PASAL XX SHALAT QADHA
Masalah 1384: Seseorang yang tidak
mengerjakan shalat wajib tepat pada waktunya harus mengqadhanya, meskipun selama
dalam waktu satu shalat penuh ia tertidur atau tidak mengerjakan shalat karena
mabuk. Akan tetapi, wanita tidak perlu mengqadha shalat wajib harian yang tidak
dikerjakannya selama ia mennjalani masa haidh dan nifas.
Masalah 1385: Jika setelah waktu
shalat usai ia baru tahu bahwa shalat yang telah dikerjakannya adalah batal,
maka wajib ia mengqadhanya.
Masalah 1386: Jika seseorang mencapai
usia baligh sebelum waktu shalat usai, walaupun hanya cukup untuk mengerjakan
satu rakaat saja, maka wajib ia mengerjakan shalat secara adâ’an, (bukan
qadha), dan jika ia tidak mengerjakannya, maka wajib ia mengqadhanya. Begitu
juga berkenaan dengan wanita yang sedang mengalami masa haidh atau nifas yang
uzurnya hilang sebelum waktu shalat usai dan ia dapat mengerjakan—walaupun—satu
rakaat shalat pada waktunya, setelah melakukan mandi (sebelumnya).
Masalah 1387: Seseorang yang wajib
untuk mengerjakan shalat Jumat, jika ia tidak mengerjakannya pada waktunya, maka
wajib ia mengerjakan shalat Zhuhur, dan jika ia juga tidak mengerjakan shalat
Zhuhur, maka ia harus mengqadha shalat Zhuhur tersebut.
Masalah 1388: Ia dapat mengerjakan
qadha shalat-shalat wajib tersebut kapanpun juga dalam sehari dan semalam, baik
dalam perjalanann maupun tidak dalam perjalanan. Akan tetapi, jika ia ingin
mengqadha shalat-shalat yang tidak dikerjakannya selama dalam perjalanan pada
waktu ia tidak bepergian, maka ia harus mengqadhanya dengan mengqashar. Dan
sebaliknya, jika ia ingin mengqadha shalat-shalat yang tidak dikerjakannya
selama tidak bepergian pada waktu ia mengadakan perjalanan, maka ia harus
mengqadhanya secara sempurna.
Masalah 1389: Jika seseorang tidak
mengerjakan shalatnya di tempat-tempat yang ia dapat memilih antara
menyempurnakan dan mengqasharnya, seperti di Masjidil Haram, dalam hal
ini—berdasarkan ihtiyath wajib—apabila ia ingin mengqadhanya di selain
tempat-tempat itu, maka ia harus mengqadhanya dengan mengqashar dan apabila ia
ingin mengqadhanya di tempat-tempat tersebut, maka ia dapat memilih antara
menyempurnakan dan mengqasharnya.
Masalah 1390: Seseorang yang memiliki
qadha shalat hendaknya jangan mengulur-ulur waktu untuk mengerjakannya. Akan
tetapi, tidak wajib ia mengerjakannya langsung.
Masalah 1391: Seseorang yang memiliki
kewajiban mengerjakan shalat qadha untuk suatu hari yang ia ingin mengerjakan
shalat adâ’, berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mendahulukan
shalat qadha atas shalat adâ’ (yang harus dikerjakan pada) hari itu juga.
Masalah 1392: Seseorang yang memiliki
(kewajiban) shalat qadha masih dapat mengerjakan shalat sunah.
Masalah 1393: Berdasarkan ihtiyath
wajib, memperhatikan urutan shalat dalam mengqadha shalat-shalat wajib
harian bagi orang yang mengetahui urutan shalat-shalat yang harus diqadhanya
adalah wajib. Dan shalat-shalat yang dalam kondisi adâ’ harus dikerjakan
secara berurutan, seperti shalat Zhuhur dan ‘Ashar, dalam kondisi qadha pun
urutan itu harus diperhatikan.
