Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

Ringkasan Akidah Syi’ah

Mengapa Kita Membutuhkan Agama?

Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

“Tegakkanlah wajahmu kepada agama ini secara lurus; yaitu fitrah Allah yang Ia menciptakan manusia atas dasar fitrah tersebut.”[1]

Secara terminologis, agama adalah sekumpulan ajaran, undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Rasulullah saw. Ajaran ini meliputi tiga dimensi: (1) Akidah, (2) Akhlak (etika) dan (3) fiqih (sebagai tuntunan amaliah sehari-hari).

Pada kesempatan ini, obyek pembahasan kita adalah akidah, dan sebelum menjelaskan ringkasan akidah ini, kami akan menjelaskan terlebih dahulu urgensi agama dan faedah-faedahnya.

Urgensi Agama

Manusia tidak diciptakan di dunia ini dengan sia-sia dan tanpa tujuan, dan Allah pun Maha Suci dari setiap pekerjaan yang sia-sia. Dari beberapa ayat dan hadis dapat dipahami bahwa tujuan penciptaan manusia adalah menggapai kesempurnaan dan keutamaan spiritual, serta mencapai tingkat dan kedudukan (spiritual) yang tinggi. Menggapai tujuan ideal itu adalah sesuatu yang mustahil kecuali dengan adanya sebuah program yang detail dan ditetapkannya hukum dan ketentuan-ketentuan yang sempurna dan universal. Oleh karena itu, untuk menggapai tujuan itu diperlukan sebuah hukum dan undang-udang yang memperhatikan hak-hak individual dan sosial setiap individu, menjamin kebebasan dan kebahagiaannya, serta menunjukkan jalan kesempurnaan dan cara menggapainya. Dan dapat dipahami bahwa program semacam itu tidak dapat direalisasikan melalui akal manusia yang serba terbatas dan tidak sempurna ini. Karena, manusia tidak mengenal segala bentuk kebutuhannya, seperti mengenal Penciptanya, tidak mengetahui jalan yang dapat (dilalui untuk) sampai kepada semua tujuannya, dan tidak mengenal segala yang menyebabkan kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Bahkan, mayoritas mereka menganggap dirinya bahagia ketika telah berhasil memenuhi semua kebutuhan materialnya dengan  melupakan kebutuhan-kebutuhan spiritual dan ukhrawinya. Malahan tidak sedikit dari umat manusia yang lebih mementingkan kepentingan diri dan keluarganya atas kepentingan orang lain dan mereka tidak enggan untuk melakukan segala cara.

Kesimpulannya, karena kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat sangat tergantung kepada keyakinan yang bersih dan pengaktualisasian seluruh program dan hukum Islam dalam kehidupannya sehari-hari, baik secara individual maupun sosial, dengan demikian urgensi agama dalam sebuah masyarakat tidak dapat diinkari.

Faedah Agama

Agama memiliki dua macam faedah: (1) faedah yang kembali kepada manusia sebagai individu dan (2) faedah yang akan didapatkan olehnya sebagai makhluk sosial.

Faedah agama bagi manusia dari sisi individu sangat banyak sekali. Dan faedah pokok yang dapat diraba dengan jelas dapat disimpulkan dalam tiga ungkapan: ketenangan hati, ketegaran jiwa dan keterjagaan diri.

a. Ketenangan Hati

Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ تَطْمَئِنَّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ

“(Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan tenang hatinya dengan mengingat Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan  mengingat Allah hati dapat tenang.”[2]

Ya! Salah satu manfaat agama untuk setiap individu adalah, bahwa agama itu dapat menjadikannya sebagai orang yang mengenal dan meyakini Allah, hakikat permanen dan tak berubah, asal-usul semua makhluk dan pemberi segala kenikmatan ini. Ia adalah Tuhan yang segala kebaikan, kemuliaan, umur dan kehidupan berada di tangan-Nya. Dengan perantara keyakinan ini ia dapat mencapai ketenangan hati, berbahagia, selalu ridha, menerima dan bersabar. Ya! Orang yang memiliki Allah, ia memiliki segalanya. Orang yang menemukan Allah, ia tidak akan pernah takut mati dan khawatir serta risau terhadap segala peristiwa.

Berbahagialah mereka yang Allah penolongnya, puji dan qul huwallôh selalu di bibirnya.

