| 
PASAL XXIIISHALAT JUMATPada masa kegaiban 
Imam Zaman as, shalat Jumat adalah wajib secara takhyîrî. Artinya, 
mukallaf dapa melakukan shalat Jumat sebagai ganti dari shalat Zhuhur. Akan 
tetapi, shalat Jumat adalah lebih utama dan shalat Zhuhur adalah lebih ahwath 
(lebih mendekati kehati-hatian). Dan yang lebih ahwath lagi adalah ia 
mengerjakan keduanya.
 Seseorang yang telah 
mengerjakan shalat Jumat, tidak wajib ia mengerjakan shalat Zhuhur. Akan tetapi, 
berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya ia juga mengerjakan shalat 
Zhuhur. Syarat-syarat Shalat Jumat
Masalah 1531: Shalat Jumat hanya 
dapat (baca: sah) didirikan oleh orang-orang lelaki. Akan tetapi, kaum wanita 
juga dapat mengikutinya. 
Masalah 1532: Shalat Jumat harus 
dilaksanakan secara berjamaah dan tidak dapat didirikan secara furâdâ. 
Masalah 1533: Seluruh syarat yang 
harus diperhatikan dalam shalat jamaah juga harus dipenuhi dalam shalat Jumat, 
seperti tidak adanya penghalang (antara imam dan makmum), tempat imam tidak 
boleh lebih tinggi (dari tempat makmum), tidak boleh terdapat jarak pemisah yang 
melebihi batas (antara imam dan makmum), dan lain sebagainya. 
Masalah 1534: Seluruh syarat yang 
harus dipenuhi oleh seorang imam shalat jamaah harus juga dimiliki oleh seorang 
imam shalat Jumat, seperti berakal, bermazhab Syi‘ah Imamiah, anak halal, dan 
adil. Akan tetapi, tidak boleh anak kecil (baca: belum baligh) dan seorang 
wanita menjadi imam shalat Jumat. 
Masalah 1535: Jarak minimal yang 
harus diperhatikan antara dua shalat Jumat adalah 1 farsakh (5.625 km). 
Masalah 1536: Jumlah minimal 
peserta shalat Jumat adalah lima orang dan satu di antara mereka bertindak 
sebagai imam. Dengan ini, shalat Jumat tidak wajib dan tidak dapat didirikan 
dengan peserta kurang dari lima orang. Jika peserta shalat Jumat berjumlah tujuh 
orang atau lebih, maka keutamaan shalat Jumat akan bertambah banyak. Lima orang 
tersebut harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: 
a. Lelaki. 
b. Orang merdeka, (bukan budak). 
c. Bukan musafir yang shalatnya wajib diqashar. 
d. Bukan orang sakit dan orang tua. 
e. Jarak antara ia (tinggal) dan tempat pelaksanaan shalat Jumat 
harus kurang dari 2 farsakh. 
Mereka yang tidak memiliki kelima syarat tersebut tidak wajib 
melaksanakan shalat Jumat, meskipun shalat Jumat adalah wajib tai‘yînî (wajib 
yang tidak dapat dipilih, kebalikan wajib takhyîrî). Akan tetapi, jika 
mereka mengikuti shalat Jumat yang sedang didirikan, maka shalat Jumat mereka 
adalah sah dan dapat mencukupi shalat Zhuhur. 
Masalah 1537: Seorang musafir 
dapat mengikuti shalat Jumat, dan dengan itu, shalat Zhuhur akan gugur darinya. 
Akan tetapi, para musafir—secara independen tanpa keikutsertaan orang-orang yang 
mukim—tidak dapat mendirikan shalat Jumat. Dengan demikian, shalat Zhuhur tetap 
wajib bagi mereka, (meskipun mereka telah mendirikan shalat Jumat). Begitu juga, 
musafir tidak dapat menjadi penyempurna jumlah minimal (lima orang) yang 
diperlukan (dalam ke-sah-an shalat Jumat). Akan tetapi, jika mereka berniat 
ingin menetap selama sepuluh hari atau lebih, maka mereka dapat mendirikan 
shalat Jumat. 
