Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

PASAL XVI

KERAGUAN DALAM SHALAT

Keraguan dalam shalat terbagi ke dalam 23 bagian: 8 bagian dapat membatalkan shalat, 6 bagian tidak perlu diperhatikan, dan 9 bagian yang lain adalah sah.

a. Keraguan yang Membatalkan Shalat

Masalah 1183: Keraguan-keraguan yang dapat membatalkan shalat adalah sebagai berikut:

1.Keraguan tentang jumlah rakaat shalat yang berjumlah dua rakaat, seperti shalat Shubuh dan shalat yang dilakukan oleh seorang musafir. Akan tetapi, keraguan tentang jumlah rakaat shalat sunah yang berjumlah dua rakaat dan sebagian shalat ihtiyath tidak membatalkan shalat.

2.Keraguan tentang jumlah rakaat shalat yang berjumlah tiga rakaat.

3.Keraguan mushalli ragu apakah telah mengerjakan satu rakaat atau lebih dalam shalat yang berjumlah empat rakaat.

4.Keraguan mushalli ragu apakah telah mengerjakan dua rakaat atau lebih dalam shalat yang berjumlah empat rakaat sebelum menyempurnakan sujud kedua. (Untuk lebih rincinya, silakan merujuk ke bentuk keempat dari keraguan yang sah).

5.Keraguan antara dua dan lima rakaat atau antara dua dan lebih dari lima rakaat.

6.Keraguan antara tiga dan enam rakaat atau antara tiga dan lebih dari enam rakaat.

7.Keraguan tentang rakaat shalat sehingga mushalli tidak tahu sudah mengerjakan berapa rakaat.

8.Keraguan antara empat dan enam rakaat atau antara empat dan lebih dari enam rakaat, baik sebelum sujud kedua sempurna maupun setelah sujud kedua sempurna. Akan tetapi, jika setelah sujud kedua sempurna keraguan antara empat dan enam rakaat atau antara empat dan lebih dari enam rakaat terjadi, maka berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya mushalli memilih empat rakaat dan menyempurnakan shalatnya. Setelah itu, ia melakukan dua kali sujud sahwi dan juga mengulangi shalatnya.

Masalah 1184: Ketika keraguan datang menimpa mushalli, ia harus diam sejenak untuk berpikir sehingga—mungkin—keraguannya itu akan sirna. Oleh karena itu, jika keraguannya sirna dan ia yakin atau memiliki sangkaan terhadap satu dari dua sisi keraguannya, maka ia harus memilihnya dan melanjutkan shalatnya, dan shalatnya pun sah. Jika dengan sejenak berpikir itu ia tidak ingat sama sekali dan keraguannya masih tetap menghantui, maka ia harus mengamalkan kewajiban seorang mushalli yang ragu. Jika keraguan itu adalah keraguan yang dapat membatalkan shalat, maka ia harus memutus shalatnya. Dalam kondisi seperti ini, memutus shalat tidaklah haram.

b. Keraguan yang Tidak Perlu Diperhatikan

Masalah 1185: Keraguan-keraguan yang tidak perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1.Keraguan tentang amalan yang waktu pelaksanaannya telah lewat.

2.Keraguan yang terjadi setelah mengucapkan salam.

3.Keraguan yang terjadi setelah waktu shalat berlalu.

4.Keraguan yang  menimpa mushalli peragu (katsîr asy-syak).

5.Keraguan yang menimpa imam dan makmum.

6.Keraguan dalam shalat sunah.

b.1. Keraguan Tentang Amalan yang Waktu Pelaksanaannya Telah Lewat

Masalah 1186: Mushalli yang ragu di pertengahan shalat apakah ia telah mengerjakan salah satu kewajiban shalat atau belum, seperti ia ragu apakah sudah membaca al-Fatihah atau belum, apabila ia belum mengerjakan kewajiban atau amalan sunah yang dikerjakan setelahnya, maka ia harus mengerjakan kewajiban yang diragukannya itu. Dan jika ia sedang mengerjakan kewajiban atau amalan sunah yang dikerjakan setelahnya, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu.

