Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

PASAL XXI

SHALAT JAMAAH

Masalah 1414: Disunahkan kita mengerjakan shalat-shalat wajib, khususnya shalat-shalat wajib harian dengan berjamaah. Dan shalat Shubuh, Maghrib, dan Isya’ mendapatkan penekanan yang sangat serius, khususnya bagi tetangga masjid dan orang-orang yang mendengarkan suara azan masjid tersebut.

Masalah 1415: Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa jika satu orang bermakmum kepada imam shalat jamaah, maka setiap rakaat shalat mereka berdua memiliki pahala seratus lima puluh shalat dan jika dua orang menjadi makmum, setiap rakaat shalat mereka memiliki pahala enam ratus shalat. Jika jumlah makmum bertambah banyak, maka pahala shalatnya akan bertambah banyak pula, sehingga jumlah makmum mencapai sepuluh orang. Jika jumlah makmum sudah mencapai sepuluh orang, maka seandainya seluruh langit menjadi kertas, lautan menjadi tinta, pepohonan menjadi pena, dan jin, manusia, dan para malaikat menjadi penulisnya, niscaya mereka tidak akan mampu menulis pahala satu rakaat (shalat jamaah itu).

Masalah 1416: Tidak boleh kita meninggalkan shalat jamaah jika hal itu didasari rasa ketidakperdulian, dan tidak layak seseorang meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur.

Masalah 1417: Sunah seseorang bersabar menunggu demi mengerjakan shalat secara berjamaah. Shalat berjamaah adalah lebih baik dari shalat furâdâ (sendirian) yang dikerjakan di awal waktu. Dan shalat berjamaah yang dikerjakan secara cepat adalah lebih baik dari shalat furâdâ yang dikerjakan (dengan pelan-pelan dan) memakan waktu yang lama.

Masalah 1418: Ketika shalat jamaah didirikan, sunah bagi orang yang telah mengerjakan shalatnya secara furâdâ untuk mengulanginya secara berjamaah, dan jika setelah itu ia tahu bahwa shalat pertama (yang dikerjakannya secara furâdâ itu) adalah batal, maka shalat keduanya sudah cukup.

Masalah 1419: Jika imam atau makmum ingin mengulangi shalat yang telah dikerjakannya secara berjamaah dengan berjamaah lagi, dalam hal ini apabila shalat jamaah kedua dan para makmum yang mengikutinya bukan anggota shalat jamaah yang pertama dan ia bertindak sebagai imam, maka hal itu tidak ada masalah.

Masalah 1420: Seseorang yang memiliki penyakit waswas dan ia dapat terhindar dari penyakit tersebut jika mengerjakan shalat secara berjamaah, maka ia harus mengerjakan shalatnya secara berjamaah.

Masalah 1421: Jika kedua orang tua memerintahkan anak mereka untuk mengerjakan shalat secara berjamaah, dalam hal ini apabila meninggalkan shalat secara berjamaah itu dapat menyebabkan sakit hati dan kemarahan, atau melanggar adab sopan-santun terhadap mereka, maka wajib ia mengerjakan shalat secara berjamaah.

Masalah 1422: Shalat-shalat sunah tidak boleh dikerjakan secara berjamaah, kecuali shalat Istisqâ’ yang dikerjakan untuk memohon hujan. Begitu juga, kita dapat mengerjakan shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha secara berjamaah.

Masalah 1423: Ketika imam shalat jamaah sedang mengerjakan shalat wajib harian, seseorang dapat bermakmum kepadanya dalam mengerjakan shalat wajib harian manapun. Akan tetapi, jika imam shalat jamaah mengulangi shalat wajib hariannya dengan niat ihtiyâth, maka makmum tidak dapat mengerjakan shalat (wajib harian) dengan bermakmum kepadanya, kecuali jika kedua shalat (imam dan makmum) tersebut adalah sama dari sisi ihtiyâth dan tujuan.

