Hal-hal Yang Membatalkan Puasa
Masalah 1632: Ada sepuluh hal yang
dapat membatalkan puasa: (1) makan, (2) minum, (3) senggama, (4) melakukan
masturbasi, (5) berbohong terhadap Allah, Rasulullah, dan para pengganti beliau
as, (6) memasukkan debu yang tebal (baca: kasar) ke dalam tenggorokan, (7)
memasukkan seluruh kepala ke dalam air, (8) berada dalam kondisi jenabah, haidh,
dan nifas hingga azan Shubuh tiba, (9) injeksi dengan menggunakan bahan yang
cair, dan (10) muntah. Hukum semua itu akan dijelaskan pada pembahasan berikut
ini.
1. Makan dan Minum
Masalah 1633: Jika seseorang yang
sedang berpuasa sengaja makan atau minum, maka puasanya adalah batal, baik
makanan dan minuman itu adalah sesuatu yang biasa dimakan dan diminum, seperti
roti dan air maupun tidak biasa, seperti tanah dan air perasan pohon, dan baik
sedikit maupun banyak. Seandainya ia membasahi sehelai benang dengan air
ludahnya, lalu ia memasukkanya kembali ke dalam mulutnya dan menelan air ludah
yang terdapat di benang tersebut sekalipun, maka puasanya adalah batal; begitu
juga air yang terdapat di sikat gigi, kecuali jika air tersebut (bercampur
dengan) air ludah sedemikian rupa sehingga tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah
air yang berasal dari luar mulut, (maka puasanya tidak batal). Begitu juga,
menelan sisa-sisa makanan yang terdapat di selah-selah gigi dapat membatalkan
puasa.
Masalah 1634: Jika orang yang
sedang berpuasa makan atau minum karena lupa, maka puasanya tidak batal.
Masalah 1635: Orang yang sedang
berpuasa harus menghindari penggunaan obat yang biasa digunakan sebagai ganti
dari makanan. Akan tetapi, tidak ada masalah melakukan injeksi obat yang
digunakan untuk mematirasakan sebuah anggota tubuh atau untuk pengobatan.
Masalah 1636: Jika ia tahu bahwa
azan Shubuh sudah tiba ketika ia sedang makan, maka ia harus mengeluarkan sisa
makanan yang masih berada di dalam mulutnya, dan jika ia sengaja menelannya,
maka puasanya adalah batal, serta—sesuai dengan penjelasan yang akan dipaparkan
nanti—ia juga wajib membayar kafarah.
Masalah 1637: Jika orang yang
sedang berpuasa merasa sangat haus sehingga ia khawatir akan meninggal dunia,
maka ia dapat minum air sekadar yang dapat menyelamatkannya dari kematian. Akan
tetapi, puasanya adalah batal. Jika bulan itu adalah bulan Ramadhan, maka dalam
sisa hari itu ia harus menghindari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa
dan mengqadhanya (setelah Ramadhan).
Masalah 1638: Seseorang yang ingin
melakukan puasa, tidak wajib ia menyelah-nyelahi giginya (dengan benang gigi,
misalnya). Akan tetapi, jika ia tahu bahwa sisa makanan yang terdapat di di
selah-selah gigi akan tertelan, dalam hal ini apabila ia tidak
menyelah-nyelahinya, maka puasanya adalah batal, dan tidak berbeda apakah ada
sisa makanan yang tertelan atau tidak.
Masalah 1639: Menelan air ludah—meskipun
yang terkumpul di dalam mulut karena membayangkan rasa kecut dan yang semisalnya—tidak
membatalkan puasa.
Masalah 1640: Tidak ada masalah
menelan air dahak yang berasal dari kepala dan dada selama ia belum masuk ke
dalam rongga mulut. Akan tetapi, jika air dahak itu telah masuk ke dalam rongga
mulut, maka berdasarkan ihtiyâth wajib orang yang berpuasa jangan
menelannya.
Masalah 1641: Mengunyah makanan
untuk anak kecil atau burung dan mencicipi masakan dan semisalnya (dengan tujuan
untuk mengetahui apakah bumbunya sudah pas atau belum) yang biasanya tidak
sampai kepada batas tenggorokan tidak dapat membatalkan puasa, meskipun masakan
itu sampai ke tenggorokan tanpa sengaja. Akan tetapi, jika dari permulaan ia
tahu bahwa kunyahan dan masakan itu akan sampai ke tenggorokan, dalam hal ini
apabila masakan dan kunyahan itu tertelan, maka puasanya adalah batal dan ia
harus mengqadhanya, serta wajib juga baginya untuk membayar kafarah.