Masalah 1538: Kaum wanita dapat 
mengikuti pelaksanaan shalat Jumat dan shalat mereka adalah sah, serta mencukupi 
dari shalat Zhuhur. Akan tetapi, secara independen (tanpa keikutsertaan 
orang-orang laki) mereka tidak dapat mendirikan shalat Jumat, sebagaimana juga 
mereka tidak dapat menjadi penyempurna jumlah minimal (lima orang) yang 
diperlukan (dalam ke-sah-an shalat Jumat), karena shalat Jumat hanya dapat 
terbentuk dengan keikutsertaan orang-orang laki. 
Masalah 1539: Orang banci yang 
statusnya tidak pasti; apakah wanita atau pria, dapat mengikuti shalat Jumat. 
Akan tetapi, ia tidak dapat menjadi penyempurna jumlah minimal (lima orang) yang 
diperlukan (dalam ke-sah-an shalat Jumat) atau menjadi imam shalat Jumat. Dengan 
demikian, jika selain dia hanya terdapat empat orang, maka shalat Jumat tidak 
dapat didirikan dan mereka harus mengerjakan shalat Zhuhur. Waktu Pelaksanaan Shalat Jumat
Masalah 1540: Waktu pelaksanaan 
shalat Jumat dimulai dari matahari tergelincir (zawâl), dan berdasarkan
ihtiyâth wajib kita jangan menunda (pelaksanaannya) dari permulaan waktu
zawâl secara ‘urfî. Jika pelaksanaannya tertunda, maka berdasarkan
ihtiyâth wajib kita harus mengerjakan shalat Zhuhur. 
Masalah 1541: Jika imam (shalat 
Jumat) telah memulai khutbah sebelumnya dan ia menyelesaikannya ketika waktu 
zawâl tiba, serta mengerjakan shalat Jumat, maka shalat Jumat itu adalah sah. 
Masalah 1542: Imam shalat Jumat 
tidak boleh memanjangkan khutbah sedemikian rupa sekiranya waktu shalat Jumat 
habis. Dan jika demikian, maka ia harus mengerjakan shalat Zhuhur, karena shalat 
Jumat tidak dapat diqadha di luar waktunya. 
Masalah 1543: Jika di pertengahan 
shalat Jumat waktu shalat habis, dalam hal ini apabila satu rakaatnya telah 
dilaksanakan pada waktunya, maka shalat Jumat itu adalah sah. Akan tetapi, 
berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya kita juga mengerjakan shalat 
Zhuhur setelah shalat Jumat usai. Dan apabila satu rakaatnya tidak terlaksana di 
dalam waktu, maka shalat Jumat itu adalah batal. Akan tetapi, berdasarkan 
ihtiyâth mustahab, hendaknya kita menyempurnakan shalat Jumat tersebut dan 
setelah itu, kita mengerjakan shalat Zhuhur. 
Masalah 1544: Jika kita sengaja 
menunda pelaksanaan shalat Jumat sedemikian rupa sekiranya hanya tersisa waktu 
yang cukup untuk mengerjakan satu rakaat, maka berdasarkan ihtiyâth wajib 
kita harus mengerjakan shalat Zhuhur. 
Masalah 1545: Jika kita yakin 
masih ada waktu yang cukup sehingga kita dapat mengerjakan minimal kewajiban (shalat 
Jumat), yaitu dua kali khutbah dan dua rakaat shalat, maka kita dapat memilih 
antara mengerjakan shalat Jumat dan shalat Zhuhur. Jika kita yakin tidak ada 
waktu yang cukup untuk itu, maka kita harus mengerjakan shalat Zhuhur. Dan jika 
kita ragu (apakah masih ada waktu atau tidak), shalat Jumat pun adalah sah. Akan 
tetapi, jika setelah mengerjakan shalat Jumat terbukti bahwa pada waktu itu 
ternyata tidak ada waktu cukup untuk mengerjakan satu rakaat sekalipun, maka 
kita harus mengerjakan shalat Zhuhur, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab, 
seandainya pun satu rakaat shalat Jumat terlaksana di dalam waktunya ketika itu, 
kita hendaknya mengerjakan shalat Zhuhur juga. 
Masalah 1546: Jika kita mengetahui 
kadar waktu (yang ada), tetapi kita ragu dapatkah dalam kadar waktu tersebut 
kita mengerjakan shalat Jumat atau tidak, maka boleh kita memulai shalat Jumat. 
Dengan demikian, jika waktu itu cukup untuk mengerjakan seluruh (prosesi) shalat 
Jumat, maka shalat Jumat itu adalah sah, dan jika tidak, maka kita harus 
mengerjakan shalat Zhuhur. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, 
dalam kondisi seperti ini—pada dasarnya—kita hendaknya memilih mengerjakan 
shalat Zhuhur. 