Masalah 1187: Jika di pertengahan membaca ayat ia ragu apakah sudah membaca ayat sebelumnya atau belum, atau ketika membaca akhir ayat ia ragu apakah sudah membaca ayat pertama atau belum, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu.

Masalah 1188: Jika setelah mengerjakan rukuk atau sujud ia ragu apakah sudah melaksanakan kewajiban-kewajibannya, seperti membaca zikir atau menjaga ketenangan tubuh, atau belum, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu.

Masalah 1189: Ketika sedang merunduk untuk mengerjakan sujud ia ragu apakah sudah mengerjakan rukuk atau belum, atau ia ragu apakah sudah berdiri setelah mengerjakan rukuk atau belum, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu.

Masalah 1190: Ketika sedang berdiri ia ragu apakah sudah membaca tasyahud atau belum, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu. Akan tetapi, jika ia ragu apakah sudah mengerjakan sujud atau belum, maka ia harus kembali dan mengerjakan sujud.

Masalah 1191: Mushalli yang mengerjakan shalat dalam kondisi duduk atau tidur, ketika sedang membaca al-Fatihah atau empat tasbih ia ragu apakah sudah mengerjakan sujud atau tasyahud atau belum, tidak boleh ia memperhatikan keraguannya. Dan jika sebelum membaca al-Fatihah atau empat tasbih ia ragu apakah sudah mengerjakan sujud atau tasyahud atau belum, maka ia harus mengerjakannya.

Masalah 1192: Mushalli yang ragu apakah sudah mengerjakan salah satu rukun shalat atau belum, jika ia belum mengerjakan amalan setelahnya, maka ia harus mengerjakan rukun tersebut. Seperti, jika sebelum membaca tasyahud ia ragu apakah sudah mengerjakan dua kali sujud atau belum, maka ia harus mengerjakan sujud tersebut. Dan jika setelah itu ia ingat telah mengerjakan dua kali sujud sebelumnya, maka shalatnya adalah batal, karena ia telah menambah rukun.

Masalah 1193: Mushalli yang ragu apakah sudah mengerjakan salah satu rukun shalat atau belum, jika ia sedang mengerjakan amalan setelahnya, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu. Contoh, ketika sedang membaca tasyahud ia ragu apakah sudah mengerjakan dua kali sujud atau belum, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu. Jika ia ingat belum mengerjakan rukun tersebut, maka ia harus mengerjakannya asalkan ia belum mengerjakan rukun shalat setelahnya. Dan jika ia sedang mengerjakan suatu rukun shalat setelah rukun tersebut, maka shalatnya adalah batal. Contoh, jika sebelum mengerjakan rukuk untuk rakaat berikutnya ia ingat belum mengerjakan dua kali sujud, maka ia harus mengerjakannya. Dan jika ia ingat itu ketika sedang atau setelah mengerjakan rukuk, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 1194: Mushalli yang ragu apakah sudah mengerjakan sebuah amalan yang bukan rukun shalat atau belum, jika ia belum mengerjakan amalan setelahnya, maka ia harus mengerjakan amalan tersebut. Contoh, jika sebelum membaca surah ia ragu apakah sudah membaca al-Fatihah atau belum, maka ia harus membaca al-Fatihah tersebut. Dan jika ia ingat telah mengerjakannya sebelum itu, maka shalatnya adalah sah, karena satu rukun shalat tidak bertambah.