Masalah 1642: Orang yang sedang
berpuasa tidak boleh membatalkan puasanya karena tubuh lemah. Akan tetapi, jika
kelemahan tubuhnya itu sampai pada suatu batas yang biasanya tidak dapat ditahan
lagi, maka tidak ada masalah membatalkannya.
2. Senggama
Masalah 1643: Senggama, baik yang
dilakukan dari jalur depan maupun belakang dan baik (dilakukan oleh) anak kecil
maupun orang besar, dapat membatalkan puasa orang yang melakukan senggama, baik
pelaku maupun obyek, meskipun kemaluannya hanya masuk sekadar sampai pada batas
khitan dan air spermanya tidak keluar. Jika kemaluannya masuk kurang dari batas
khitan tersebut dan air sperma tidak keluar, maka maka puasanya tidak batal.
Masalah 1644: Jika seseorang lupa
bahwa ia sedang berpuasa dan melakukan senggama, ia melakukannya dalam kondisi
tidur, atau ia dipaksa untuk melakukannya sekiranya hak untuk memilih tercabut
darinya, maka puasanya tidak batal. Akan tetapi, jika ia sadar dan ingat kembali
di pertengahan senggama (bahwa ia sedang berpuasa) atau ia tidak dipaksa lagi,
maka ia harus segera menghentikan senggama, dan jika tidak, maka puasanya adalah
batal.
Masalah 1645: Jika seseorang ragu
apakah kemaluannya sudah masuk hingga sekadar batas khitan atau belum, maka
puasanya adalah sah. Seseorang yang kemaluannya terputus hingga batas khitan,
jika ia ragu apakah sudah terjadi senggama atau belum, maka puasanya adalah sah.
3. Masturbasi
Masalah 1646: Jika seseorang yang
sedang berpuasa melakukan masturbasi, yaitu melakukan sesuatu terhadap dirinya
sehingga air spermanya keluar, maka puasanya adalah batal. Jika air sperma—di
luar kehendaknya—keluar dari dirinya, maka puasanya tidak batal. Akan tetapi,
jika ia melakukan sesuatu sehingga—di luar kehendaknya—air sperma keluar dari
dirinya, maka puasanya adalah batal.
Masalah 1647: Jika seseorang yang
sedang berpuasa tahu bahwa apabila ia tidur di siang hari, ia akan mengalami
mimpi basah, yaitu air spermanya akan keluar ketika ia tidur karena bermimpi,
maka diperbolehkan ia tidur, dan jika ia tidur dan mengalami mimpi basah, maka
puasanya adalah sah, khususnya jika tidak tidur siang dapat menyebabkan
kesulitan (haraj) baginya.
Masalah 1648: Seseorang yang
sedang berpuasa dan mengalami mimpi basah dapat melakuan kencing dan istibrâ’
sesuai dengan tata cara yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, jika ia
telah melakukan mandi besar dan ia tahu bahwa sisa air sperma yang masih tersisa
di saluran kencingnya akan keluar dengan ia kencing atau melakukan istibrâ’,
maka berdasarkan ihtiyâth wajib tidak boleh ia melakukan istibrâ’.
Jika orang yang sedang berpuasa bangun dari tidurnya ketika air spermanya sedang
keluar, maka tidak wajib ia mencegah keluarnya air sperma tersebut.
Masalah 1649: Seseorang yang
sedang berpuasa dan telah mengalami mimpi basah, jika ia tahu bahwa air sperma
masih tersisa di dalam salurannya dan apabila ia tidak kencing sebelum melakukan
mandi, air sperma itu akan keluar setelah melakukan mandi, maka yang lebih baik
adalah hendaknya ia kecing sebelum melakukan mandi.
Masalah 1650: Jika dengan tujuan
untuk mengeluarkan air sperma ia melakukan sesuatu terhadap dirinya, dalam hal
ini apabila air spermanya tidak keluar, maka puasanya tidak batal.