Masalah 1547: Jika shalat Jumat 
dimulai dengan jumlah (jamaah) yang sempurna dan di dalam waktu yang luas, 
tetapi seseorang tidak dapat mengikuti rakaat pertama, dalam hal ini apabila ia 
dapat mengikuti rakaat kedua—meskipun rukuknya saja—dan ia bermakmum kepada 
imam, maka shalatnya adalah sah, dan ia mengerjakan rakaat kedua shalatnya 
secara furâdâ. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Jumat
Masalah 1548: Shalat Jumat adalah 
dua rakaat dan tata cara pelaksanaannya adalah seperti tata cara pelaksanaan 
shalat Shubuh. Disunahkan al-Fatihah dan surah dibaca dengan suara keras dan 
setelah al-Fatihah membaca surah al-Jumu‘ah pada rakaat pertama dan surah al-Munafiqun 
pada rakaat kedua. 
Masalah 1549: Shalat Jumat 
memiliki dua kali qunut; qunut pertama sebelum mengerjakan rukuk rakaat pertama 
dan qunut kedua setelah mengerjakan rukuk rakaat kedua. 
Masalah 1550: Shalat Jumat 
memiliki dua kali khutbah. Dua kali khutbah ini—sebagaimana shalat Jumat—adalah 
wajib dan harus dibaca oleh imam shalat Jumat. Tanpa kedua khutbah ini shalat 
Jumat tidak dapat terbentuk. 
Masalah 1551: Imam shalat Jumat 
harus membaca dua khutbah itu sebelum mengerjakan shalat Jumat. Jika ia 
mengerjakan shalat Jumat terlebih dahulu, maka shalat Jumat itu adalah batal dan 
sekiranya masih ada waktu, maka setelah membaca kedua khutbah itu ia harus 
mengulangi shalat Jumat tersebut. Akan tetapi, jika ia tidak mengetahui hukum 
masalah ini atau keliru melakukan demikian, maka tidak wajib ia mengulangi 
membaca dua khutbah, bahkan tidak wajib mengulangi shalat tersebut. 
Masalah 1552: Boleh kedua khutbah 
tersebut dibaca sebelum masuknya waktu shalat Zhuhur sedemikian rupa sekiranya 
pembacaannya akan usai bersamaan dengan masuknya waktu shalat Zhuhur. Akan 
tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya imam membaca kedua 
khutbah tersebut pada waktu shalat Zhuhur telah masuk. 
Masalah 1553: Pada khutbah pertama, 
pujian (hamd) kepada Allah adalah wajib dan setiap kata yang dianggap 
sebagai pujian terhadap-Nya adalah boleh (dibaca). Akan tetapi, berdasarkan 
ihtiyâth mustahab, hendaknya pujian tersebut menggunakan kata “Allah”. 
Berdasarkan ihtiyâth wajib, setelah pujian terhadap Allah itu, imam harus 
memanjatkan puja (tsanâ’) kepada-Nya dan—setelah itu—mengirimkan shalawat 
kepada Rasulullah saw. Wajib ia berpesan takwa kepada orang-orang (yang 
mengikuti shalat Jumat) dan membaca satu surah pendek. Pada khutbah kedua, 
memanjatkan puji dan puja kepada Allah (dengan tata cara yang telah dijelaskan) 
dan mengirimkan shalawat kepada Rasulullah adalah wajib. Berdasarkan ihtiyâth 
wajib, pada khutbah ini ia harus berpesan takwa dan membaca satu surah Al-Qur’an 
yang pendek. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab dan mu’akkad (sangat 
ditekankan), pada khutbah kedua ini hendaknya ia mengirimkan shalawat kepada 
para imam ma‘shum as dan memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman. Yang 
lebih baik adalah hendaknya ia memilih membaca khutbah-khutbah yang diriwayatkan 
dari Amirul Mukminin as atau dari para imam ma‘shum as yang lain. 