Masalah 1424: Jika imam mengqadha shalat wajib hariannya, maka makmum dapat bermakmum kepadanya. Akan tetapi, jika ia mengqadha shalatnya dengan niat ihtiyâth atau mengerjakan shalat qadha ihtiyâth yang dimiliki oleh orang lain, meskipun ia tidak mengambil upah untuk itu, maka tidak boleh ia bermakmum kepadanya, kecuali jika makmum juga mengerjakan shalat ihtiyâth seperti yang dilakukan oleh imam shalat jamaah. Akan tetapi, jika makmum tahu bahwa shalat qadha yang dikerjakan oleh imam shalat untuk orang tersebut sudah usai, maka tidak ada masalah ia bermakmum kepadanya.

Masalah 1425: Jika imam shalat jamaah berada di dalam mihrab dan di belakangnnya ada seseorang yang sedang bermakmum kepadanya, maka mushalli yang berdiri di kedua sisi mihrab tersebut dan tidak dapat melihat imam karena terhalang oleh tembok mihrab tidak dapat bermakmum kepadanya. Bahkan, jika seorang mushalli sedang bermakmum di belakangnya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib tidak sah mushalli yang berdiri di samping makmum tersebut dan tidak dapat melihat imam karena terhalangi oleh tembok mihrab untuk bermakmum kepadanya.

Masalah 1426: Jika—karena panjangnya shaf pertama—mushalli yang berdiri di kedua sisinya tidak dapat melihat imam, maka ia dapat bermakmum kepadanya. Begitu juga, jika—karena panjangnya salah satu shaf yang lain—mushalli yang berdiri di kedua sisinya tidak dapat melihat shaf yang berada di depannya, ia dapat bermakmum kepadanya.

Masalah 1427: Jika shaf shalat jamaah memanjang sampai ke pintu masjid, maka shalat mushalli yang berdiri di depan pintu itu adalah sah. Begitu juga shalat mushalli yang menjadi makmum dengan berdiri di belakangnya. Akan tetapi, mushalli yang berdiri di kedua sisinya dan tidak dapat melihat shaf yang berada di depannya, maka shalat jamaahnya—berdasarkan ihtiyâth wajib—adalah tidak sah.

Masalah 1428: Mushalli yang berdiri di belakang pilar (sebuah masjid), jika shafnya, baik dari sebelah kiri maupun kanannya tidak bersambung dengan imam melalui perantara makmum yang lain, maka ia tidak dapat bermakmum kepadanya. Akan tetapi, jika shafnya bersambung dari sebelah kiri atau kanannya, maka ia dapat bermakmum kepadanya.

Masalah 1429: Tempat imam berdiri tidak boleh lebih tinggi dari tempat makmum berdiri. Akan tetapi, jika tempat imam berdiri lebih tinggi sedikit sekali dari tempat makmum berdiri, maka hal itu tidak ada masalah. Begitu juga jika tanah bergelombang dan imam berdiri di atas tempat yang lebih tinggi, dalam hal ini apabila ketinggian gelombang tanah itu tidak terlalu parah sehingga masih bisa dikatakan bahwa tanah itu adalah tanah yang datar, maka bermakmum kepadanya tidak ada masalah.

Masalah 1430: Dalam kesahan menjadi makmum, disyaratkan kesatuan bentuk berkumpul (antara makmum dan imam) dan kebersambungan shaf. Atas dasar ini, dalam sebuah bangunan beberapa tingkat, jika tingkat atas tidak terlalu tinggi dan kebersambungan shaf shalat dan kesatuan ‘urfî terwujud, maka bermakmum kepada imam adalah sah, dan jika tidak demikian, maka bermakmum tidak sah.

Masalah 1431: Jika di antara para mushalli yang berdiri dalam satu shaf terdapat seorang anak kecil yang sudah mumayyiz—yaitu, anak kecil yang dapat membedakan antara yang baik dan jelek—yang memisah antara mereka, dalam hal ini apabila mereka tidak yakin shalatnya adalah batal, maka mereka dapat menjadi makmum.

Masalah 1432: Setelah imam shalat jamaah mengucapkan Takbiratul Ihram, jika shaf yang berada di depan sudah siap mengerjakan shalat dan membaca Takbiratul Ihram, mushalli yang berdiri di shaf selanjutnya dapat membaca Takbiratul Ihram. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia bersabar sehingga Takbiratul Ihram shaf yang berada di depan usai.