Masalah 1195: Mushalli yang ragu apakah sudah mengerjakan sebuah kewajiban shalat yang bukan rukun atau belum, jika ia sedang mengerjakan amalan shalat yang setelahnya, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya. Contoh, ketika sedang membaca surah ia ragu apakah sudah membaca al-Fatihah atau belum, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya. Jika setelah itu ia ingat belum mengerjakannya, maka ia harus mengerjakannya selama belum mengerjakan rukun shalat (yang harus dikerjakan) setelah amalan itu, dan ketika ia sedang mengerjakan rukun shalat yang (harus dikerjakan) setelahnya, maka shalatnya adalah sah (dan tidak perlu ia mengerjakan amalan itu lagi). Atas dasar ini, ketika—contohnya—sedang membaca qunut ia ingat belum membaca al-Fatihah, maka ia harus membacanya. Dan jika ia ingat ketika sedang mengerjakan rukuk, maka shalatnya adalah sah (dan tidak perlu ia membacanya). Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, hendaknya ia mengerjakan dua kali sujud sahwi karena al-Fatihah yang tidak dibacanya itu. Jika kewajiban shalat yang tidak kerjakannya itu adalah tasyahud atau sujud, maka ia harus mengqadhanya, dan setelah mengqadhanya, ia harus mengerjakan dua kali sujud sahwi.

Masalah 1196: Mushalli yang ragu apakah sudah membaca salam shalat atau belum, atau ragu apakah telah membacanya dengan benar atau tidak, jika ia sedang membaca ta’qîb shalat, mengerjakan shalat yang lain, atau mengerjakan suatu pekerjaan lain yang dapat mengeluarkannya dari kondisi shalat, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu. Jika ia belum mengerjakan semua itu, maka ia harus mengucapkan salam. Dan jika sebelum mengerjakan semua itu ia ragu apakah sudah membaca salam dengan benar atau tidak, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengulangi membaca salam itu sekali lagi.

b.2. Keraguan Setelah Mengucapkan Salam

Masalah 1197: Jika setelah membaca salam ia ragu apakah shalatnya adalah sah atau tidak, seperti ia ragu apakah sudah mengerjakan rukuk atau belum, atau setelah mengucapkan salam untuk shalat yang berjumlah empat rakaat ia ragu apakah telah mengerjakan shalat sebanyak empat atau lima rakaat, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya. Akan tetapi, jika kedua sisi keraguannya adalah sebuah keraguan yang dapat membatalkan shalat, seperti ia ragu setelah mengucapkan salam untuk shalat yang berjumlah empat rakaat apakah sudah mengerjakan tiga atau lima rakaat, maka shalatnya adalah batal.

b.3. Keraguan Setelah Waktu Shalat Berlalu

Masalah 1198: Jika setelah waktu shalat berlalu seseorang ragu apakah sudah mengerjakan shalat atau belum, atau ia menyangka belum mengerjakannya, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya. Akan tetapi, jika sebelum waktu shalat berlalu ia ragu apakah sudah mengerjakan atau belum, atau ia menyangka belum mengerjakannya, maka ia harus mengerjakan shalat. Bahkan, jika ia menyangka telah mengerjakan shalat sekalipun, maka ia harus mengerjakannya.

Masalah 1199: Jika setelah waktu shalat berlalu ia ragu apakah sudah mengerjakan shalat dengan benar atau tidak, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya.

Masalah 1200: Jika setelah waktu shalat Zhuhur dan ‘Ashar berlalu ia tahu sudah mengerjakan shalat sebanyak empat rakaat saja, tetapi ia tidak tahu apakah telah mengerjakannya dengan niat shalat Zhuhur atau ‘Ashar, maka ia harus mengerjakan empat rakaat shalat qadha dengan niat mâ fidz-dzimmah (apa yang menjadi kewajibannya).

Masalah 1201: Jika setelah waktu shalat Maghrib dan Isya’ berlalu ia tahu sudah mengerjakan shalat sekali, tetapi ia tidak tahu apakah telah mengerjakan shalat tiga atau empat rakaat, maka ia harus mengqadha shalat Maghrib dan Isya’ tersebut.

b.4. Mushalli Peragu (Katsîrusy-syak)

Masalah 1202: Tolok ukur untuk menentukan substansi keperaguan ini adalah ‘urf. (Dengan demikian), jika seseorang ragu sebanyak tiga kali dalam satu shalat atau ragu dalam tiga kali shalat secara berturut, seperti ia ragu ketika mengerjakan shalat Shubuh, Zhuhur, dan ‘Ashar, maka ia adalah seorang peragu. Jika keperaguannya itu tidak terjadi karena amarah, rasa takut, atau tidak adanya konsentrasi penuh, maka tidak boleh ia memperhatikan keaguannya itu.