Berbahagialah mereka yang dalam shalat selalu, surga abadi tempat kembalinya.

b. Ketegaran Jiwa

Agama dapat menjadikan seseorang berjiwa tegar, pemaaf dan menguasai seluruh keinginan hawa nafsunya. Berkenaan dengan keluarga Amirul Mukminin Ali as Allah berfirman:

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَ يَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا * وَ يُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيْنًا وَ يَتِيْمًا وَ أَسِيْرًا * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوْرَا

“Mereka menepati nazar dan takut akan hari yang kesulitannya meliputi segala sesuatu. Mereka memberikan makanan kepada seorang miskin, anak yatim dan seorang tawanan padahal mereka masih menyukainya. Kami memberi kalian makan hanya karena Allah dan kami tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih.”[3]

Ya! Karakteristik di atas hanya dapat ditemukan di dalam sebuah jiwa yang kuat, tegar dan meyakini kekuasaan Ilahi yang tak terbatas. Jiwa yang lemah mustahil memiliki karakter-karakter mulia seperti itu. Hanya jiwa yang tegar dan bergantung kepada Allah-lah yang mampu berkata: “Seandainya kalian meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah mencampakkan tujuanku yang mulia ini.”

c. Keterjagaan Diri

Faedah ketiga agama adalah keterjagaan dan terkontrolnya manusia dari memiliki karakter-karakter merusak. Agama akan menjaga seseorang yang beriman dan meyakini konsep Mabda` (permulaan penciptaan manusia dari Allah) dan Ma’âd (hari akhir) dari segala bentuk perusakan, kelaliman dan melanggar hak-hak orang lain.

Amirul Mukminin Ali as pernah berkata: “Demi Allah! Aku bermalam di atas pelepah pohon berduri dalam keadaan terjaga atau tanganku dirantai dalam keadaan diseret adalah lebih kucintai daripada aku harus berjumpa dengan Allah SWT dan Rasul-Nya pada hari Kiamat sedangkan aku aku telah berbuat zalim terhadap sebagian hamba dan merampas sebagian harta dunia ... Demi Allah! Seandainya aku diberi tujuh negeri dengan segala yang terdapat di bawah langitnya dengan syarat aku harus menzalimi seekor semut dengan merampas sebutir gandum makanannya, aku tidak akan melakukan hal itu.”[4]

Oleh karena itu, agama dapat memfokuskan perhatian seseorang kepada Allah, dan sebagai hasilnya, hatinya akan tenang, jiwanya tegar dan ia akan terjaga dari segala perbuatan yang tidak pantas.

Ya! Jika seseorang dapat memahami agama yang benar dan memanfaatkannya sebagaimana mestinya, ia akan dapat menggapai kebahagiaan yang didamba-dambakannya berkat agama tersebut. Hal itu dikarenakan agama—di samping memiliki faedah spiritual—juga memiliki faedah material. Agama akan menganugrahkan kepercayaan diri, ketegaran jiwa, ketenangan dan kebahagiaan hati kepadanya serta mencegahnya dari segala bentuk kejelekan. Dan sebagai hasilnya, badannya akan selamat, hartanya akan terjaga, kehidupannya tentram, namanya baik dan akibat kelakuannya penuh berkah.

Allah SWT berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَ لَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa beramal salih, baik laki-laki maupun wanita sedangkan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan (orang-orang semacam ini) Kami akan membalas mereka lebih baik baik dari amalan yang pernah mereka lakukan.”[5]

Faedah Sosial Agama

Sekelompok orang yang hidup berdampingan dan selalu merasakan kebersamaan dalam keuntungan dan kerugian, kemuliaan dan kehinaan, dan kehidupan dan kematian, serta memiliki cara berpikir dan semangat mental yang serupa disebut sebagai sebuah masyarakat.

Masyarakat tak ubahnya seperti seorang individu dan memiliki kententuan-ketentuan yang dimiliki oleh seorang individu. Dalam sebuah masyarakat harus terdapat tiga pondasi pokok sehingga ia menjadi sebuah masyarakat yang sehat, tegar, aktif, mampu bertahan dan memanfaatkan kehidupan ini sebagaimana mestinya:

  1. Keserasian, kesatuan dan kesehatian di antara anggota-anggotanya.
  2. Keengganan para anggotanya untuk melakukan tindak kejahatan dan mengganggu sesamanya.
  3. Tolong-menolong dan gotong-royong dalam berbuat kebajikan dan kebenaran.

Agama dan keyakinan kepada adanya konsep Mabda` dan Ma’âd dapat mengaktualisasikan ketiga pondasi pokok tersebut sebaik mungkin.

Faedah pertama agama untuk masyarakat adalah mewujudkan kesatuan spiritual dan persaudaraan di antara anggota-anggotanya. Begitu juga, agama adalah sarana yang paling berpengaruh dalam mewujudkan kedekatan hati dengan sesamanya.

Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

وَ اعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah dan janganlah berpecah-belah, dan ingatlah nikmat Allah ketika kalian saling bermusuhan, lalu Ia menyatukan hati kalian dan dengan nikmat-Nya kalian menjadi saudara.”[6]

Mukminin berbilang tapi iman satu, badan mereka berjumlah tapi jiwa satu.