Masalah 1554: Selayaknya jika imam 
yang juga bertindak sebagai khotib melontarkan khutbah sesuai dengan situasi dan 
kondisi yang sedang berlaku (balîgh), menggunakan ungkapan-ungkapan yang 
fasih dan mudah dicerna, mengenal seluruh peristiwa yang sedang menimpa muslimin 
di seluruh dunia, khususnya peristiwa yang sedang terjadi di kawasannya, dan 
dapat menentukan kemaslahatan yang dituntut oleh Islam dan muslimin. Ia harus 
seorang pemberani sehingga di jalan Allah ia tidak merasa takut terhadap cercaan 
siapa pun dan tegas dalam menjelaskan kebenaran dan kebatilan sesuai dengan 
tuntutan masa dan situasi yang berlaku di suatu daerah. Ia hendaknya 
mengindahkan hal-hal yang dapat menjadi faktor ucapannya memberikan pengaruh di 
hati masyarakat, seperti senenatiasa mengerjakan shalat di awal waktu dan 
bertindak sesuai dengan tindakan orang-orang salih dan para kekasih Allah, 
menyesuaikan seluruh tindakannya dengan nasihat, janji, dan ancaman yang telah 
dijelaskannya, dan menghindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan kewibawaan 
diri dan ucapannya luntur, meskipun seperti banyak bicara, bercanda, dan 
berbicara tanpa tujuan. Ia harus memperhatikan semua itu karena Allah dan segala 
tujuan (hidup)nya adalah memalingkan diri dari menyembah dunia dan kekuasaan—sebagai 
sumber seluruh dosa—sehingga ucapannya dapat berpengaruh dalam hati masyarakat.
 
Masalah 1555: Selayaknya imam 
shalat Jumat dalam khutbah-khutbahnya mengingatkan seluruh kemaslahatan Islam 
dan dunia muslimin, memberikan informasi kepada masyarakat tentang seluruh 
problematika yang menguntungkan dan membahayakan negara-negara Islam dan 
non-Islam, menjelaskan seluruh kebutuhan muslimin di dalam kehidupan dunia dan 
akhirat, mengingatkan seluruh problematika politik dan ekonomi yang memiliki 
peran penting dalam independensi muslimin, memaparkan metode relasi mereka yang 
benar dengan negara-negara lain, dan memperingatkan mereka terhadap campur 
tangan negara-negara zalim dan imperialis dalam segala urusan muslimin, baik di 
bidang politik maupun ekonomi, di mana hal ini akan mengakibatkan mereka akan 
dijajah dan dieksploitasi. 
Kesimpulannya, shalat Jumat dan kedua khutbahnya—sebagaimana 
ibadah haji dan ibadah-ibadah kolektif lainnya, seperti shalat hari raya Idul 
Fitri, Idul Adha, dan yang lainnya—adalah sebuah front pertahanan Islam yang 
besar. Sayangnya mayoritas muslimin lupa akan tugas-tugas politis mereka dalam 
hal ini, sebagaimana mereka juga lalai terhadap pos-pos penting Islam lainnya. 
Islam adalah sebuah agama politik, dan itu pun dalam segala seginya. Barangsiapa 
sedikit mau merenungkan hukum-hukum pidana, politik, sosial, dan ekonomi Islam, 
niscaya ia akan memahami arti ini. Barangsiapa menyangka bahwa agama terpisahkan 
dari politik, sebenarnya ia adalah seorang bodoh yang tidak mengetahui Islam dan 
juga tidak mengenal politik. 
Masalah 1556: Disunahkan imam 
shalat Jumat mengenakan ‘amâmah dan ridâ’ Yamanî atau ‘Adnî (kain 
panjang yang menutupi seluruh tubuhnya) pada musim dingin dan panas, menghias (baca: 
merapikan) diri, mengenakan pakaiannya yang terbersih, menggunakan wewangian 
sehingga ia nampak berwibawa, berada di atas mimbar sebelum membaca khutbah 
ketika mu’azzin mengumandangkan azan sehingga azannya usai, dan ia memulai 
membaca khutbah, menghadap ke arah jamaah shalat ketika ia naik ke atas mimbar 
dan mengucapkan salam kepada mereka, serta jamaah shalat menghadap kepadanya, 
memegang busur panah, pedang (persenjataan), atau tongkat, dan menghadap ke arah 
jamaah shalat. 
Masalah 1557: Wajib imam shalat 
Jumat sendiri yang membaca khutbah dalam kondisi berdiri. Jika ia tidak mampu 
membaca khutbah dalam kondisi berdiri, maka orang lain yang harus membaca 
khutbah dan sekaligus bertindak sebagai imam shalat Jumat. Dan jika tidak ada 
seorang pun yang dapat membaca khutbah dalam kondisi berdiri, maka kewajiban 
shalat Jumat gugur dan mereka wajib mengerjakan shalat Zhuhur. 