Masalah 1203: Jika seorang peragu ragu apakah sudah mengerjakan sebuah kewajiban shalat atau belum, maka ia harus menetapkan telah mengerjakannya, dan meneruskan shalatnya. Contoh, jika ia ragu apakah sudah mengerjakan sujud atau belum, maka ia harus menetapkan telah mengerjakan sujud dan jika ia ragu apakah sudah mengerjakan dua atau tiga rakaat, maka ia harus menetapkan telah mengerjakan tiga rakaat. Akan tetapi, jika penetapan bahwa kewajiban itu sudah dilaksanakan akan membatalkan shalat, maka ia harus menetapkan belum mengerjakannya. Contoh, jika dalam shalat Shubuh ia ragu apakah sudah mengerjakan dua atau tiga rakaat, maka ia harus menetapkan telah mengerjakan dua rakaat, dan menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1204: Mushalli yang selalu ragu (baca: menjadi peragu) dalam satu kewajiban shalat, jika ia ragu dalam kewajiban-kewajiban shalat yang lain, maka ia harus beramal sesuai dengan tata cara keraguan yang baru ini, (bukan tata cara mushalli peragu). Contoh, mushalli yang telah menjadi peragu dalam sujud; apakah sudah melakukan sujud atau belum, jika kali ini ia ragu apakah sudah melakukan rukuk atau belum, maka ia harus mengerjakan kewajiban berkenaan dengan keraguan dalam rukuk ini. Yaitu, jika ia masih berada dalam kondisi berdiri, maka ia harus melakukan rukuk dan jika ia sedang melakukan sujud, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu.

Masalah 1205: Mushalli yang telah menjadi peragu dalam shalat tertentu, shalat Zhuhur misalnya, jika ia ragu dalam shalat yang lain, shalat ‘Ashar contohnya, maka ia harus melakukan kewajiban (orang yang) ragu (dalam shalatnya, bukan kewajiban mushalli peragu).

Masalah 1206: Mushalli yang telah menjadi peragu jika ia melakukan shalat di tempat tertentu, apabila ia melakukan shalat di selain tempat itu dan keraguan datang menimpanya, maka ia harus melakukan kewajiban (orang yang) ragu (dalam shalatnya, bukan kewajiban mushalli peragu).

Masalah 1207: Jika mushalli ragu apakah ia sudah menjadi seorang peragu atau belum; yaitu ia tidak tahu apakah telah tertimpa keraguan dalam ketiga shalat sebelumnya sehingga ia telah menjadi seorang peragu atau ia hanya tertimpa keraguan dalam dua shalat sebelumnya sehingga ia belum menjadi seorang peragu, maka ia harus melakukan kewajiban (orang yang) ragu (dalam shalatnya, bukan kewajiban mushalli peragu). Mushalli peragu—selama belum yakin telah kembali kepada kondisi normal (sebagaimana) orang lain—tidak boleh memperhatikan keraguannya.