Masalah 1651: Jika orang yang
sedang berpuasa bermain dan bercanda dengan seseorang tanpa ada tujuan supaya
air spermanya keluar dan air spermanya keluar (secara kebetulan), dalam hal ini
apabila ia memiliki kebiasaan bahwa dengan bermain dan bercanda tersebut air
spermanya selalu keluar, maka puasanya adalah batal, dan apabila ia tidak
memiliki kebiasaan bahwa hanya dengan tindakan-tindakan semacam itu air
spermanya keluar dan secara kebetulan sekarang air sperma itu keluar, maka
puasanya juga batal, kecuali hatinya mantap bahwa air spermanya tidak akan
keluar (hanya dengan tindakan-tindakan semacam itu).
4. Berbohong Terhadap Allah dan Rasul-Nya
Masalah 1652: Jika orang yang
sedang berpuasa sengaja berbohong terhadap Allah, Rasulullah, dan para pengganti
beliau dengan menggunakan ucapan, tulisan, isyarat, dan lain sebagainya, maka
puasanya adalah batal, meskipun (setelah itu) ia langsung mengaku telah
berbohong atau bertobat. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, seluruh nabi dan
para pengganti mereka, serta Sayidah Fathimah az-Zahra’ as juga memiliki hukum
yang sama.
Masalah 1653: Jika ia ingin
menukil sebuah hadis yang tidak diketahuinya apakah hadis itu adalah benar atau
bohong, maka ia jangan menukilnya dengan pasti (bahwa hadis itu berasal dari
mereka). Akan tetapi, seandainya ia menginformasikan hadis tersebut secara pasti
sekalipun, maka puasanya tidak batal, meskipun ia memiliki sangkaan atas
kebohongan atau kemungkinan bohongnya hadis tersebut.
Masalah 1654: Jika ia menukil
suatu firman atau sabda dari Allah dan Rasulullah saw dengan keyakinan bahwa
firman dan sabda itu adalah benar, dan setelah itu ia baru tahu bahwa semua itu
adalah bohong, maka puasanya tidak batal.
Masalah 1655: Jika ia tahu bahwa
berbohong terhadap Allah dan Rasulullah saw dapat membatalkan puasa dan ia
menisbatkan firman dan sabda yang ia ketahui sebagai firman dan sabda bohong (baca:
paslu) kepada mereka, dan setelah itu ia baru tahu bahwa apa yang telah
disampaikannya itu adalah betul, maka puasanya adalah sah.
Masalah 1656: Jika ia sengaja
menisbatkan kebohongan yang telah dibuat oleh orang lain kepada Allah dan
Rasulullah saw, serta para pengganti beliau, maka puasanya adalah batal. Akan
tetapi, jika ia hanya menukil ucapan orang yang telah menciptakan kebohongan
tersebut, maka puasanya tidak batal.
Masalah 1657: Jika seorang yang
sedang berpuasa ditanya apakah Rasulullah saw bersabda pernah bersabda demikian
dan—yang semestinya ia harus menjawab tidak—dengan sengaja ia mengatakan iya
atau—yang semestinya ia harus menjawab iya—dengan sengaja ia mengatakan tidak,
maka puasanya adalah batal.
Masalah 1658: Jika ia mengatakan
sebuah firman Allah atau sabda Rasulullah yang benar, lalu ia mengatakan bahwa
ia telah berbohong, atau di malam hari ia berbuat kebohongan kepada mereka
berdua dan di siang ketika sedang berpuasa ia mengatakan bahwa segala yang telah
dikatakannya tadi malam adalah betul demikian, maka puasanya adalah batal.
5. Memasukkan Debu yang Tebal (Baca: Kasar) ke Dalam
Tenggorokan
Masalah 1659: Memasukkan debu yang
kasar ke dalam tenggorokan dapat membatalkan puasa, baik debu dari sesuatu yang
dapat dimakan, seperti tepung maupun debu dari sesuatu yang tidak dapat dimakan,
seperti tanah.
Masalah 1660: Berdasarkan
ihtiyâth wajib, orang yang sedang berpuasa jangan memasukkan uap air yang
tebal, asap rokok, tembakau, dan yang sejenisnya ke dalam tenggorokannya.
Masalah 1661: Jika ia tidak
berhati-hati sehingga debu, uap air, asap, dan yang sejenisnya masuk ke dalam
tenggorokannya, dalam hal ini apabila (sebelumnya) hatinya mantap bahwa semua
itu tidak akan masuk ke dalam tenggorokannya, maka puasanya adalah sah. Jika ia
lupa sedang berpuasa sehingga tidak berhati-hati atau tanpa sengaja debu dan
yang sejenisnya itu masuk ke dalam tenggorokannya, maka hal itu tidak ada
masalah.
