersebut adalah batal. Adapun jika sebelumnya
salah seorang dari mereka berdua telah memulai shalatnya, maka shalatnya adalah
sah dan shalat orang kedua yang memulai shalat terakhir adalah batal.
Masalah 900: Jika terdapat pemisah antara
keduanya sehingga mereka tidak dapat melihat yang lain, seperti tembok, kain
atau yang semisalnya, atau jarak antara mereka adalah 10 depa (± 5 m), maka
shalat mereka adalah sah.
Masalah 901: Jika wanita mengerjakan shalat di
tingkat dua, maka shalatnya adalah sah meskipun ia berdiri lebih maju atau
sejajar dengan laki-laki dan tinggi tingkat dua itu kurang dari 10 depa.
Syarat Keenam: Tempat Shalat Harus Rata
Masalah 902: Tempat sujud mushali tidak boleh
lebih tinggi atau lebih rendah seukuran empat jari tertutup rapat dari tempat lutut
dan ujung jari ibu jari kakinya.
Tempat-tempat yang Disunahkan untuk Mengerjakan Shalat
Masalah 903: Di dalam syariat Islam sangat
dianjurkan kita mengerjakan shalat di masjid. Masjid yang terutama adalah
Masjidil Haram, kemudian masjid Nabawi saw, setelah itu masjid Kufah, lalu masjid
Baitul Maqdis, kemudian masjid jami’ di setiap kota, setelah itu masjid daerah
kita berdomisili, dan kemudian masjid di pasar.
Masalah 904: Yang lebih baik bagi wanita
adalah hendaknya ia mengerjakan shalat di rumah dan di tempat shalat
pribadinya. Akan tetapi, jika shalat di masjid memiliki keutamaan baginya daripada
shalat di rumah karena faktor apa saja selain faktor kemasjidan sebuah masjid, seperti
alasan shalat berjamaah di masjid atau hatinya akan lebih khusyu’ di masjid,
maka yang lebih baik baginya adalah hendaknya ia pergi masjid untuk menggapai
keutamaan tersebut dengan memakai hijab yang sempurna. Dan jika tidak ada jalan
lain untuk mempelajari hukum-hukum Islam selain ia harus pergi ke masjid, maka
wajib baginya untuk pergi ke masjid.
Masalah 905: Mengerjakan shalat di makam-makam
para imam as adalah sunah, bahkan lebih baik daripada mengerjakan shalat di
masjid. Mengerjakan shalat di makam suci Amirul Mukminin as adalah sama dengan
mengerjakan dua ratus ribu shalat.
Masalah 906: Sering pergi ke masjid dan pergi
ke masjid yang tidak ada orang yang mengerjakan shalat di situ adalah sunah.
Makruh bagi tetangga masjid jika ia tidak memiliki uzur mengerjakan shalat di
selain masjid tersebut.
Masalah 907: Sunah bagi setiap orang untuk
tidak mengadakan hubungan persahabatan dengan orang yang enggan pergi ke masjid
karena ketidakperduliannya. Begitu juga tidak makan semeja makan dengannya,
tidak bermusyawarah dengannya dalam mengerjakan segala urusan, tidak
bertetanggaan dengannya, tidak meminang wanita darinya dan tidak memberikan
wanita kepadanya.
Tempat-tempat yang Makruh untuk Mengerjakan Shalat
Masalah 908: Mengerjakan shalat di
tempat-tempat berikut ini adalah makruh: kamar mandi, tanah bergaram, di
hadapan seseorang, di hadapan pintu yang terbuka, di tengah-tengah gang dan
jalan raya jika tidak mengganggu orang-orang yang sedang berlalu-lalang dan
jika shalat itu mengganggu mereka, maka hal itu adalah haram dan shalat adalah
batal, di hadapan api dan lampu, di dapur dan setiap tempat yang memiliki tempat
pembakaran api, di hadapan sumur dan comberan yang digunakan untuk pembuangan
air kencing, di hadapan foto, di hadapan patung segala sesuatu yang bernyawa
kecuali jika ditutupi dengan kain, di dalam kamar yang terdapat orang junub di
situ, di dalam kamar yang terdapat foto di situ meskipun foto itu tidak
terdapat di hadapan mushalli, di atas kuburan, di antara dua kuburan dan di
pekuburan.