Masalah 1433: Jika mushalli tahu bahwa salah satu shaf shalat yang berada di depan adalah batal, maka ia tidak dapat bermakmum di dalam shaf-shaf yang berada pada urutan berikutnya. Dan jika ia tidak tahu apakah shalat mereka (yang berada dalam shaf tersebut) adalah sah atau tidak, maka ia dapat menjadi makmum.

Masalah 1434: Jika makmum tahu bahwa shalat imam adalah batal, seperti ia tahu bahwa imam tidak memiliki wudhu, maka ia tidak boleh bermakmum kepadanya meskipun imam sendiri tidak menyadari hal itu.

Masalah 1435: Jika setelah shalat usai makmum baru menyadari bahwa imam bukanlah orang yang adil, kafir, atau—karena satu dan lain hal—shalatnya adalah batal, seperti ia mengerjakan shalat tanpa waudhu, maka shalat jamaah makmum itu adalah sah.

Masalah 1436: Jika seorang makmum ragu apakah ia telah berniat menjadi makmum atau tidak, dalam hal ini apabila ia sedang mengerjakan kewajiban seorang makmum, seperti ia sedang mendengarkan bacaan al-Fatihah dan surah imam, maka ia dapat menyempurnakan shalatnya secara berjamaah, dan apabila ia sedang mengerjakan sebuah kewajiban yang di samping sebagai tugas makmum juga merupakan tugas imam, seperti ia berada dalam kondisi rukuk atau sujud, maka ia harus menyempurnakan shalat dengan niat furâdâ.

Masalah 1437: Di pertengahan shalat seorang makmum dapat meniatkan shalat secara furâdâ (mengerjakan shalat sendirian dengan berpisah dari imam—pen.).

Masalah 1438: Jika makmum meniatkan shalat secara furâdâ setelah imam usai membaca al-Fatihah dan surah, maka tidak wajib ia membaca al-Fatihah dan surah lagi. Akan tetapi, jika ia meniatkan furâdâ sebelum bacaan al-Fatihah dan surah imam itu usai atau setelah berniat menjadi makmum ia langsung berniat bahwa setelah bacaan al-Fatihah dan surah imam usai ia akan melanjutkan shalat secara furâdâ, maka berdasarkan ihtiyâth wajib ia harus membaca al-Fatihah dan surah dari awal.

Masalah 1439: Jika di pertengahan shalat makmum berniat untuk melanjutkan shalat secara furâdâ, maka tidak boleh—berdasarkan ihtiyâth wajib— ia berniat mengerjakan shalat secara berjamaah (baca: menjadi makmum) lagi, meskipun hal itu ia lakukan langsung setelah berniat furâdâ. Akan tetapi, jika ia ragu apakah akan berniat furâdâ atau tidak dan setelah itu ia mengambil keputusan untuk melanjutkan shalatnya secara berjamaah, maka shalatnya adalah sah.

Masalah 1440: Jika ia ragu apakah sudah berniat furâdâ atau belum, maka ia harus menetapkan belum berniat furâdâ.

Masalah 1441: Jika makmum baru mengikuti shalat jamaah ketika imam sedang dalam kondisi rukuk dan ia sempat melakukan rukuk bersamanya, meskipun bacaan zikir rukuk imam sudah usai, maka shalatnya secara berjamaah adalah sah dan dihitung satu rakaat. Adapun jika ia sudah membungkuk sesuai dengan kadar yang wajib dalam rukuk dan tidak sempat melakukan rukuk bersama imam, maka niat jamaahnya adalah batal dan shalatnya adalah sah secara furâdâ. Atas dasar ini, ia harus menjadikan rukuk tersebut sebagai rukuk rakaat pertama dan melanjutkan shalatnya, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia mengulangi shalatnya.

Masalah 1442: Jika ia baru mengikuti shalat jamaah ketika imam sedang dalam kondisi rukuk dan ia sudah membungkuk sesuai dengan kadar yang wajib dalam rukuk, lalu ia ragu apakah ia sempat melakukan rukuk bersama imam atau tidak, maka hukumnya seperti hukum masalah di atas.