6. Memasukkan Kepala ke Dalam Air
Masalah 1662: Jika orang yang
sedang berpuasa sengaja memasukkan seluruh kepalanya ke dalam air, maka
berdasarkan ihtiyâth wajib puasanya adalah batal, meskipun tubuhnya
berada di luar air. Akan tetapi, jika seluruh tubuhnya berada di dalam air dan
sebagian kepalanya berada di luar air, maka puasanya tidak batal.
Masalah 1663: Jika ia memasukkan
setengah kepalanya sekali dan memasukkan setengah kepalanya yang lain pada kali
berikutnya, maka puasanya tidak batal.
Masalah 1664: Jika ia ragu apakah
seluruh kepalanya telah masuk ke dalam air, maka puasanya adalah sah.
Masalah 1665: Jika seluruh
kepalanya telah masuk ke dalam air, maka puasanya adalah batal, meskipun
sebagian rambutnya masih berada di luar air.
Masalah 1666: Berdasarkan
ihtiyâth wajib, orang yang sedang berpuasa jangan memasukkan kepalanya ke
dalam air yang mudhâf, seperti perasan air bunga. Akan tetapi, tidak ada
masalah (memasukkan kepala) ke dalam suatu yang cair (selain air).
Masalah 1667: Jika orang yang
sedang berpuasa jatuh ke dalam air tanpa sengaja dan seluruh kepalanya masuk ke
dalam air atau ia lupa kalau sedang berpuasa dan memasukkan kepalanya ke dalam
air, maka puasanya tidak batal.
Masalah 1668: Jika dengan terjatuh
ke dalam air, biasanya kepalanya akan masuk ke dalam air, dalam hal ini apabila
ia—dengan menyadari hal tersebut—menjatuhkan dirinya ke dalam air dan kepalanya
masuk ke dalam air, maka berdasarkan ihtiyâth wajib puasanya adalah batal.
Masalah 1669: Jika ia lupa kalau
sedang berpuasa dan memasukkan kepalanya ke dalam air atau orang lain memasukkan
kepalanya ke dalam air secara paksa, dalam hal ini apabila di dalam air ia ingat
sedang berpuasa atau orang tersebut melepaskan tangannya, maka ia harus langsung
mengeluarkan kepalanya (dari dalam air), dan jika tidak mengeluarkannya secara
langsung, maka berdasarkan ihtiyâth wajib puasanya adalah batal.
Masalah 1670: Jika ia lupa kalau
sedang berpuasa dan ia memasukkan kepalanya ke dalam air dengan niat mandi (wajib),
maka puasa dan mandinya adalah sah.
Masalah 1671: Jika ia tahu sedang
berpuasa dan sengaja memasukkan kepalanya ke dalam air dengan niat mandi (wajib),
dalam hal ini apabila puasanya adalah puasa wajib (yang memiliki waktu
pelaksanaan) tertentu, seperti puasa bulan Ramadhan, maka berdasarkan
ihtiyâth wajib ia harus mengulangi mandinya dan berdasarkan ihtiyâth
wajib pula ia harus mengqadha puasa tersebut, dan apabila puasa itu adalah
puasa sunah atau puasa wajib yang tidak memiliki waktu (pelaksanaan) tertentu,
seperti puasa kafarah, maka mandinya adalah sah dan puasanya—berdasarkan
ihtiyâth wajib—adalah batal.
Masalah 1672: Jika dengan tujuan
menyelamatkan orang dari tenggelam ia memasukkan kepalanya ke dalam air, maka
berdasarkan ihtiyâth wajib puasanya adalah batal, meskipun menyelamatkan
orang tersebut adalah wajib baginya.
7. Berada dalam Kondisi Junub, Haidh, dan Nifas hingga Azan
Shubuh Tiba
Masalah 1673: Seseorang yang ingin
melaksanakan puasa Ramadhan atau melaksanakan qadhanya tidak boleh—dengan
sengaja—berada dalam kondisi junub hingga azan Shubuh tiba. Atas dasar ini, jika
ia sengaja tidak melakukan mandi wajib dan ketika waktu sudah sempit pun tidak
bertayamum, maka puasanya adalah batal. Sengaja berada dalam kondisi junub untuk
puasa-puasa yang lain, baik puasa wajib maupun puasa sunah tidak membatalkannya.