Masalah 909: Seseorang yang sedang mengerjakan
shalat di tempat orang-orang berlalu-lalang atau di hadapan seseorang,
disunahkan baginya untuk meletakkan suatu penghalang di hadapannya yang
menghalangi antara dirinya dan orang-orang tersebut meskipun penghalang itu
berbentuk tongkat, tasbih atau tali.
Hukum Masjid
Masalah 910: Menajiskan tanah, bagian dalam
tembok dan atap masjid, baik atap bagian dalam maupun bagian luar adalah haram,
dan barangsiapa tahu bahwa masjid terkena najis, maka ia harus menyucikannya
seketika itu juga. Berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh kita
menajiskan bagian luar masjid dan jika bagian luarnya itu terkena najis, maka
kita harus menyucikannya kecuali jika pewakaf tidak meniatkannya sebagai bagian
dari masjid.
Masalah 911: Jika seseorang tidak dapat
menyucikan masjid atau ia membutuhkan orang yang dapat membantu menyucikannya
dan tidak menemukannya, maka tidak wajib baginya untuk menyucikannya. Akan
tetapi, ia harus memberitahukan kenajisan masjid itu kepada orang yang dapat
memnyucikannya.
Masalah 917: Jika sebagian masjid terkena
najis dan penyuciannya tidak mungkin terlaksana kecuali dengan membongkar atau
merusak bagian tersebut, maka kita harus membongkarnya atau jika tidak
menimbulkan kerusakan yang parah, kita harus merusaknya, dan tidak wajib kita memenuhi
kembali bagian yang telah dibongkar atau membenahi kembali bagian yang telah
dirusak tersebut. Ya! Jika orang yang telah menajiskannya yang melakukan
pembongkaran atau perusakan tersebut, maka ia harus—jika mungkin—memenuhi atau
membenahinya kembali.
Masalah 918: Jika sebuah masjid dighashab,
lalu dibongkar dan diganti dengan sebuah rumah atau karena adanya proyek
perluasan gang dan jalan di perkotaan dan pedesaan sebagian dari masjid itu dijadikan
gang dan jalan, maka berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh
menajiskannya dan wajib menyucikannya (jika bagian itu terkena najis).
Masalah 919: Tidak ada larangan meletakkan
jasad mayit di dalam masjid sebelum dimandikan jika hal itu tidak menyebabkan
najis berpindah ke masjid atau tidak menyebabkan pelecehan terhadap masjid
tersebut. Akan tetapi, yang paling baik adalah hendaknya kita tidak meletakkan
jenazah di dalam masjid. Adapun setelah dimandikan, maka hal itu tidak ada
masalah.
Masalah 920: Menajiskan makam Rasulullah saw
dan para imam ma’shum as adalah haram. Jika makam-makam tersebut terkena najis
dan kenajisan tersebut termasuk pelecehan terhadapnya, maka menyucikannya
adalah wajib. Bahkan, berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya kita
menyucikannya meskipun hal itu tidak termasuk pelecehan terhadapnya.
Masalah 921: Jika karpet masjid adalah najis,
maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus menyucikannya.
Masalah 922: Membawa benda najis, seperti air
kencing dan darah ke dalam masjid adalah haram jika hal itu termasuk pelecehan
terhadap masjid. Begitu juga membawa sesuatu yang terkena najis, seperti
pakaian dan sepatu yang najis adalah haram jika hal itu termasuk pelecehan terhadap
masjid.