Masalah 1208: Jika mushalli peragu ragu apakah sudah mengerjakan sebuah rukun shalat atau belum dan ia tidak memperhatikan keraguannya itu, lalu ingat belum mengerjakan rukun tersebut, maka ia harus mengerjakannya selama belum mengerjakan sebuah rukun shalat yang setelahnya. Dan jika ia sedang mengerjakan rukun shalat yang setelahnya, maka shalatnya adalah batal. Misal, jika ia ragu apakah sudah mengerjakan rukuk atau belum dan ia tidak memperhatikan keraguannya itu, apabila ia ingat belum melakukan rukuk sebelum mengerjakan sujud, maka ia harus melakukan rukuk tersebut, dan apabila ia ingat ketika sedang melakukan sujud, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 1209: Jika mushalli peragu ragu apakah sudah mengerjakan suatu kewajiban yang bukan rukun atau belum dan ia tidak memperhatikan keraguannya itu, lalu ia ingat belum mengerjakannya, apabila waktu untuk mengerjakannya belum berlalu, maka ia harus mengerjakannya, dan apabila waktu untuk mengerjakannya sudah berlalu; yaitu, ia sedang mengerjakan sebuah rukun shalat yang setelahnya, maka shalatnya adalah sah (dan tidak perlu ia mengerjakannya). Misal, jika ia ragu apakah sudah membaca al-Fatihah atau belum dan ia tidak memperhatikan keraguannya, apabila ia ingat belum membacanya ketika sedang membaca qunut, maka ia harus membacanya, dan apabila ia ingat ketika sedang mengerjakan rukuk, maka shalatnya adalah sah.

b.5. Keraguan yang Menimpa Imam dan Makmum

Masalah 1210: Imam shalat jamaah yang ragu tentang jumlah rakaat shalat apakah ia telah mengerjakan tiga rakaat atau empat rakaat, jika makmum memiliki keyakinan atau sangkaan bahwa ia telah mengerjakan empat rakaat dan memahamkan kepadanya bahwa ia telah mengerjakan empat rakaat, maka imam shalat harus menyelesaikan shalatnya dan tidak wajib ia mengerjakan shalat ihtiyath. Begitu juga jika imam shalat memiliki keyakinan atau sangkaan bahwa ia telah mengerjakan shalat sebanyak rakaat tertentu dan makmum ragu tentang jumlah rakaat tersebut, maka ia tidak boleh memperhatikan keraguannya.

b.6. Keraguan dalam shalat sunah

Masalah 1211: Mushalli yang ragu tentang jumlah rakaat shalat sunah, jika satu sisi keraguan yang lebih banyak dapat membatalkan shalat, maka ia harus mengambil sisi yang lebih sedikit. Misal, jika dalam shalat sunah Shubuh ia ragu apakah sudah mengerjakan dua rakaat atau tiga rakaat, maka ia harus menetapkan telah mengerjakan dua rakaat. Dan jika sisi keraguan yang lebih banyak tidak dapat membatalkan shalat, seperti ia ragu apakah sudah mengerjakan dua rakaat atau satu rakaat, maka dengan mengamalkan sisi keraguan manapun shalatnya tetap sah.

Masalah 1212: Berdasarkan ihtiyath wajib, pengurangan rukun shalat dalam shalat-shalat sunah dapat membatalkan shalat. Akan tetapi, penambahan rukun shalat tidak dapat membatalkannya. Atas dasar ini, jika mushalli tidak mengerjakan salah satu amalan shalat karena lupa dan ia ingat hal itu ketika sedang mengerjakan sebuah rukun yang setelahnya, maka ia harus mengerjakan amalan itu dan mengulangi mengerjakan rukun tersebut. Misal, jika ia ingat belum membaca surah ketika sedang mengerjakan rukuk, maka ia harus kembali dan membaca surah tersebut, lalu mengulangi mengerjakan rukuk.

Masalah 1213: Mushalli yang ragu tentang salah satu amalan shalat sunah, baik berupa rukun maupun bukan rukun, jika waktu pelaksanaannya belum berlalu, maka ia harus mengerjakannya, dan jika waktu pelaksanaannya telah berlalu, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya itu.