Masalah 1674: Jika pada waktu
ingin melakukan puasa Ramadhan atau qadhanya ia tidak melakukan mandi dan
tayamum hingga azan Shubuh tiba, tapi semua itu tidak dilakukan karena unsur
kesengajaan, seperti seseorang menahannya sehingga ia tidak dapat melakukan
mandi dan tayamum, maka puasanya adalah sah.
Masalah 1675: Seseorang yang
sedang junub dan ia ingin melakukan puasa Ramadhan atau qadhanya, jika sengaja
ia tidak melakukan mandi sehingga waktu sempit, maka ia dapat melakukan puasa
dengan melakukan tayamum dan puasanya adalah sah.
Masalah 1676: Jika orang yang
junub pada bulan Ramadhan lupa tidak melakukan mandi dan ia ingat itu setelah
beberapa hari, maka ia harus mengqadha puasa beberapa hari (yang ia lupa tidak
melakukan mandi tersebut). Jika ia ingat setelah beberapa hari (dan tidak tahu
berapa hari dirinya junub), maka ia hanya mengqadha puasa beberapa hari yang ia
yakin telah dijalaninya dalam kondisi junub. Misal, jika ia tidak tahu apakah
dirinya junub selama tiga hari atau empat hari, maka ia harus mengqadha puasa
tiga hari saja.
Masalah 1677: Seseorang yang tidak
memiliki waktu untuk melakukan wudhu dan tayamum di malam hari bulan Ramadhan,
jika ia menjunubkan diri, maka puasanya adalah batal, dan di samping itu, wajib
juga baginya untuk mengqadha dan membayar kafarah. Akan tetapi, jika ia hanya
memiliki waktu untuk bertayamum, dalam hal ini apabila ia menjunubkan diri, maka
puasanya adalah sah dengan menggunakan tayamum, dan ia tidak dihitung berdosa.
Masalah 1678: Seseorang yang junub
di malam bulan Ramadhan dan ia tahu bahwa jika ia tidur, maka ia tidak akan
bangun hingga Shubuh, tidak boleh ia tidur, dan jika ia tidur dan (ternyata)
tidak bangun hingga Shubuh, maka puasanya adalah batal. (Di samping itu), wajib
juga baginya untuk mengqadha dan membayar kafarah.
Masalah 1679: Orang junub yang
tidur di malam bulan Ramadhan dan bangun (di pertengahan malam), apabila ia
memberikan kemungkinan akan bangun kembali untuk melakukan mandi setelah tidur
lagi, maka ia dapat tidur kembali dengan syarat ia—menurut kebiasaannya—tidak
akan terlelap tidur (hingga azan Shubuh).
Masalah 1680: Orang yang junub di
malam bulan Ramadhan dan ia tahu atau memberikan kemungkinan akan bangun tidur
sebelum Shubuh setelah ia tidur (lagi), dalam hal ini jika ia berniat untuk
melakukan mandi setelah bangun tidur dan ia tidur dengan niat tersebut, tetapi
ia terlelap tidur hingga Shubuh, maka puasanya adalah sah.
Masalah 1681: Orang yang junub di
malam bulan Ramadhan dan ia tahu atau memberikan kemungkinan akan bangun sebelum
Shubuh setelah ia tidur, dalam hal ini jika ia lalai bahwa setelah bangun tidur
ia harus mandi, lalu ia tidur dan terlelap tidur hingga azan Shubuh, maka
puasanya adalah sah.
Masalah 1682: Orang yang junub di
malam bulan Ramadhan dan ia tahu atau memberikan kemungkinan akan bangun sebelum
Shubuh setelah ia tidur (lagi), dalam hal ini jika ia tidak ingin melakukan
mandi setelah bangun tidur atau bimbang apakah melakukan mandi atau tidak, lalu
ia tidur dan tidak bangun (hingga azan Shubuh), maka puasanya adalah batal.
Masalah 1683: Orang junub yang
tidur di malam bulan Ramadhan dan bangun (di pertengahan malam), jika ia tahu
atau memberikan kemungkinan akan bangun sebelum azan Shubuh setelah ia tidur
lagi dan ia juga berniat untuk mandi setelah bangun tidur, dalam hal ini apabila
ia tidur lagi dan tidak bangun hingga azan Shubuh, maka ia harus mengqadha puasa
hari itu. Begitu juga (hukumnya) jika ia bangun dari tidur kedua dan tidur lagi
untuk kali ketiga. Dan berdasarkan ihtiyâth wajib, kafarah juga wajib
pada tidur ketiga.