Masalah 923: Jika masjid dihiasi dengan
kain-kain berwarna hitam demi mengadakan acara belasungkawa dan ‘aza` atau
dihiasi dan dijadikan tempat menyantap teh dan makanan demi merayakan hari-hari
besar agama, hal itu tidak ada masalah jika semua pekerjaan itu tidak merusak
masjid dan mencegah penegakan shalat.
Masalah 924: Berdasarkan ihtiyath wajib
tidak boleh menghiasi masjid dengan emas. Begitu juga berdasarkan ihtiyath
wajib tidak boleh melukis wajah segala sesuatu yang memiliki ruh, seperti manusia
dan hewan, di (dinding) masjid. Akan tetapi, melukis segala sesuatu yang tidak
memiliki ruh, seperti tumbuh-tumbuhan, di (dinding) masjid adalah makruh.
Masalah 925: Jika masjid telah rusak, kita
tidak dapat menjualnya atau menjadikannya sebagai hak milik atau jalan.
Masalah 926: Menjual pintu dan jendela atau
bagian masjid yang lain adalah haram. Jika masjid itu telah rusak, maka semua
barang itu harus dialokasikan untuk merehabilitasi masjid tersebut. Jika semua
barang itu tidak dapat digunakan untuk merehabilitasi masjid tersebut, maka
semua barang itu harus digunakan untuk kepentingan masjid yang lain. Akan
tetapi, jika semua barang itu juga tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
masjid-masjid yang lain, maka kita dapat menjualnya dan hasil penjualannya kita
gunakan untuk merehabilitasi masjid tersebut jika mungkin, dan jika tidak, kita
gunakan untuk merehabilitasi masjid-masjid yang lain.
Masalah 927: Membangun masjid dan
merehabilitasi masjid yang hampir rusak adalah sebuah pekerjaan sunah. Jika
masjid itu telah rusak dan tidak mungkin lagi untuk direhabilitasi, maka kita
dapat membongkarnya dan membangunnya kembali. Bahkan kita dapat membongkar
masjid yang tidak rusak dan untuk kepentingan masyarakat umum membangunnya
kembali dengan ukuran yang lebih besar.
Masalah 928: Membersihkan dan menyalakan lampu
masjid adalah sebuah pekerjaan sunah. Barangsiapa ingin memasuki masjid,
hendaknya ia memakai minyak wangi dan pakaian yang bersih dan berharga, serta
memeriksa bagian bawah sepatunya supaya tidak ada benda najis yang menempel. Ketika
ia ingin masuk, disunahkan mendahulukan kaki kanan dan ketika ingin keluar,
disunahkan mendahulukan kaki kiri. Begitu juga disunahkan ia datang lebih cepat
ke masjid dan pergi lebih lambat.
Masalah 929: Ketika seseorang masuk ke dalam
masjid, disunahkan untuk mengerjakan shalat sunah penghormatan kepada masjid (tahiyyah
al-masjid) sebanyak dua rakaat, dan jika ia mengerjakan shalat wajib atau
sunah yang lain, maka hal itu sudah mencukupi.
Masalah 930: Tidur di dalam masjid dalam
kondisi tidak terpaksa, membicarakan hal-hal duniawi, melakukan hal-hal yang
bernilai produksi dan membaca syair yang tidak mengandung nasihat adalah
makruh. Begitu juga membuang air ludah, ingus dan air dahak di dalam masjid, mencari
barang yang hilang dan mengeraskan suara. Akan tetapi, mengeraskan suara untuk
menyerukan azan adalah tidak ada masalah.
Masalah 931: Membiarkan anak kecil dan orang
gila masuk ke dalam masjid adalah makruh. Akan tetapi, membawa anak kecil ke
masjid jika tidak menimbulkan gangguan (terhadap orang lain) dan menyebabkannya
senang kepada shalat dan masjid adalah sebuah pekerjaan sunah.
Masalah 932: Makruh bagi orang yang telah
memakan bawang putih, bawang merah dan yang semisalnya dan bau mulutnya
mengganggu orang lain untuk masuk ke dalam masjid.
|