PASAL XXI
SHALAT JAMAAH
Masalah 1414: Disunahkan kita mengerjakan
shalat-shalat wajib, khususnya shalat-shalat wajib harian dengan berjamaah. Dan
shalat Shubuh, Maghrib, dan Isya’ mendapatkan penekanan yang sangat serius,
khususnya bagi tetangga masjid dan orang-orang yang mendengarkan suara azan
masjid tersebut.
Masalah 1415: Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa jika satu orang bermakmum kepada imam shalat jamaah, maka setiap rakaat
shalat mereka berdua memiliki pahala seratus lima puluh shalat dan jika dua
orang menjadi makmum, setiap rakaat shalat mereka memiliki pahala enam ratus
shalat. Jika jumlah makmum bertambah banyak, maka pahala shalatnya akan
bertambah banyak pula, sehingga jumlah makmum mencapai sepuluh orang. Jika
jumlah makmum sudah mencapai sepuluh orang, maka seandainya seluruh langit
menjadi kertas, lautan menjadi tinta, pepohonan menjadi pena, dan jin, manusia,
dan para malaikat menjadi penulisnya, niscaya mereka tidak akan mampu menulis
pahala satu rakaat (shalat jamaah itu).
Masalah 1416: Tidak boleh kita meninggalkan
shalat jamaah jika hal itu didasari rasa ketidakperdulian, dan tidak layak
seseorang meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur.
Masalah 1417: Sunah seseorang bersabar
menunggu demi mengerjakan shalat secara berjamaah. Shalat berjamaah adalah
lebih baik dari shalat furâdâ (sendirian) yang dikerjakan di awal waktu.
Dan shalat berjamaah yang dikerjakan secara cepat adalah lebih baik dari shalat
furâdâ yang dikerjakan (dengan pelan-pelan dan) memakan waktu yang lama.
Masalah 1418: Ketika shalat jamaah didirikan, sunah
bagi orang yang telah mengerjakan shalatnya secara furâdâ untuk
mengulanginya secara berjamaah, dan jika setelah itu ia tahu bahwa shalat
pertama (yang dikerjakannya secara furâdâ itu) adalah batal, maka shalat
keduanya sudah cukup.
Masalah 1419: Jika imam atau makmum ingin
mengulangi shalat yang telah dikerjakannya secara berjamaah dengan berjamaah
lagi, dalam hal ini apabila shalat jamaah kedua dan para makmum yang
mengikutinya bukan anggota shalat jamaah yang pertama dan ia bertindak sebagai
imam, maka hal itu tidak ada masalah.
Masalah 1420: Seseorang yang memiliki penyakit
waswas dan ia dapat terhindar dari penyakit tersebut jika mengerjakan shalat
secara berjamaah, maka ia harus mengerjakan shalatnya secara berjamaah.
Masalah 1421: Jika kedua orang tua
memerintahkan anak mereka untuk mengerjakan shalat secara berjamaah, dalam hal
ini apabila meninggalkan shalat secara berjamaah itu dapat menyebabkan sakit
hati dan kemarahan, atau melanggar adab sopan-santun terhadap mereka, maka
wajib ia mengerjakan shalat secara berjamaah.
Masalah 1422: Shalat-shalat sunah tidak boleh
dikerjakan secara berjamaah, kecuali shalat Istisqâ’ yang dikerjakan untuk
memohon hujan. Begitu juga, kita dapat mengerjakan shalat hari raya Idul Fitri
dan Idul Adha secara berjamaah.
Masalah 1423: Ketika imam shalat jamaah sedang
mengerjakan shalat wajib harian, seseorang dapat bermakmum kepadanya dalam
mengerjakan shalat wajib harian manapun. Akan tetapi, jika imam shalat jamaah mengulangi
shalat wajib hariannya dengan niat ihtiyâth, maka makmum tidak dapat
mengerjakan shalat (wajib harian) dengan bermakmum kepadanya, kecuali jika
kedua shalat (imam dan makmum) tersebut adalah sama dari sisi ihtiyâth
dan tujuan.