Masalah 1443: Jika ia baru mengikuti shalat jamaah ketika imam sedang dalam kondisi rukuk dan sebelum membungkuk sesuai dengan kadar wajib dalam rukuk, imam sudah bangun dari rukuk, maka ia dapat mengerjakan shalat secara furâdâ atau menunggu sampai imam bangun kembali untuk mengerjakan rakaat berikutnya, (lalu ia mengikutinya) dan menghitung rakaat (yang dikerjakan bersama imam) tersebut sebagai rakaat pertama. Akan tetapi, jika bangunnya imam (untuk rakaat selanjutnya itu) memakan waktu yang sangat panjang sehingga ia (dengan kondisi menunggu itu) tidak dianggap sedang mengerjakan shalat secara berjamaah, maka ia harus meniatkan shalat secara furâdâ.

Masalah 1444: Jika seseorang mengikuti shalat jamaah dari permulaan atau di pertengahan bacaan al-Fatihah dan surah imam, dan sebelum ia mengerjakan rukuk, imam sudah bangun dari rukuk, maka shalatnya adalah sah secara berjamaah. Dengan demikian, ia harus mengerjakan rukuk dan mengejar imam.

Masalah 1445: Jika seseorang baru sampai ketika imam sedang membaca tasyahud shalat yang terakhir, dalam hal ini apabila ia ingin memiliki pahala shalat berjamaah, maka setelah berniat dan membaca Takbiratul Ihram, ia harus duduk dan membaca tasyahud bersama imam tanpa membaca salam, serta menunggu hingga imam membaca salam. Setelah itu, ia berdiri dan membaca al-Fatihah dan surah tanpa perlu berniat dan membaca Takbiratul Ihram lagi. Dan ia menghitung rakaat tersebut sebagai rakaat pertama shalatnya.

Masalah 1446: Makmum tidak boleh berdiri lebih maju dari imam. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, ia harus berdiri lebih ke belakang darinya. Seandainya badannya lebih tinggi dari imam dan ketika rukuk atau sujud ia lebih ke depan darinya, maka hal itu tidak ada masalah asalkan ia berdiri lebih ke belakang dari imam.

Masalah 1447: Berdasarkan ihtiyâth wajib, jika makmum adalah satu orang pria, maka ia harus berdiri di samping kanan imam; jika makmum adalah satu orang wanita, maka ia harus berdiri di samping kanan imam sedemikian rupa sekiranya tempat sujudnya sejajar dengan lutut atau telapak kaki imam; jika makmum adalah satu orang pria dan satu orang wanita atau satu orang pria dan beberapa orang wanita, maka makmum pria harus berdiri di samping kanan imam dan selebihnya berdiri di belakang imam; dan jika makmum adalah beberapa orang pria dan beberapa orang wanita, maka makmum pria harus berdiri di belakang imam dan makmum wanita harus berdiri di belakang makmum pria.

Masalah 1448: Di dalam shalat jamaah, antara imam dan makmum tidak boleh terdapat pemisah, seperti tabir dan yang semisalnya yang menyebabkan setiap benda yang terdapat di belakangnya tidak terlihat. Begitu juga antara satu makmum dan makmum lainnya yang berfungsi sebagai penyambung (antara shaf-shaf shalat) dengan imam. Akan tetapi, jika makmum adalah wanita dan imam adalah pria, maka tidak ada masalah antara mereka terdapat penghalang seperti tabir dan yang semisalnya itu. Dan juga tidak ada masalah jika terdapat pemisah tabir dan yang semisalnya antara makmum wanita dan makmum pria yang dengan perantara makmum pria itu (shaf) makmum wanita bersambung dengan imam.

Masalah 1449: Jika tabir atau semisalnya yang menyebabkan setiap benda yang berada di belakangnya tak terlihat memisahkan antara makmum dan imam atau antara makmum dan makmum lain yang menjadi penyambung (shaf)nya dengan imam setelah shalat (jamaah) dimulai, maka shalatnya menjadi shalat furâdâ dan ia harus menyempurnakan shalatnya sesuai dengan tugas orang yang mengerjakan shalatnya secara furâdâ.