Masalah 1214: Jika dalam shalat sunah yang berjumlah dua rakaat ia memiliki sangkaan telah mengerjakan tiga rakaat atau lebih, atau telah mengerjakan dua rakaat atau kurang, maka ia harus beramal sesuai dengan sangkaannya itu kecuali jika sangkaan itu dapat membatalkan shalat. Dan dalam kondisi (terakhir) ini, ia harus melaksanakan hukum keraguan dalam shalat. Contoh, jika ia memiliki sangkaan telah mengerjakan satu rakaat, maka demi hati-hati ia harus mengerjakan satu rakaat lagi.

Masalah 1215: Jika dalam shalat sunah ia mengerjakan sebuah tindakan yang mewajibkan sujud sahwi atau karena lupa ia tidak mengerjakan sujud atau tasyahud, maka tidak wajib ia mengerjakan sujud sahwi atau mengqadha sujud dan tasyahud (yang terlupakan itu) setelah shalat usai.

Masalah 1216: Seseorang yang ragu apakah sudah mengerjakan shalat sunah atau belum, jika shalat sunah itu tidak memiliki waktu yang telah ditentukan sebagaimana shalat Ja’far ath-Thayyar (yang  memiliki waktu khusus), maka ia harus menetapkan belum mengerjakannya. Begitu juga (hukumnya) jika ia ragu apakah sudah mengerjakannya atau belum dan shalat itu memiliki waktu yang telah ditentukan, seperti shalat sunah (untuk shalat wajib) lima waktu, serta waktu pelaksanaannya belum berlalu. Dan jika ia ragu apakah sudah mengerjakannya atau belum setelah waktu pelaksanaannya berlalu, maka tidak boleh ia memperhatikan keraguannya.

c. Keraguan yang Sah

Masalah 1217: Dalam sembilan kondisi, jika mushalli ragu tentang jumlah rakaat shalat yang berjumlah empat rakaat, maka ia harus berpikir (sejenak). Jika ia memiliki keyakinan atau sangkaan terhadap salah satu sisi keraguannya, maka ia harus memilihnya dan menyempurnakan shalatnya. Dan jika tidak, maka ia harus mengamalkan kewajiban yang akan dijelaskan. Sembilan kondisi itu adalah sebagai berikut:

1.Keraguan antara dua atau tiga rakaat setelah bangun dari sujud kedua. Dalam hal ini, ia harus menetapkan telah mengerjakan tiga rakaat, lalu mengerjakan satu rakaat lagi dan menyempurnakan shalatnya. Setelah itu, ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dalam kondisi berdiri sebanyak satu rakaat atau dalam kondisi duduk sebanyak dua rakaat sesuai dengan tata cara yang akan dijelaskan nanti.

2.Keraguan antara dua atau empat rakaat setelah bangun dari sujud kedua. Dalam hal ini, ia harus menetapkan telah mengerjakan empat rakaat dan menyempurnakan shalatnya. Setelah itu, ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dalam kondisi berdiri sebanyak dua rakaat.

3.Keraguan antara dua, tiga, dan empat rakaat setelah bangun dari sujud kedua. Dalam hal ini, ia harus menetapkan telah mengerjakan empat rakaat dan menyempurnakan shalatnya. Setelah itu, ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dalam kondisi berdiri sebanyak dua rakaat, lalu dalam kondisi duduk juga sebanyak dua rakaat.

Akan tetapi, jika salah satu dari ketiga macam keraguan itu terjadi setelah ia mengerjakan sujud pertama atau sebelum bangun dari sujud kedua, maka ia harus mengulangi shalatnya.

4.Keraguan antara empat dan lima rakaat setelah bangun dari sujud kedua. Dalam hal ini, ia harus menetapkan telah mengerjakan empat rakaat dan menyempurnakan shalatnya. Setelah itu, ia harus melakukan dua kali sujud sahwi.

5.Keraguan antara tiga dan empat rakaat dan mushalli dalam kondisi apapun. Dalam hal ini, ia harus menetapkan telah mengerjakan empat rakaat dan menyempurnakan shalatnya. Setelah itu, ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dalam kondisi berdiri sebanyak satu rakaat atau dalam kondisi duduk sebanyak dua rakaat.