Masalah 1424: Jika imam mengqadha shalat wajib
hariannya, maka makmum dapat bermakmum kepadanya. Akan tetapi, jika ia
mengqadha shalatnya dengan niat ihtiyâth atau mengerjakan shalat qadha ihtiyâth
yang dimiliki oleh orang lain, meskipun ia tidak mengambil upah untuk itu, maka
tidak boleh ia bermakmum kepadanya, kecuali jika makmum juga mengerjakan shalat
ihtiyâth seperti yang dilakukan oleh imam shalat jamaah. Akan tetapi, jika
makmum tahu bahwa shalat qadha yang dikerjakan oleh imam shalat untuk orang
tersebut sudah usai, maka tidak ada masalah ia bermakmum kepadanya.
Masalah 1425: Jika imam shalat jamaah berada
di dalam mihrab dan di belakangnnya ada seseorang yang sedang bermakmum
kepadanya, maka mushalli yang berdiri di kedua sisi mihrab tersebut dan tidak
dapat melihat imam karena terhalang oleh tembok mihrab tidak dapat bermakmum
kepadanya. Bahkan, jika seorang mushalli sedang bermakmum di belakangnya, maka berdasarkan
ihtiyâth wajib tidak sah mushalli yang berdiri di samping makmum
tersebut dan tidak dapat melihat imam karena terhalangi oleh tembok mihrab untuk
bermakmum kepadanya.
Masalah 1426: Jika—karena panjangnya shaf
pertama—mushalli yang berdiri di kedua sisinya tidak dapat melihat imam, maka
ia dapat bermakmum kepadanya. Begitu juga, jika—karena panjangnya salah satu shaf
yang lain—mushalli yang berdiri di kedua sisinya tidak dapat melihat shaf yang
berada di depannya, ia dapat bermakmum kepadanya.
Masalah 1427: Jika shaf shalat jamaah
memanjang sampai ke pintu masjid, maka shalat mushalli yang berdiri di depan
pintu itu adalah sah. Begitu juga shalat mushalli yang menjadi makmum dengan berdiri
di belakangnya. Akan tetapi, mushalli yang berdiri di kedua sisinya dan tidak
dapat melihat shaf yang berada di depannya, maka shalat jamaahnya—berdasarkan ihtiyâth
wajib—adalah tidak sah.
Masalah 1428: Mushalli yang berdiri di
belakang pilar (sebuah masjid), jika shafnya, baik dari sebelah kiri maupun
kanannya tidak bersambung dengan imam melalui perantara makmum yang lain, maka
ia tidak dapat bermakmum kepadanya. Akan tetapi, jika shafnya bersambung dari sebelah
kiri atau kanannya, maka ia dapat bermakmum kepadanya.
Masalah 1429: Tempat imam berdiri tidak boleh
lebih tinggi dari tempat makmum berdiri. Akan tetapi, jika tempat imam berdiri
lebih tinggi sedikit sekali dari tempat makmum berdiri, maka hal itu tidak ada
masalah. Begitu juga jika tanah bergelombang dan imam berdiri di atas tempat
yang lebih tinggi, dalam hal ini apabila ketinggian gelombang tanah itu tidak terlalu
parah sehingga masih bisa dikatakan bahwa tanah itu adalah tanah yang datar,
maka bermakmum kepadanya tidak ada masalah.
Masalah 1430: Dalam kesahan menjadi makmum, disyaratkan
kesatuan bentuk berkumpul (antara makmum dan imam) dan kebersambungan shaf. Atas
dasar ini, dalam sebuah bangunan beberapa tingkat, jika tingkat atas tidak
terlalu tinggi dan kebersambungan shaf shalat dan kesatuan ‘urfî terwujud,
maka bermakmum kepada imam adalah sah, dan jika tidak demikian, maka bermakmum
tidak sah.
Masalah 1431: Jika di antara para mushalli
yang berdiri dalam satu shaf terdapat seorang anak kecil yang sudah mumayyiz—yaitu,
anak kecil yang dapat membedakan antara yang baik dan jelek—yang memisah antara
mereka, dalam hal ini apabila mereka tidak yakin shalatnya adalah batal, maka
mereka dapat menjadi makmum.
Masalah 1432: Setelah imam shalat jamaah
mengucapkan Takbiratul Ihram, jika shaf yang berada di depan sudah siap
mengerjakan shalat dan membaca Takbiratul Ihram, mushalli yang berdiri di shaf
selanjutnya dapat membaca Takbiratul Ihram. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth
mustahab hendaknya ia bersabar sehingga Takbiratul Ihram shaf yang berada
di depan usai.