Masalah 1558: Tidak boleh imam 
Jumat membacakan khutbah, khususnya nasihat dan pesan takwa dengan suara pelan. 
Berdasarkan ihtiyâth wajib, ia harus membacakan khutbah dengan suara 
keras sekiranya jumlah minimal (terlaksananya shalat Jumat, yaitu 4 orang) 
mendengarnya. Bahkan, berdasarkan ihtiyâth mustahab, ketika memberikan 
nasihat dan pesan takwa itu hendaknya mengeraskan suaranya sedemikian rupa 
sekiranya seluruh hadirin dapat mendengarkan nasihat-nasihatnya, dan di 
tempat-tempat (pelaksanaan shalat Jumat) yang sangat luas hendaknya ia 
membacakan khutbah dengan menggunakan pengeras suara sehingga seluruh pesan, 
peringatan, dan masalah-masalah penting (yang dilontarkannya) dapat didengar 
oleh seluruh hadirin. 
Masalah 1559: Berdasarkan 
ihtiyâth mustahab, imam—pada saat membacakan khutbah—hendaknya tidak 
berbicara sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan masalah khutbah. Iya, di 
selah-selah waktu antara selesainya kedua khutbah dan shalat Jumat, tidak ada 
larangan ia berbicara. 
Masalah 1560: Wajib bagi imam 
untuk duduk sejenak setelah selesai membacakan khutbah pertama, dan setelah itu 
ia melanjutkan khutbah yang kedua. 
Masalah 1561: Berdasarkan 
ihtiyâth mustahab, hendaknya imam dan para jamaah—pada saat pembacaan 
khutbah berlangsung—berada dalam kondisi suci (yang disyaratkan dalam 
mengerjakan shalat). 
Masalah 1562: Berdasarkan 
ihtiyâth mustahab, hendaknya para makmum—pada saat pembacaan khutbah 
berlangsung—menghadap ke arah imam dan tidak berpaling darinya melebihi batas 
yang diperbolehkan di dalam shalat untuk berpaling dari Kiblat. 
Masalah 1563: Wajib bagi para 
makmum untuk mendengarkan khutbah-khutbah imam, dan berdasarkan ihtiyâth 
mustahab, hendaknya mereka diam dan menahan diri untuk tidak berbicara, 
karena berbicara pada saat khutbah berlangsung adalah makruh. Bahkan, jika 
pembicaraan mereka itu dapat menyebabkan khutbah tidak terdengar dan manfaatnya 
hilang, maka diam adalah wajib. 
Masalah 1564: Berdasarkan 
ihtiyâth wajib, imam harus membacakan pujian terhadap Allah dan shalawat 
atas Nabi saw dan para imam as dengan bahasa Arab, meskipun dia sendiri dan para 
pendengarnya bukanlah orang Arab. Akan tetapi, dalam menyampaikan nasihat dan 
pesan takwa ia dapat menggunakan bahasa lain. Dan berdasarkan ihtiyâth 
mustahab, hendaknya ia menyampaikan nasihat dan seluruh masalah yang 
berhubungan dengan kepentingan muslimin dengan menggunakan bahasa para 
pendengarnya. Jika mereka berasal dari bahasa yang berbeda-beda, hendaknya ia 
mengulanginya dengan bahasa yang beragam pula. Meskipun demikian, jika jumlah 
para makmum melebihi jumlah yang wajib terpenuhi (4 orang), maka ia dapat 
mencukupkan diri dengan bahasa jumlah minimal tersebut (empat bahasa—pen.). Akan 
tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya ia memberikan nasihat 
kepada mereka semua dengan bahasa mereka masing-masing. 