Masalah 1450: Berdasarkan ihtiyâth wajib, antara tempat sujud makmum dan tempat imam berdiri tidak boleh berjarak lebih dari satu langkah normal. Begitu juga jika (shaf)nya menyambung dengan imam melalui perantara makmum lain yang berdiri di depannya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib jarak antara ia dan makmum tersebut juga tidak boleh lebih dari satu langkah normal. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, antara tempat sujud makmum dan tempat makmum yang berada depannya berdiri hendaknya tidak memiliki jarak sama sekali.

Masalah 1451: Jika (shaf) makmum menyambung dengan imam melalui perantara makmum lain yang berada di sisi kanan atau kirinya dan tidak menyambung dengannya melalui arah depan, dalam hal ini apabila tidak terdapat jarak lebih dari satu langkah normal (antara ia dan makmum tersebut), maka shalatnya adalah sah.

Masalah 1452: Jika di pertengahan shalat terdapat pemisah jarak lebih dari satu langkah antara imam dan makmum atau antara makmum dan makmum lain yang menjadi perantara penyambung shaf dengan imam, maka shalatnya menjadi shalat furâdâ dan sah.

Masalah 1453: Jika shalat seluruh makmum yang berada di shaf depan sudah usai atau mereka meniatkan shalat furâdâ, dalam hal ini apabila jarak (antara para makmum dengan imam) tidak lebih dari satu langkah normal, maka shalat shaf berikutnya adalah sah secara berjamaah, dan apabila jarak itu adalah lebih dari satu langkah normal, maka shalat mereka menjadi shalat furâdâ dan mereka harus menyempurnakan shalat sesuai dengan tugas shalat furâdâ.

Masalah 1454: Jika seseorang menjadi makmum pada rakaat kedua, maka ia juga membaca qunut dan tasyahud bersama imam, dan berdasarkan ihtiyâth wajib, ketika membaca tasyahud ia harus meletakkan jari-jemari tangan dan telapak kaki bagian depannya di atas tanah dan mengangkat kedua lututnya. Setelah membaca tasyahud, ia harus berdiri bersama imam dan membaca al-Fatihah dan surah. Jika ia tidak memiliki waktu untuk membaca surah, maka ia harus menyempurnakan bacaan al-Fatihah saja dan mengejar imam ketika ia rukuk atau sujud, atau ia dapat meniatkan shalat furâdâ dan shalatnya adalah sah.

Masalah 1455: Jika ia mengikuti imam pada saat ia berada dalam rakaat kedua untuk shalat yang berjumlah empat rakaat, maka pada rakaat kedua shalatnya di mana imam sudah memasuki rakaat ketiga ia harus duduk setelah melakukan dua kali sujud seraya membaca tasyahud sekadar yang wajib dan bangun (untuk mengerjakan rakaat ketiga). Jika ia tidak memiliki waktu untuk membaca empat tasbih sebanyak tiga kali, maka cukup ia membaca sekali saja dan mengejar imam ketika ia rukuk atau sujud.

Masalah 1456: Jika imam berada dalam rakaat ketiga atau keempat dan makmum tahu bahwa apabila ia bermakmum (pada saat itu juga) dan membaca al-Fatihah, ia tidak akan dapat melakukan rukuk bersama imam, maka berdasarkan ihtiyâth wajib ia harus bersabar menunggu hingga imam melakukan rukuk dan pada waktu itu ia mulai bermakmum.

Masalah 1457: Jika ia bermakmum pada saat imam berada dalam rakaat ketiga atau keempat, maka ia harus membaca al-Fatihah dan surah, dan jika ia tidak memiliki waktu untuk membaca surah, maka ia harus menyelesaikan bacaan al-Fatihah saja dan mengejar imam pada saat ia rukuk. Akan tetapi, jika ia dapat mengejar imam pada saat ia sedang mengerjakan sujud, maka yang lebih baik—berdasarkan ihtiyâth mustahab—adalah hendaknya ia mengulangi shalatnya.