Masalah 1433: Jika mushalli tahu bahwa salah
satu shaf shalat yang berada di depan adalah batal, maka ia tidak dapat bermakmum
di dalam shaf-shaf yang berada pada urutan berikutnya. Dan jika ia tidak tahu apakah
shalat mereka (yang berada dalam shaf tersebut) adalah sah atau tidak, maka ia
dapat menjadi makmum.
Masalah 1434: Jika makmum tahu bahwa shalat
imam adalah batal, seperti ia tahu bahwa imam tidak memiliki wudhu, maka ia tidak
boleh bermakmum kepadanya meskipun imam sendiri tidak menyadari hal itu.
Masalah 1435: Jika setelah shalat usai makmum
baru menyadari bahwa imam bukanlah orang yang adil, kafir, atau—karena satu dan
lain hal—shalatnya adalah batal, seperti ia mengerjakan shalat tanpa waudhu,
maka shalat jamaah makmum itu adalah sah.
Masalah 1436: Jika seorang makmum ragu apakah ia
telah berniat menjadi makmum atau tidak, dalam hal ini apabila ia sedang
mengerjakan kewajiban seorang makmum, seperti ia sedang mendengarkan bacaan
al-Fatihah dan surah imam, maka ia dapat menyempurnakan shalatnya secara
berjamaah, dan apabila ia sedang mengerjakan sebuah kewajiban yang di samping
sebagai tugas makmum juga merupakan tugas imam, seperti ia berada dalam kondisi
rukuk atau sujud, maka ia harus menyempurnakan shalat dengan niat furâdâ.
Masalah 1437: Di pertengahan shalat seorang
makmum dapat meniatkan shalat secara furâdâ (mengerjakan shalat
sendirian dengan berpisah dari imam—pen.).
Masalah 1438: Jika makmum meniatkan shalat
secara furâdâ setelah imam usai membaca al-Fatihah dan surah, maka tidak
wajib ia membaca al-Fatihah dan surah lagi. Akan tetapi, jika ia meniatkan furâdâ
sebelum bacaan al-Fatihah dan surah imam itu usai atau setelah berniat menjadi
makmum ia langsung berniat bahwa setelah bacaan al-Fatihah dan surah imam usai ia
akan melanjutkan shalat secara furâdâ, maka berdasarkan ihtiyâth
wajib ia harus membaca al-Fatihah dan surah dari awal.
Masalah 1439: Jika di pertengahan shalat
makmum berniat untuk melanjutkan shalat secara furâdâ, maka tidak
boleh—berdasarkan ihtiyâth wajib— ia berniat mengerjakan shalat secara
berjamaah (baca: menjadi makmum) lagi, meskipun hal itu ia lakukan langsung
setelah berniat furâdâ. Akan tetapi, jika ia ragu apakah akan berniat furâdâ
atau tidak dan setelah itu ia mengambil keputusan untuk melanjutkan shalatnya
secara berjamaah, maka shalatnya adalah sah.
Masalah 1440: Jika ia ragu apakah sudah
berniat furâdâ atau belum, maka ia harus menetapkan belum berniat furâdâ.
Masalah 1441: Jika makmum baru mengikuti
shalat jamaah ketika imam sedang dalam kondisi rukuk dan ia sempat melakukan
rukuk bersamanya, meskipun bacaan zikir rukuk imam sudah usai, maka shalatnya
secara berjamaah adalah sah dan dihitung satu rakaat. Adapun jika ia sudah
membungkuk sesuai dengan kadar yang wajib dalam rukuk dan tidak sempat
melakukan rukuk bersama imam, maka niat jamaahnya adalah batal dan shalatnya
adalah sah secara furâdâ. Atas dasar ini, ia harus menjadikan rukuk
tersebut sebagai rukuk rakaat pertama dan melanjutkan shalatnya, meskipun
berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia mengulangi shalatnya.
Masalah 1442: Jika ia baru mengikuti shalat
jamaah ketika imam sedang dalam kondisi rukuk dan ia sudah membungkuk sesuai
dengan kadar yang wajib dalam rukuk, lalu ia ragu apakah ia sempat melakukan
rukuk bersama imam atau tidak, maka hukumnya seperti hukum masalah di atas.