Masalah 1565: Azan kedua pada hari 
Jumat adalah bid‘ah dan haram. Yaitu, tidak boleh kita mengumandangkan satu azan 
sebelum khutbah dan satu azan lagi setelah khutbah itu usai. Hukum-hukum Shalat Jumat
Masalah 1566: Seseorang yang 
bermakmum kepada seorang imam dalam mengerjakan shalat Jumat, ia juga dapat 
bermakmum kepadanya dalam mengerjakan shalat ‘Ashar. Akan tetapi, jika ia juga 
ingin mengerjakan shalat Zhuhur secara ihtiyâth (hati-hati), caranya 
adalah setelah usai mengerjakan shalat berjamaah (dalam shalat Jumat dan ‘Ashar), 
ia harus mengerjakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar sekali lagi, kecuali jika imam 
juga mengerjakan shalat Zhuhur secara ihtiyâth setelah mengerjakan shalat 
Jumat (sebelum mengerjakan ‘Ashar, lalu mengerjakan shalat ‘Ashar). Dalam hal 
ini, jika makmum juga melakukan demikian, maka tidak wajib ia mengulangi shalat 
‘Ashar. 
Masalah 1567: Jika setelah 
mengerjakan shalat Jumat imam dan makmum ingin mengerjakan shalat Zhuhur secara
ihtiyâth, mereka dapat mengerjakan shalat tersebut secara berjamaah. Akan 
tetapi, orang yang tidak mengikuti shalat Jumat, tidak dapat menjadi makmum 
dalam shalat (Zhuhur tersebut), dan jika ia menjadi makmum, maka shalat itu 
tidak mencukupi dari shalat Zhuhur dan ia harus mengulanginya. 
Masalah 1568: Makmum yang sempat 
melakukan rukuk rakaat pertama bersama imam, jika ia tidak dapat melakukan sujud 
bersama imam dikarenakan banyaknya peserta shalat Jumat atau yang lainnya, dalam 
hal ini apabila setelah imam berdiri untuk melakukan rakaat kedua ia dapat 
melakukan sujud-sujud tersebut sendirian dan mengejarnya sebelum ia melakukan 
rukuk untuk rakaat kedua atau ketika ia sedang melakukan rukuk, maka shalatnya 
adalah sah. Jika tidak demikian, maka ia harus menetap dalam kondisi tersebut 
sehingga imam melakukan sujud untuk rakaat kedua. Pada waktu itu ia harus 
melakukan dua kali sujud bersama imam dengan niat sujud untuk rakaat pertama. 
Kemudian, ia melakukan rakaat kedua dengan niat furâdâ dan shalatnya 
adalah sah. Akan tetapi, jika ia melakukan sujud-sujud tersebut dengan niat 
sujud untuk rakaat kedua atau dengan niat mengikuti imam, maka berdasarkan 
ihtiyâth wajib ia tidak boleh memperhitungkan dua sujud tersebut dan harus 
mengerjakan dua kali sujud lagi dengan niat sujud untuk rakaat pertama, lalu ia 
mengerjakan rakaat kedua. Dan setelah shalatnya usai, ia juga harus mengerjakan 
shalat Zhuhur. 
Masalah 1569: Jika seseorang—dengan 
niat ingin mengejar shalat pada rukuk rakaat kedua—membaca Takbiratul Ihram dan 
melakukan rukuk, akan tetapi ia ragu apakah sempat melakukan rukuk bersama imam 
atau tidak, maka shalat Jumatnya tidak terwujud, dan berdasarkan ihtiyâth 
wajib ia harus menyempurnakan shalat tersebut dengan niat shalat Zhuhur 
secara furâdâ, serta kemudian mengulangi mengerjakan shalat Zhuhur. 
Masalah 1570: Jika para makmum 
enggan bermakmum setelah kedua khutbah usai, sementara imam sudah mulai 
melakukan shalat dan mereka meninggalkannya sendirian, maka shalat Jumat itu 
tidak terlaksana dan batal. (Dalam kondisi demikian), imam dapat meninggalkan 
shalat tersebut dan mengerjakan shalat Zhuhur. Akan tetapi, berdasarkan 
ihtiyâth mustahab, hendaknya ia merubah niatnya ke shalat Zhuhur dan 
mengerjakan shalat Zhuhur lagi setelah shalatnya itu usai. Dan lebih ihtiyâth 
lagi, hendaknya ia menyempurnakan shalat tersebut dengan niat shalat Jumat dan 
kemudian mengerjakan shalat Zhuhur. 