Masalah 1458: Mushalli yang yakin, jika ia membaca surah atau qunut akan dapat mengejar imam ketika ia sedang mengerjakan rukuk, dalam hal ini apabila ia membaca surah atau qunut dan tidak dapat mengejar imam pada waktu ia rukuk, maka shalatnya adalah sah.

Masalah 1459: Seseorang yang hatinya mantap bahwa jika ia memulai membaca surah atau menyempurnakan bacaan surah (yang sudah dimulainya) akan dapat mengejar imam (ketika ia sedang mengerjakan) rukuk, maka ia harus memulai membaca surah atau menyempurnakannya apabila ia sudah memulainya. Akan tetapi, jika ia akan terlambat untuk dapat mengejar imam ketika ia rukuk, maka tidak wajib ia membaca surah atau tidak wajib menyempurnakannya apabila ia sudah memulainya.

Masalah 1460: Jika imam dalam kondisi berdiri dan makmum tidak tahu ia sedang berada dalam rakaat yang ke berapa, maka ia dapat mulai bermakmum. Akan tetapi, ia harus membaca al-Fatihah dan surah dengan niat qurbah, (bukan dengan niat memang wajib membacanya dalam kondisi itu—pen.). Seandainya ia tahu setelah itu bahwa saat itu imam berada dalam rakaat pertama atau kedua, maka shalatnya adalah sah.

Masalah 1461: Jika ia tidak membaca al-Fatihah dan surah karena menyangka bahwa imam masih berada dalam rakaat pertama atau kedua dan setelah mengerjakan rukuk ia baru tahu bahwa pada saat itu imam berada dalam rakaat ketiga atau keempat, maka shalatnya adalah sah. Akan tetapi, jika ia baru tahu sebelum mengerjakan rukuk, maka ia harus membaca al-Fatihah dan surah. Dan jika ia tidak memiliki waktu (untuk itu), maka cukup ia membaca al-Fatihah, lalu mengejar imam ketika ia sedang mengerjakan rukuk.

Masalah 1462: Jika ia membaca al-Fatihah dan surah karena menyangka imam berada dalam rakaat ketiga atau keempat dan sebelum rukuk atau setelahnya ia baru tahu bahwa imam masih berada dalam rakaat pertama atau kedua, maka shalatnya adalah sah. Dan jika ia tahu hal itu ketika sedang membaca al-Fatihah dan surah, maka tidak wajib ia menyempurnakan bacaannya.

Masalah 1463: Jika shalat berjamaah didirikan ketika ia sedang mengerjakan shalat sunah, dalam hal ini apabila ia tidak memiliki kemantapan hati akan dapat mengejar shalat secara berjamaah jika ia menyempurnakan shalat sunahnya itu, maka sunah baginya untuk memutus shalat sunah tersebut dan mengerjakan shalat jamaah. Bahkan, apabila hatinya tidak mantap akan dapat mengejar rakaat pertama, disunahkan baginya untuk melakukan hal yang sama.

Masalah 1464: Jika shalat jamaah didirikan ketika ia sedang mengerjakan shalat yang berjumlah tiga atau empat rakaat, dalam hal ini apabila ia belum mengerjakan rukuk rakaat ketiga dan ia juga tidak memiliki kemantapan hati akan dapat mengejar shalat jamaah itu jika ia menyempurnakan shalatnya, maka sunah baginya untuk menyempurnakan shalat tersebut dalam dua rakaat dengan niat shalat sunah, lalu mengejar shalat jamaah (yang sedang didirikan itu).

Masalah 1465: Jika shalat imam sudah usai, sementara makmum masih sibuk membaca tasyahud atau salam yang pertama, maka tidak wajib ia berniat furâdâ.

Masalah 1466: Makmum yang tertinggal dari shalat imam sebanyak satu rakaat, ketika imam sedang membaca tasyahud untuk rakaat terakhir, ia dapat berniat furâdâ, lalu bangun dan menyempurnakan shalatnya atau meletakkan jari-jemari tangan dan bagian depan telapak kakinya di atas tanah dan mengangkat kedua lututnya seraya bersabar menunggu imam hingga ia mengucapkan salam, dan setelah itu ia bangun (untuk menyempurnakan shalatnya).