6.Keraguan antara empat dan lima rakaat dalam kondisi berdiri. Dalam hal ini, ia harus duduk, membaca tasyahud, dan salam. Setelah itu, ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dalam kondisi berdiri sebanyak satu rakaat atau dalam kondisi duduk sebanyak dua rakaat.

7.Keraguan antara tiga dan lima rakaat dalam kondisi berdiri. Dalam hal ini, ia harus duduk, membaca tasyahud, dan salam. Setelah itu, ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dalam kondisi berdiri sebanyak dua rakaat.

8.Keraguan antara tiga, empat, dan lima rakaat dalam kondisi berdiri. Dalam hal ini, ia harus duduk, membaca tasyahud, dan salam. Setelah itu, ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dalam kondisi berdiri sebanyak dua rakaat, lalu dalam kondisi duduk juga sebanyak dua rakaat.

9.Keraguan antara lima dan enam rakaat dalam kondisi berdiri. Dalam hal ini, ia harus duduk, membaca tasyahud, membaca salam, dan melakukan sujud sahwi.

Masalah 1218: Jika salah satu dari keraguan-keraguan yang sah itu terjadi, mushalli tidak boleh memutus shalatnya. Jika ia memutusnya, maka ia telah bermaksiat. Dengan demikian, jika ia memulai shalatnya (yang kedua) sebelum melakukan sesuatu yang dapat membatalkan shalat, seperti membelakangi Kiblat, maka shalat yang kedua itu juga batal, dan jika ia memulai shalat (yang kedua itu) setelah melakukan sesuatu yang dapat membatalkan shalat, maka shalat itu adalah sah.

Masalah 1219: Jika salah satu dari keraguan-keraguan yang mewajibkan shalat ihtiyath itu terjadi dan mushalli menyempurnakan shalat, lalu tanpa mengerjakan shalat ihtiyath ia mengulangi shalat dari awal, maka ia telah bermaksiat. Dengan demikian, jika ia mengulanginya sebelum mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan shalat, maka shalat yang kedua itu juga batal, dan jika ia mengulangi shalat setelah mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan shalat, maka shalat yang kedua adalah sah.

Masalah 1220: Ketika salah satu dari keraguan-keraguan yang sah—seperti telah dijelaskan di atas—terjadi, maka mushalli harus segera mengingat-ingat. Jika ia tidak berhasil menemukan jalan untuk memperoleh keyakinan atau sangkaan terhadap salah satu dari sisi-sisi keraguan itu dengan cara apa pun, maka keraguannya belum hilang. Dan tidak ada masalah ia mengingat-ingat setelah (selasai mengerjakan sebuah kewajiban) itu. Misal, jika ia ragu ketika sedang mengerjakan sujud, maka ia dapat menunda pengingatan itu hingga sujud usai.

Masalah 1221: Jika pertama kali sangkaannya lebih banyak kepada satu sisi keraguan dan setelah itu, kedua sisi keraguan adalah sama dalam pandangannya, maka maka ia harus mengamalkan kewajiban (yang telah ditentukan untuk menangani) keraguan. Dan jika pertama kali kedua sisi keraguan adalah sama dalam pandangannya dan ia telah memilih sisi yang memang menjadi tugasnya, lalu ia lebih memiliki sangkaan terhadap sisi yang lain, maka ia harus mengambil sisi yang lain tersebut dan menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1222: Jika mushalli tidak tahu apakah ia lebih memiliki sangkaan terhadap salah satu sisi keraguan atau kedua sisi keraguan adalah sama dalam pandangannya, maka ia harus mengamalkan kewajiban (yang telah ditentukan untuk menangani) keraguan.