Jiwa serigala dan anjing terpisah, karena Allah jiwa singa satu.

Faedah kedua agama adalah ia mencegah—atau menimal mengurangi—segala bentuk tindak kejahatan dan rasa ingin mengganggu orang lain dari seluruh anggota masyarakat. Agama dapat membasmi segala bentuk niat jahat yang dapat mendatangkan kesengsaraan bagi individu dan masyarakat. Agama dapat mencegah semua bentuk niat jahat manusia yang selalu bersemayam dalam dirinya dan siap untuk menimbulkan fitnah dan kerusakan. Agama dapat mencegah segala bentuk kezaliman dan pemaksaan terhadap orang lain. Agama dapat mempererat hubungan antar keluarga dan memerintahkan untuk itu.

Dalam al-Quran yang mulia Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسَانِ وَ إِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil, kebajikan dan menyayangi kerabat dan mencegah perbuatan tercela, kemunkaran dan kezaliman. Ia menasehati kalian supaya kalian ingat.”[7]

Faedah ketiga agama bagi kehidupan sosial adalah ia mengajak semua lapisan masyarakat untuk saling tolong-menolong dalam melakukan kebaikan dan mencegah mereka untuk saling bantu-membantu dalam mengerjakan dosa dan kejelekan. Ia melarang para pengikutnya untuk saling bermusuhan dan menciptakan kondisi kehidupan seperti neraka yang memanas, serta memperingatkan mereka akan adanya siksaan yang amat pedih.

Dalam al-Quran Allah berfirman:

وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Saling bantu-membantulah dalam kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan, serta bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Dahsyat siksa-Nya.”[8]

Kesimpulannya, dengan aturan dan undang-undang yang layak untuk membentuk manusia ideal itu agama dapat membentuk sebuah masyarakat yang didominasi oleh kebajikan mutlak. Dan dengan program ideal dan yang mumpuni itu, seluruh anggota masyarakat layak untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Insya-Allah.

Setelah definisi agama dan faedah-faedahnya jelas bagi kita, mari kita kembali ke pokok pembahasan kita. Telah disebutkan sebelum ini bahwa agama memiliki tiga dimensi dan pokok pembahasan kita adalah dimensi akidah. Sebelum memasuki pembahasan, mari kita renungkan pembahasan berikut ini.

Ushuluddin Bukan Masalah Taklid

Telah disebutkan di permulaan pembahasan setiap risalah amaliah bahwa seorang Muslim harus meyakini Ushuluddin (melalui pengetahuannya sendiri). Artinya, ia harus memiliki pengetahuan yang kokoh berkenaan dengan hal itu dan tidak dapat mencukupkan diri dengan ucapan orang lain.

Kesimpulannya, berdasarkan hukum akal dan panduan ayat dan hadis, diwajibkan bagi setiap Muslim untuk mendapatkan keyakinan dan keimanan berkenaan dengan Ushuluddin, dan keteledoran dalam hal ini dapat menyebabkannya masuk ke dalam azab Ilahi yang abadi. Yang perlu kita camkan di sini, yang wajib adalah terwujudnya keyakinan dan keimanan tersebut, (bukan keyakinan yang harus diwujudkan melalui jalan dan cara tertentu). Dengan demikian, jika keyakinan tersebut terwujudkan dari jalan dan cara bagaimana pun, hal itu sudah sukup. Oleh karena itu, masyarakat kita dapat meyakini Ushuluddin mereka dari ucapan dan ajaran para ulama, mubaligh, guru dan bahkan, dari ucapan kedua orang tua mereka. Hal itu dikarenakan mereka mempercayai orang-orang tersebut dan sedikit pun tidak menyangka mereka akan berbohong. Hal ini sudah cukup meskipun mereka tidak dapat membuktikannya dengan argumentasi (yang kuat) dan tidak dapat menjawab kritikan-kritikan yang datang kepada mereka.

Mengapa Ushuluddin Bukan Masalah Taklid?

Alasan mengapa para ulama dan marja’ taklid berasumsi bahwa taklid hanya diperbolehkan dalam hukum-hukum amaliah dan di dalam masalah Ushuluddin taklid tidak disahkan[9], dan bahkan sebagian dari mereka mengklaim ijma’ atas hal itu adalah secara definitif, taklid adalah mengamalkan perintah seorang mujtahid, (menurut sebagian definisi, menerima ucapan orang lain secara ta’abbud, tanpa mengetahui dalinya) meskipun kita tidak mengetahui kenyataan sebenarnya. Padahal, ayat dan hadis-hadis[10] memiliki indikasi, dalam Ushuluddin harus terwujud sebuah keyakinan dan keimanan. Arti iman adalah kemantapan dan keyakinan hati. Dan arti iman ini kontradiksi dengan definisi taklid di atas.