Masalah 1443: Jika ia baru mengikuti shalat
jamaah ketika imam sedang dalam kondisi rukuk dan sebelum membungkuk sesuai
dengan kadar wajib dalam rukuk, imam sudah bangun dari rukuk, maka ia dapat
mengerjakan shalat secara furâdâ atau menunggu sampai imam bangun
kembali untuk mengerjakan rakaat berikutnya, (lalu ia mengikutinya) dan
menghitung rakaat (yang dikerjakan bersama imam) tersebut sebagai rakaat
pertama. Akan tetapi, jika bangunnya imam (untuk rakaat selanjutnya itu) memakan
waktu yang sangat panjang sehingga ia (dengan kondisi menunggu itu) tidak
dianggap sedang mengerjakan shalat secara berjamaah, maka ia harus meniatkan
shalat secara furâdâ.
Masalah 1444: Jika seseorang mengikuti shalat
jamaah dari permulaan atau di pertengahan bacaan al-Fatihah dan surah imam, dan
sebelum ia mengerjakan rukuk, imam sudah bangun dari rukuk, maka shalatnya
adalah sah secara berjamaah. Dengan demikian, ia harus mengerjakan rukuk dan mengejar
imam.
Masalah 1445: Jika seseorang baru sampai
ketika imam sedang membaca tasyahud shalat yang terakhir, dalam hal ini apabila
ia ingin memiliki pahala shalat berjamaah, maka setelah berniat dan membaca
Takbiratul Ihram, ia harus duduk dan membaca tasyahud bersama imam tanpa
membaca salam, serta menunggu hingga imam membaca salam. Setelah itu, ia
berdiri dan membaca al-Fatihah dan surah tanpa perlu berniat dan membaca
Takbiratul Ihram lagi. Dan ia menghitung rakaat tersebut sebagai rakaat pertama
shalatnya.
Masalah 1446: Makmum tidak boleh berdiri lebih
maju dari imam. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, ia harus berdiri lebih
ke belakang darinya. Seandainya badannya lebih tinggi dari imam dan ketika
rukuk atau sujud ia lebih ke depan darinya, maka hal itu tidak ada masalah
asalkan ia berdiri lebih ke belakang dari imam.
Masalah 1447: Berdasarkan ihtiyâth wajib,
jika makmum adalah satu orang pria, maka ia harus berdiri di samping kanan imam;
jika makmum adalah satu orang wanita, maka ia harus berdiri di samping kanan
imam sedemikian rupa sekiranya tempat sujudnya sejajar dengan lutut atau
telapak kaki imam; jika makmum adalah satu orang pria dan satu orang wanita
atau satu orang pria dan beberapa orang wanita, maka makmum pria harus berdiri di
samping kanan imam dan selebihnya berdiri di belakang imam; dan jika makmum
adalah beberapa orang pria dan beberapa orang wanita, maka makmum pria harus
berdiri di belakang imam dan makmum wanita harus berdiri di belakang makmum
pria.
Masalah 1448: Di dalam shalat jamaah, antara
imam dan makmum tidak boleh terdapat pemisah, seperti tabir dan yang semisalnya
yang menyebabkan setiap benda yang terdapat di belakangnya tidak terlihat. Begitu
juga antara satu makmum dan makmum lainnya yang berfungsi sebagai penyambung
(antara shaf-shaf shalat) dengan imam. Akan tetapi, jika makmum adalah wanita
dan imam adalah pria, maka tidak ada masalah antara mereka terdapat penghalang
seperti tabir dan yang semisalnya itu. Dan juga tidak ada masalah jika terdapat
pemisah tabir dan yang semisalnya antara makmum wanita dan makmum pria yang
dengan perantara makmum pria itu (shaf) makmum wanita bersambung dengan imam.
Masalah 1449: Jika tabir atau semisalnya yang
menyebabkan setiap benda yang berada di belakangnya tak terlihat memisahkan
antara makmum dan imam atau antara makmum dan makmum lain yang menjadi
penyambung (shaf)nya dengan imam setelah shalat (jamaah) dimulai, maka
shalatnya menjadi shalat furâdâ dan ia harus menyempurnakan shalatnya
sesuai dengan tugas orang yang mengerjakan shalatnya secara furâdâ.