Masalah 1223: Jika setelah usai shalat ia baru ingat bahwa di pertengahan shalat ia telah ragu apakah—misalnya—ia telah mengerjakan dua rakaat atau tiga rakaat dan ia telah menetapkan tiga rakaat, akan tetapi ia tidak tahu apakah penetapan (tiga rakaat) itu berlandaskan sangkaannya bahwa ia telah mengerjakan tiga rakaat atau atas dasar kesamaan dua sisi shalat dalam pandangannya (dan ia memilih sisi tiga rakaat yang memang telah menjadi tugasnya saat itu), maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat ihtiyath.

Masalah 1224: Jika ia ragu apakah telah mengerjakan dua kali sujud atau belum ketika ia sedang membaca tasyahud atau setelah ia berdiri, dan pada waktu itu juga ia tertimpa keraguan yang jika terjadi setelah mengerjakan dua kali sujud adalah sah, seperti ia ragu apakah sudah mengerjakan dua rakaat atau tiga rakaat, maka ia harus mengamalkan kewajiban (yang telah ditentukan untuk) keraguan itu.

Masalah 1225: Jika ia ragu apakah sudah mengerjakan dua kali sujud atau belum sebelum membaca tasyahud atau sebelum ia berdiri di dalam rakaat-rakaat yang tidak memiliki tasyahud, dan pada saat itu juga ia tertimpa salah satu keraguan yang jika terjadi setelah mengerjakan dua kali sujud adalah sah, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 1226: Jika ia ragu antara tiga dan empat rakaat atau antara tiga, empat, dan lima rakaat ketika ia sedang berdiri dan ia juga ingat belum mengerjakan dua kali sujud untuk rakaat sebelumnya, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 1227: Jika keraguannya hilang dan ia tertimpa keraguan yang lain, seperti pertama kali ia ragu apakah sudah mengerjakan dua atau tiga rakaat, dan setelah itu ia ragu apakah sudah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka ia harus mengerjakan kewajiban untuk keraguan yang kedua.

Masalah 1228: Jika setelah shalat ia ragu apakah di pertengahan shalat ia telah ragu antara dua dan empat rakaat atau antara tiga dan empat rakaat, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan kewajiban untuk kedua keraguan itu dan mengulangi shalatnya.

Masalah 1229: Jika setelah shalat usai ia baru ingat bahwa di pertengahan shalat ia telah tertimpa oleh sebuah keraguan, tetapi ia tidak tahu apakah keraguan itu termasuk golongan keraguan yang batal atau keraguan yang sah, dan apabila termasuk keraguan yang sah, ia tidak tahu keraguan bagian yang mana, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan kewajiban (yang telah ditentukan untuk) keraguan-keraguan yang sah dan sesuai dengan sangkaannya, serta mengulangi shalatnya.

Masalah 1230: Mushalli yang mengerjakan shalat dalam kondisi duduk, jika ia tertimpa oleh sebuah keraguan yang mengharuskan shalat ihtiyath sebanyak satu rakaat dengan berdiri atau dua rakaat dengan duduk, maka ia harus mengerjakan shalat ihtiyath dengan duduk sebanyak satu rakaat. Dan jika ia ditimpa oleh sebuah keraguan yang mewajibkan shalat ihtiyath sebanyak dua rakaat dengan berdiri, maka ia harus mengerjakan shalat ihtiyath sebanyak dua rakaat dengan duduk.

Masalah 1231: Seseorang yang mengerjakan shalat dengan berdiri, jika ia tidak mampu berdiri lagi ketika ingin mengerjakan shalat ihtiyath dan terpaksa harus mengerjakan shalat dalam kondisi duduk, maka—sesuai dengan apa yang telah dijelaskan di masalah sebelumnya—ia harus mengerjakan dalam kondisi duduk semua jumlah rakaat (shalat ihtiyath) yang semestinya harus dikerjakan dalam kondisi berdiri.

Masalah 1232: Seseorang yang mengerjakan shalat dalam kondisi duduk, jika ia mampu untuk berdiri ketika ingin mengerjakan shalat ihtiyath, maka ia harus mengerjakan tugas mushalli yang dapat mengerjakan shalat dalam kondisi berdiri.