Masalah 1394: Jika ia ingin mengqadha
beberapa shalat wajib selain shalat wajib harian, seperti shalat Ayat atau ia
ingin mengerjakan qadha satu shalat wajib harian dan qadha beberapa shalat wajib
selain shalat wajib harian, maka tidak wajib ia mengqadha semua shalat itu
secara berurutan.
Masalah 1395: Jika ia tidak
mengetahui manakah di antara shalat-shalat yang harus diqadhanya itu yang
terlebih dahulu (harus dikerjakan), maka tidak wajib ia mengerjakannya
sedemikian rupa sehingga urutan itu terpelihara. Ia dapat mendahulukan shalat
mana saja yang dikehendakinya.
Masalah 1396: Jika para pewaris ingin
mengerjakan qadha shalat untuk seorang mayit dan mereka mengetahui urutan
shalat-shalat yang sudah tertinggal (baca: tidak dikerjakan selama ia hidup)
itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib urutan itu harus diperhatikan. Atas
dasar ini, tidak sah jika mereka menyewa beberapa orang untuk mengerjakan shalat
(qadha) dalam satu waktu, dan wajib mereka menentukan waktu tertentu untuk
masing-masing orang (yang disewa itu sehingga urutan shalat itu terpelihara).
Jika mereka tidak mengetahui urutan shalat yang harus diqadha tersebut, maka
syarat tersebut tidak wajib.
Masalah 1397: Seseorang yang tidak
mengetahui berapa jumlah shalat qadha yang dimilikinya, apakah empat atau lima
shalat misalnya, jika ia mengerjakan yang sedikit, maka hal itu sudah cukup.
Akan tetapi berdasarkan ihtiyath wajib, jika ia pernah tahu jumlah qadha
shalat itu sebelumnya dan lupa setelah itu, maka ia harus mengerjakan jumlah
yang terbanyak.
Masalah 1398: Selama seseorang masih
hidup, orang lain—atas nama wakil darinya—tidak dapat mengerjakan shalat-shalat
qadhanya, meskipun orang itu sudah tidak mampu lagi mengerjakan shalat-shalat
qadha yang dimilikinya.
Masalah 1399: Shalat qadha dapat
dikerjakan secara berjamaah, baik shalat imam jamaah adalah shalat adâ’
maupun shalat qadha juga. Dan tidak wajib imam dan makmum itu mengerjakan shalat
yang sama. Jika—misalnya—makmum mengerjakan qadha shalat Shubuh dan imam sedang
mengerjakan shalat Zhuhur atau ‘Ashar, maka hal itu tidak ada masalah.
Masalah 1400: Sunah kita membiasakan
seorang anak kecil yang sudah mumayyiz (yang bisa memahami baik dan
buruk) untuk mengerjakan shalat dan ibadah-ibadah yang lain. Bahkan sunah juga
kita memaksanya untuk mengerjakan shalat-shalat qadhanya.
Shalat Qadha untuk Kedua Orang Tua
Jika seorang ayah (pada waktu masih hidup) tidak mengerjakan
shalat karena uzur yang dimilikinya, maka sepeninggalnya wajib bagi anak lelaki
terbesar untuk mengqadha shalat tersebut atau menyewa orang lain (untuk itu).
Bahkan jika ayah tersebut meninggalkan shalat karena ketidaktaatannya (kepada
Allah) sekalipun, maka berdasarkan ihtiyath wajib anak lelaki terbesar
itu juga harus melakukan hal tersebut. Jika ia tidak berpuasa karena sakit atau
melakukan perjalanan dan selama masih hidup ia dapat untuk mengqadhanya, dan
tidak melakukannya, maka anak lelaki terbesar harus mengqadhanya.
Masalah 1401: Berdasarkan ihtiyath
wajib, anak lelaki terbesar juga harus mengqadha shalat dan puasa ibunya
yang tidak dikerjakan.
Masalah 1402: Anak lelaki terbesar
hanya wajib mengqadha shalat-shalat yang dimiliki kedua orang tuanya secara
langsung. Adapun (mengqadha) shalat-shalat yang wajib atas mereka karena mereka
disewa orang lain atau shalat-shalat salah satu orang tua mereka yang menjadi
tanggungan mereka adalah tidak wajib.