Masalah 1684: Seseorang yang
mengalami mimpi basah dalam sebuah tidur, tidur tersebut tidak dihitung sebagai
tidur pertama. Jika ia bangun dari tidur tersebut dan tidur kembali, maka tidur
(terakhir) ini dihitung sebagai tidur pertama.
Masalah 1685: Jika orang yang
berpuasa mengalami mimpi basah di siang hari, tidak wajib ia langsung melakukan
mandi, meskipun berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya ia langsung
melakukan mandi.
Masalah 1686: Jika seseorang
bangun tidur setelah azan Shubuh pada bulan Ramadhan dan mendapatkan dirinya
telah mengalami mimpi basah, maka puasanya adalah sah, meskipun ia tahu telah
mengalami mimpi basah tersebut sebelum azan Shubuh.
Masalah 1687: Seseorang yang ingin
melakukan qadha puasa Ramadhan, jika ia berada dalam kondisi junub hingga azan
Shubuh tiba, maka puasanya adalah batal, meskipun hal itu terjadi tanpa sengaja.
Masalah 1688: Seseorang yang ingin
melakukan puasa qadha bulan Ramadhan, jika ia bangun dari tidur setelah azan
Shubuh dan mendapatkan dirinya telah mengalami mimpi basah, serta ia tahu bahwa
mimpi itu terjadi sebelum azan Shubuh, dalam hal ini apabila waktu qadha puasa
itu telah sempit, seperti ia memiliki puasa qadha selama lima hari dan hanya
tersisa lima hari hingga bulan Ramadhan, maka berdasarkan ihtiyâth wajib
ia harus melakukan puasa (qadha) pada hari itu dan juga setelah bulan Ramadhan,
dan apabila waktu puasa Ramadhan tidak sempit, maka ia harus berpuasa di hari
yang lain.
Masalah 1689: Jika seseorang
mengalami mimpi basah ketika sedang berpuasa di bulan Ramadhan, ia dapat
melakukan istibrâ’ sebelum melakukan mandi (wajib). Akan tetapi, setelah
melakukan mandi wajib tidak boleh ia melakukan istibrâ’ apabila ia tahu
bahwa (sisa) air spermanya akan keluar (dengan itu).
Masalah 1690: Jika di dalam puasa
sunah atau puasa wajib selain Ramadhan dan qadhanya seseorang berada dalam
kondisi junub hingga azan Shubuh, maka puasanya adalah sah, baik waktu puasa itu
tertentu maupun tidak tertentu.
Masalah 1691: Jika seorang wanita
suci dari darah haidh atau nifas sebelum azan Shubuh dan ia sengaja tidak
melakukan mandi wajib atau tidak bertayamum—apabila tugasnya adalah tayamum,
maka puasa Ramadhan atau qadhanya (yang ingin dilakukannya itu) adalah batal,
dan berdasarkan ihtiyâth mustahab, dalam puasa-puasa wajib dan sunah
lainnya hendaknya hal ini juga diperhatikan.
Masalah 1692: Jika seorang wanita
suci dari darah haidh atau nifas sebelum azan Shubuh dan ia tidak memiliki waktu
untuk melakukan mandi wajib, dalam hal ini apabila ia ingin melakukan puasa
Ramadhan, maka—dengan bertayamum—puasanya adalah sah, dan tidak perlu ia bangun
menunggu hingga azan Shubuh tiba. Dan apabila tidak ada waktu juga untuk
melakukan tayamum, maka dengan kondisi seperti itu sekalipun puasanya adalah sah.
Masalah 1693: Jika seorang wanita
suci dari darah haidh atau nifas setelah azan Shubuh atau di pertengahan hari ia
mengalami darah haidh atau nifas, maka puasanya adalah batal, meskipun hal itu
terjadi mendekati waktu Maghrib.
Masalah 1694: Jika seorang wanita
lupa tidak melakukan mandi wajib haidh atau nifas dan ia baru ingat setelah satu
atau beberapa hari, maka puasanya selama itu adalah sah, dan berdasarkan
ihtiyâth mustahab hendaknya ia mengqadha seluruh puasa itu.
Masalah 1695: Jika seorang wanita
suci dari darah haidh atau nifas dan ia teledor dalam melakukan mandi wajib
sehingga sampai azan Shubuh tiba ia tidak melakukan mandi dan pada sempitnya
waktu ia juga tidak bertayamum, maka puasanya di bulan Ramadhan adalah batal.