Masalah 1450: Berdasarkan ihtiyâth wajib,
antara tempat sujud makmum dan tempat imam berdiri tidak boleh berjarak lebih
dari satu langkah normal. Begitu juga jika (shaf)nya menyambung dengan imam
melalui perantara makmum lain yang berdiri di depannya, maka berdasarkan ihtiyâth
wajib jarak antara ia dan makmum tersebut juga tidak boleh lebih dari satu
langkah normal. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, antara tempat sujud
makmum dan tempat makmum yang berada depannya berdiri hendaknya tidak memiliki
jarak sama sekali.
Masalah 1451: Jika (shaf) makmum menyambung
dengan imam melalui perantara makmum lain yang berada di sisi kanan atau
kirinya dan tidak menyambung dengannya melalui arah depan, dalam hal ini
apabila tidak terdapat jarak lebih dari satu langkah normal (antara ia dan
makmum tersebut), maka shalatnya adalah sah.
Masalah 1452: Jika di pertengahan shalat
terdapat pemisah jarak lebih dari satu langkah antara imam dan makmum atau
antara makmum dan makmum lain yang menjadi perantara penyambung shaf dengan
imam, maka shalatnya menjadi shalat furâdâ dan sah.
Masalah 1453: Jika shalat seluruh makmum yang
berada di shaf depan sudah usai atau mereka meniatkan shalat furâdâ,
dalam hal ini apabila jarak (antara para makmum dengan imam) tidak lebih dari
satu langkah normal, maka shalat shaf berikutnya adalah sah secara berjamaah,
dan apabila jarak itu adalah lebih dari satu langkah normal, maka shalat mereka
menjadi shalat furâdâ dan mereka harus menyempurnakan shalat sesuai
dengan tugas shalat furâdâ.
Masalah 1454: Jika seseorang menjadi makmum
pada rakaat kedua, maka ia juga membaca qunut dan tasyahud bersama imam, dan
berdasarkan ihtiyâth wajib, ketika membaca tasyahud ia harus meletakkan
jari-jemari tangan dan telapak kaki bagian depannya di atas tanah dan mengangkat
kedua lututnya. Setelah membaca tasyahud, ia harus berdiri bersama imam dan
membaca al-Fatihah dan surah. Jika ia tidak memiliki waktu untuk membaca surah,
maka ia harus menyempurnakan bacaan al-Fatihah saja dan mengejar imam ketika ia
rukuk atau sujud, atau ia dapat meniatkan shalat furâdâ dan shalatnya
adalah sah.
Masalah 1455: Jika ia mengikuti imam pada saat
ia berada dalam rakaat kedua untuk shalat yang berjumlah empat rakaat, maka pada
rakaat kedua shalatnya di mana imam sudah memasuki rakaat ketiga ia harus duduk
setelah melakukan dua kali sujud seraya membaca tasyahud sekadar yang wajib dan
bangun (untuk mengerjakan rakaat ketiga). Jika ia tidak memiliki waktu untuk
membaca empat tasbih sebanyak tiga kali, maka cukup ia membaca sekali saja dan
mengejar imam ketika ia rukuk atau sujud.
Masalah 1456: Jika imam berada dalam rakaat
ketiga atau keempat dan makmum tahu bahwa apabila ia bermakmum (pada saat itu
juga) dan membaca al-Fatihah, ia tidak akan dapat melakukan rukuk bersama imam,
maka berdasarkan ihtiyâth wajib ia harus bersabar menunggu hingga imam
melakukan rukuk dan pada waktu itu ia mulai bermakmum.
Masalah 1457: Jika ia bermakmum pada saat imam
berada dalam rakaat ketiga atau keempat, maka ia harus membaca al-Fatihah dan
surah, dan jika ia tidak memiliki waktu untuk membaca surah, maka ia harus
menyelesaikan bacaan al-Fatihah saja dan mengejar imam pada saat ia rukuk. Akan
tetapi, jika ia dapat mengejar imam pada saat ia sedang mengerjakan sujud, maka
yang lebih baik—berdasarkan ihtiyâth mustahab—adalah hendaknya ia mengulangi
shalatnya.