Masalah 1403: Tidak wajib bagi cucu
lelaki dari anak lelaki yang ketika mayit (baca: orang tuanya) meninggal dunia
ia adalah anak yang terbesar dari sekian anak-anaknya untuk mengqadha
shalat-shalatnya. Dan berdasarkan ihtiyath wajib, jika mayit tidak
memiliki anak (lagi), maka ia harus mengqadha shalat-shalatnya.
Masalah 1404: Anak lelaki terbesar
tidak harus mencapai usia baligh ketika ayah atau ibunya meninggal dunia. Jika
pada waktu itu ia masih kecil, setelah baligh ia harus mengqadhanya. Apabila ia
juga meninggal dunia sebelum mencapai usia baligh, maka tidak wajib bagi anaknya
yang lain untuk mengqadhanya.
Masalah 1405: Jika salah satu dari
anak-anaknya lebih besar usianya dan yang lain lebih dewasa (darinya), maka
qadha shalat adalah wajib bagi anak yang lebih besar usianya.
Masalah 1406: (Dalam kewajiban
mengqadha) tidak harus anak lelaki terbesar itu pasti mewarisi (harta) orang
tuanya. Atas dasar ini, jika sekalipun ia tidak berhak mewarisi (hartanya)
disebabkan oleh salah satu faktor pencegah waris-mewarisi, seperti ia telah
membunuh orang tuanya atau ia adalah kafir, maka tetap wajib baginya untuk
mengqadhanya.
Masalah 1407: Jika tidak diketahui
manakah anak lelakinya yang terbesar, maka tidak wajib bagi keduanya untuk
mengqadha. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, hendaknya mereka
membagi qadha shalat dan puasa kedua orang tuanya di antara mereka sendiri atau
mereka menentukan salah seorang dari mereka untuk mengerjakan qadha tersebut
dengan perantara melotere (nama mereka).
Masalah 1408: Jika mayit berwasiat
supaya anak-anaknya menyewa orang lain untuk mengqadha shalat dan puasanya, maka
setelah orang yang disewa tersebut mengerjakan shalat dan puasanya secara benar,
tidak wajib lagi bagi anak lelakinya yang terbesar (untuk mengqadhanya). Begitu
juga (hukumnya) jika seseorang mengqadha shalat dan puasa atas nama mayit secara
suka rela.
Masalah 1409: Dalam hal membaca
(bacaan shalat) dengan suara keras atau pelan, anak lelaki terbesar itu harus
melaksanakan sesuai dengan tugasnya sendiri, (bukan sesuai dengan tugas si
mayit). Dengan demikian, ia harus membaca bacaan shalat Shubuh, Maghrib, dan
Isya’ dengan suara keras meskipun ia sedang mengqadha shalat atas nama ibunya.
Masalah 1410: Jika dua anak lelaki
terbesar adalah kembar, anak yang keluar terlebih dahulu adalah yang terbesar,
meskipun sperma anak kedua itu yang lebih cepat terbentuk.
Masalah 1411: Jika seseorang
meninggal dunia setelah waktu shalat masuk sekadar ia dapat mengerjakan shalat,
maka qadha shalat tersebut adalah wajib bagi anak lelaki terbesar.
Masalah 1412: Jika mayit sama sekali
tidak memiliki anak lelaki, maka (anak-anaknya) yang lain tidak wajib
mengerjakan shalat qadhanya. Apabila ia berwasiat supaya shalatnya diqadha, maka
biaya untuk mengqadha tersebut harus dikeluarkan dari sepertiga harta
peninggalannya.
Masalah 1413: Jika anak lelaki
terbesar meninggal dunia sebelum ia sempat mengqadha shalat dan puasa ayahnya
yang tidak sempat dikerjakan selama ia hidup, maka anak lelaki yang lebih kecil
darinya harus mengqadha semua shalat dan puasa itu.
|