Akan tetapi, jika ia tidak teledor, seperti ia menunggu supaya tiba giliran kaum
wanita menggunakan kamar mandi umum, maka puasanya adalah sah, meskipun ia telah
tidur sebanyak tiga kali dan hingga azan Shubuh ia belum melakukan mandi wajib
dengan syarat ia bertayamum (dalam sempitnya waktu).
Masalah 1696: Jika wanita yang
sedang mengalami darah istihâdhah telah melakukan mandi sesuai dengan
penjelasan yang telah dipaparkan pada pembahasan hukum darah istihâdhah,
maka puasanya adalah sah.
Masalah 1697: Seseorang yang telah
menyentuh tubuh mayit dapat berpuasa tanpa ia harus melakukan mandi karena
menyentuh mayit (terlebih dahulu), dan jika ia menyentuh mayit ketika sedang
berpuasa sekalipun, puasanya tidak batal.
8. Injeksi
Masalah 1698: Injeksi dengan
menggunakan bahan-bahan yang cair dapat membatalkan puasa, meskipun hal itu
dilakukan karena terpaksa dan untuk pengobatan. Akan tetapi, tidak ada masalah
menggunakan obat-obatan yang padat, seperti supositori, yang digunakan untuk
tujuan pengobatan. Tetapi, berdasarkan ihtiyâth mustahab, hendaknya
obat-obatan semacam ini juga dihindari. Dan berdasarkan ihtiyâth mustahab
juga, hendaknya orang yang sedang berpuasa menghindari penggunaan obat-obatan
yang kepadatan dan kecairannya diragukan.
9. Muntah Dengan Sengaja
Masalah 1699: Jika orang yang
berpuasa sengaja muntah, maka puasanya adalah batal, meskipun ia terpaksa
melakukan itu karena sakit dan yang sejenisnya. Akan tetapi, jika ia muntah
karena lupa atau di luar kehendaknya, maka hal itu tidak ada masalah.
Masalah 1700: Jika ia memakan
sesuatu di malam hari dan ia tahu—di luar kehendaknya—akan muntah di siang hari
karena makanan itu, maka berdasarkan ihtiyâth wajib puasanya adalah batal.
Masalah 1701: Jika orang yang
berpuasa dapat mencegah diri dari muntah, maka ia harus mencegahnya asalkan hal
itu tidak berbahaya (dharar) dan menyebabkan kesulitan (masyaqqah)
bagi dirinya.
Masalah 1702: Jika lalat masuk ke
dalam tenggorokan orang yang berpuasa, dalam hal ini apabila lalat itu sudah
masuk terlalu ke dalam sehingga menelannya tidak dapat disebut sebagai makan,
maka tidak perlu ia mengeluarkannya dan puasanya adalah sah, dan apabila lalat
itu tidak sampai masuk terlalu ke dalam seperti itu dan mungkin untuk
mengeluarkannya, maka ia harus mengeluarkannya. Dan jika mengeluarkannya itu
menyebabkan ia muntah, maka puasanya adalah batal.
Masalah 1703: Jika ia menelan
sesuatu karena lupa dan sebelum sampai di dalam perut ia ingat kalau sedang
berpuasa, dalam hal ini apabila sesuatu itu telah masuk terlalu ke dalam
sehingga memasukkannya ke dalam perut tidak dianggap sebagai makan, maka tidak
wajib ia mengeluarkannya dan puasanya adalah sah, dan apabila sesuatu itu hanya
sampai di pertengahan atau permulaan tenggorokan, maka ia harus mengeluarkannya, dan mengeluarkan sesuatu yang telah masuk di pertengahan atau permulaan tenggorokan itu tidak dapat dikatakan muntah.
Masalah 1704: Jika orang yang
berpuasa yakin bahwa dengan bersendawa sesuatu akan keluar dari tenggorokannya,
maka tidak boleh ia sengaja bersendawa. Akan tetapi, jika ia tidak yakin, maka
hal itu tidak ada masalah.
Masalah 1705: Jika ia bersendawa
dan sesuatu keluar ke dalam tenggorokan atau mulutnya tanpa sengaja, maka ia
harus mengeluarkannya. Apabila ia masuk kembali tanpa sengaja, maka hal itu
tidak ada masalah, dan berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia juga
mengqadha puasa hari itu.
|