Masalah 1458: Mushalli yang yakin, jika ia
membaca surah atau qunut akan dapat mengejar imam ketika ia sedang mengerjakan
rukuk, dalam hal ini apabila ia membaca surah atau qunut dan tidak dapat
mengejar imam pada waktu ia rukuk, maka shalatnya adalah sah.
Masalah 1459: Seseorang yang hatinya mantap
bahwa jika ia memulai membaca surah atau menyempurnakan bacaan surah (yang
sudah dimulainya) akan dapat mengejar imam (ketika ia sedang mengerjakan)
rukuk, maka ia harus memulai membaca surah atau menyempurnakannya apabila ia
sudah memulainya. Akan tetapi, jika ia akan terlambat untuk dapat mengejar imam
ketika ia rukuk, maka tidak wajib ia membaca surah atau tidak wajib menyempurnakannya
apabila ia sudah memulainya.
Masalah 1460: Jika imam dalam kondisi berdiri
dan makmum tidak tahu ia sedang berada dalam rakaat yang ke berapa, maka ia
dapat mulai bermakmum. Akan tetapi, ia harus membaca al-Fatihah dan surah
dengan niat qurbah, (bukan dengan niat memang wajib membacanya dalam
kondisi itu—pen.). Seandainya ia tahu setelah itu bahwa saat itu imam berada
dalam rakaat pertama atau kedua, maka shalatnya adalah sah.
Masalah 1461: Jika ia tidak membaca al-Fatihah
dan surah karena menyangka bahwa imam masih berada dalam rakaat pertama atau
kedua dan setelah mengerjakan rukuk ia baru tahu bahwa pada saat itu imam
berada dalam rakaat ketiga atau keempat, maka shalatnya adalah sah. Akan tetapi,
jika ia baru tahu sebelum mengerjakan rukuk, maka ia harus membaca al-Fatihah
dan surah. Dan jika ia tidak memiliki waktu (untuk itu), maka cukup ia membaca
al-Fatihah, lalu mengejar imam ketika ia sedang mengerjakan rukuk.
Masalah 1462: Jika ia membaca al-Fatihah dan
surah karena menyangka imam berada dalam rakaat ketiga atau keempat dan sebelum
rukuk atau setelahnya ia baru tahu bahwa imam masih berada dalam rakaat pertama
atau kedua, maka shalatnya adalah sah. Dan jika ia tahu hal itu ketika sedang
membaca al-Fatihah dan surah, maka tidak wajib ia menyempurnakan bacaannya.
Masalah 1463: Jika shalat berjamaah didirikan ketika
ia sedang mengerjakan shalat sunah, dalam hal ini apabila ia tidak memiliki
kemantapan hati akan dapat mengejar shalat secara berjamaah jika ia
menyempurnakan shalat sunahnya itu, maka sunah baginya untuk memutus shalat
sunah tersebut dan mengerjakan shalat jamaah. Bahkan, apabila hatinya tidak
mantap akan dapat mengejar rakaat pertama, disunahkan baginya untuk melakukan
hal yang sama.
Masalah 1464: Jika shalat jamaah didirikan
ketika ia sedang mengerjakan shalat yang berjumlah tiga atau empat rakaat,
dalam hal ini apabila ia belum mengerjakan rukuk rakaat ketiga dan ia juga
tidak memiliki kemantapan hati akan dapat mengejar shalat jamaah itu jika ia
menyempurnakan shalatnya, maka sunah baginya untuk menyempurnakan shalat
tersebut dalam dua rakaat dengan niat shalat sunah, lalu mengejar shalat jamaah
(yang sedang didirikan itu).
Masalah 1465: Jika shalat imam sudah usai,
sementara makmum masih sibuk membaca tasyahud atau salam yang pertama, maka
tidak wajib ia berniat furâdâ.
Masalah 1466: Makmum yang tertinggal dari
shalat imam sebanyak satu rakaat, ketika imam sedang membaca tasyahud untuk
rakaat terakhir, ia dapat berniat furâdâ, lalu bangun dan menyempurnakan
shalatnya atau meletakkan jari-jemari tangan dan bagian depan telapak kakinya
di atas tanah dan mengangkat kedua lututnya seraya bersabar menunggu imam
hingga ia mengucapkan salam, dan setelah itu ia bangun (untuk menyempurnakan
shalatnya).
|