Masalah 1571: Jika shalat Jumat 
terlaksana dengan jumlah peserta yang sempurna (minimal empat orang dengan 
ditambah imam)—meskipun mereka hanya membaca Takbiratul Ihramnya saja, kemudian 
mereka bubar, maka shalat Jumat tersebut adalah batal, baik seluruh makmum atau 
sebagian dari mereka yang bubar dan hanya imam yang masih tinggal maupun 
sebaliknya, dan baik mereka telah mengerjakan satu rakaat penuh maupun kurang 
dari itu. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya makmum 
yang tersisa menyempurnakan shalat Jumat tersebut dan kemudian mengerjakan 
shalat Zhuhur. Adapun jika sebagian pesertanya bubar di akhir-akhir rakaat kedua, 
bahkan jika (mereka bubar) setelah mengerjakan rukuk rakaat kedua sekalipun, 
maka shalat Jumat adalah sah dan berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya 
mereka mengerjakan shalat Zhuhur setelah itu. 
Masalah 1572: Jika jumlah para 
makmum adalah lebih dari batas jumlah yang wajib terpenuhi untuk shalat Jumat (empat 
orang), maka bubarnya sebagian dari mereka tidak dapat membatalkan shalat Jumat 
dengan syarat peserta yang tersisa tidak kurang dari empat orang. 
Masalah 1573: Jika lima orang atau 
lebih telah siap untuk melaksanakan shalat Jumat, akan tetapi di pertengahan 
pembacaan khutbah atau setelahnya dan sebelum shalat Jumat didirikan mereka 
bubar dan tidak kembali lagi sehingga peserta yang tersisa kurang dari lima 
orang, maka kewajiban mereka yang masih tinggal adalah shalat Zhuhur. 
Masalah 1574: Jika sebelum membaca 
kadar minimal yang wajib dalam khutbah yang dengan itu sebuah rangkaian ucapan 
dapat disebut khutbah sekelompok makmum bubar (baca: pergi) dan hanya tersisa 
kurang dari empat orang, lalu dalam jangka waktu yang pendek mereka kembali 
sehingga jumlah minimal yang wajib terpenuhi (lima orang) telah sempurna, dalam 
hal ini apabila imam diam selama waktu (mereka bubar) itu, maka setelah mereka 
kembali lagi ia harus meneruskan khutbahnya dimulai dari mana ia menghentikannya. 
Akan tetapi, apabila ia—dengan berkurangnya jumlah para makmum dari kadar 
minimal yang wajib terpenuhi—meneruskan bagian-bagian khutbah yang wajib dan 
meraka yang telah bubar itu tidak mendengar suaranya, maka setelah mereka 
kembali dan jumlah minimal itu sempurna ia harus mengulangi bagian-bagian wajib 
yang telah dibacanya pada waktu mereka bubar tersebut. Dan jika tenggang waktu 
kembalinya mereka itu sangat panjang sekiranya—menurut pandangan ‘urf—kesatuan 
khutbah sirna, maka imam harus mengulangi khutbah dari awal. Begitu juga jika 
dengan masuknya makmum baru jumlah minimal yang harus terpenuhi (lima orang) 
sempurna, maka pengulangan khutbah adalah lazim. 
Masalah 1575: Jika para makmum 
bercerai-berai setelah atau di pertengahan pembacaan khutbah sehingga jumlah 
mereka kurang dari lima orang dan mereka kembali lagi sehingga jumlah  minimal (ke-sah-an 
shalat Jumat) sempurna, dalam hal ini apabila kadar minimal sebuah rangkaian 
ucapan bisa disebut khutbah sudah terwujud, maka pengulangan khutbah tidak wajib, 
meskipun masa kebercerai-beraian mereka itu sangat panjang. Dan apabila kadar 
minimal khutbah tersebut belum terwujud, (maka dalam hal ini terdapat dua 
permasalahan): 
a. Jika penyebab kebercerai-beraian mereka adalah karena mereka 
berpaling dari shalat Jumat (dan tidak ingin lagi mengerjakannya), maka 
berdasarkan ihtiyâth wajib imam harus mengulangi khutbah dari awal 
setelah mereka kembali, meskipun masa kebercerai-beraian mereka hanya sebentar. 
b. Jika penyebab kebercerai-beraian mereka adalah suatu hal 
lain, seperti hujan dan selainnya, dalam hal ini apabila masa kebercerai-berain 
mereka itu sangat panjang sehingga kesatuan khutbah—secara ‘urfî—sirna, 
maka wajib baginya untuk mengulangi khutbah dari awal lagi, dan apabila tidak 
demikian, maka ia meneruskan khutbahnya, dan khutbah itu adalah sah. 
Masalah 1576: Jika satu shalat 
Jumat sedang didirikan di suatu tempat, maka shalat Jumat lain tidak boleh 
didirikan dalam jarak yang kurang dari 1 farsakh (± 5.625 km) dari shalat 
Jumat pertama tersebut. Dengan demikian, jika dua shalat Jumat didirikan dengan 
jarak tepat 1 farsakh, maka kedua shalat Jumat tersebut adalah sah. Perlu 
diperhatikan bahwa tolok ukur dalam (menentukan) jarak (antara kedua shalat 
Jumat tersebut) adalah tempat pelaksanaannya, bukan kota yang shalat Jumat 
didirikan di situ. Atas dasar ini, di dalam kota-kota besar yang luasnya 
mencapai beberapa farsakh dapat didirikan beberapa shalat Jumat. 
Masalah 1577: Berdasarkan 
ihtiyâth mustahab, sebelum mendirikan shalat Jumat (hendaknya kita meneliti 
terlebih dahulu sehingga) kita yakin tidak ada shalat Jumat lain yang sudah 
didirikan sebelumnya atau bersamaan dengan shalat Jumat yang ingin kita dirikan 
di dalam batas yang telah ditentukan tersebut. 
Masalah 1578: Jika dua shalat 
Jumat didirikan bersamaan dalam jarak kurang dari yang telah ditetapkan (1 
farsakh), maka kedua shalat itu adalah batal. Akan tetapi, jika salah 
satunya telah dimulai terlebih dahulu, meskipun hanya membaca Takbiratul Ihram 
saja, maka shalat Jumat yang kedua adalah batal, baik para peserta shalat itu 
tahu bahwa sebelum atau sesudah mereka terdapat shalat Jumat lain yang sudah 
didirikan atau akan didirikan dalam jarak kurang dari yang telah ditetapkan 
maupun mereka tidak tahu. Tolok ukur ke-sah-an adalah keterlebihdahuluan dalam 
mengerjakan shalat, bukan dalam membaca khutbah. Atas dasar ini, jika salah 
satunya membaca khutbah terlebih dahulu dan kelompok yang kedua mengerjakan 
shalat Jumat terlebih dahulu, maka shalat Jumat yang kedua adalah sah dan shalat 
Jumat yang pertama adalah batal. 
Masalah 1579: Jika kita yakin 
bahwa dalam jarak kurang dari yang telah ditetapkan (1 farsakh) ada 
shalat Jumat lain yang didirikan, tetapi kita ragu apakah shalat Jumat itu telah 
didirikan sebelumnya atau tidak, atau kita ragu apakah shalat Jumat itu 
didirikan bersamaan dengan shalat Jumat kita atau tidak, maka dalam kedua 
kondisi itu kita dapat mendirikan shalat Jumat. Begitu juga (hukumnya) jika kita 
tidak memiliki kemantapan hati berkenaan dengan adanya pelaksanaan shalat Jumat 
lain atau tidak. 
Masalah 1580: Jika setelah 
pelaksanaan shalat Jumat usai para jamaah baru tahu ada shalat Jumat lain yang 
didirikan dalam jarak kurang dari yang telah ditetapkan dan kedua jamaah shalat 
Jumat itu memberikan kemungkinan bahwa masing-masing telah mengerjakan shalat 
Jumat terlebih dahulu daripada yang lainnya, maka tidak wajib bagi masing-masing 
kedua jamaah untuk mengulangi shalat Jumat atau pun shalat Zhuhur, meskipun 
mengulangi(nya) sangat sesuai dengan ihtiyâth mustahab. Akan tetapi, jika 
jamaah ketiga ingin mendirikan shalat Jumat lain dalam batas jarak (teritorial) 
tersebut, maka mereka harus meyakinkan diri (terlebih dahulu) bahwa kedua shalat 
tersebut adalah batal, dan jika mereka masih memberikan kemungkinan bahwa salah 
satunya adalah sah, maka mereka tidak dapat mendirikan shalat Jumat lain. 
Masalah 1581: Pada masa kegaiban 
Imam Zaman as di mana shalat Jumat bukanlah sebuah kewajiban ta‘yînî, 
mengadakan transaksi jual-beli dan transaksi-transaksi yang lain tidaklah haram. 
   [1]
    Tentang syarat-syarat, hal-hal yang dapat mencegah shalat, 
    hal-hal yang dapat membatalkan shalat, dan keraguan dalam shalat, silakan 
    Anda rujuk pembahasan Shalat Jamaah.
	 |