Dengan kata lain, sesuatu yang dapat mendatangkan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat dan menyelematkannya dari cengkeraman siksa dan kesengsaraan adalah keyakinan hati dan keimanan yang kokoh. Sesuatu yang dapat membuatnya bisa mengambil manfaat dari keberadaan agama hanyalah keyakinan hati dan keimanan yang mendalam. Dan kondisi ini sangat berbeda dengan masalah taklid dan tidak dapat diwujudkan hanya dengan ucapan orang lain. Atas dasar ini, taklid—sesuai dengan definisi di atas, mengamalkan ketentuan seorang mujtahid atau menerima ucapan orang lain tanpa dalil dan secara ta’abbudi—tidak berlaku di sini.

Bahkan, layak kita camkan bahwa memperoleh sebuah keyakinan tentang Ushuluddin adalah sebuah keutamaan jiwa. Mengetahui dan meyakini (keberadaan) Allah dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, mengenal para hujjah Ilahi, perantara faidh dan pemimpin yang hak, mencari ilmu dan keyakinan tentang Ma’ad serta kembali kepada Allah adalah salah satu kesempurnaan jiwa manusia dan penyebab ia akan terselamatkan dari jurang kebodohan. Dan berdasarkan hukum akal, mendapatkan semua itu amatlah diharapkan, terpuji dan lazim.

Keyakinan Terhadap Allah Yang Maha Esa

أَفِي اللهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ

“Apakah dalam (keberadaan) Allah, Pencipta seluruh langit dan bumi terdapat keraguan?”[11]

Pengetahun dan pengakuan terhadap keberadaan Allah Ta’ala adalah sesuatu yang gamblang, dan orang-orang kafir sekalipun mengakui hal itu. Allah berfirman:

وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan seluruh langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?’, niscaya mereka akan berkata: ‘Allah.’ Lalu, betapakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)!”[12]

Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw diangkat menjadi nabi, beliau mengajak mereka kepada tauhid (pengesaan Allah), bukan kepada pengakuan terhadap keberadaan Allah.

Sumber pengakuan dan naluri ini adalah fitrah dan kemampuan batiniah yang telah diletakkan oleh Allah di dalam diri setiap manusia. “Fitrah Allah yang Ia telah menciptakan manusia sesuai dengannya.”[13]

Ya! Allah telah meletakkan hakikat ini di dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, di dalam diri dan jiwanya ia merasakan tidak dibiarkan sendirian. Bahkan, ia (merasakan) memiliki hubungan langsung dengan sebuah Mabda` (Sumber Utama) yang selalu memeliharanya, membantunya dan mengawasi segala pemikiran dan kelakuannya, Sumber Utama yang menguasai seluruh dunia dan seluruh makhluk dapat tegak kerana-Nya.

Setiap orang yang mau merenungkan akan meyakini bahwa seluruh alam semesta ini mengikuti irama sebuah keteraturan dan undang-undang. Dan karena keteraturan dan undang-undang inilah ia dapat memanfaatkan seluruh isi alam semesta ini; ia dapat bernafas, minum air, memakan tetumbuhan (yang dapat dimakan), dan menikmati sinar matahari. Begitu juga ia memahami bahwa seluruh alam semesta ini bersumber dari satu kekuatan dan sumber utama dan dijalankan oleh satu kehendak. Sesuai dengan fitrah dan pemahaman ini, ia akan meminta pertolongan-Nya ketika ia memerlukan sebuah hajat, ia akan berlindung kepada-Nya ketika ditimpa sebuah kesulitan, dan ia menjalani kehidupan dengan penuh harapan ketika ia mendapatkan nikmat. Dan kita maklumi bersama bahwa perasaan dan pemahaman semacam ini tidak bersumber dari kebodohan dan kelemahannya. Karena ketika seseorang—dari golongan apa pun ia berasal—melucutkan dirinya dari segala jenis teori ilmiah, keyakinan, dan adat-istiadat, dan mengasumsikan dirinya sebagai sebuah makhluk yang baru lahir pada saat ini sehingga ia belum pernah melihat siapa pun dan belum juga mendengarkan suara apa pun, apakah yang akan ia lihat ketika ia memperhatikan kepada diri dan alam sekitarnya? Ia akan mendapatkan dirinya sebagai makhluk yang memiliki mata, telinga, pemahaman dan kecerdasan yang hidup di sebuah pojok dunia ini. Ketika ia memandang ke setiap penjuru, ia melihat dunia ini tidak berakhir. Ia melihat dunia ini begitu besar dan dirinya sangat kecil. Di bawah kakinya terhampar bumi yang penuh dengan segala keajaiban dan di atas kepalanya terbentang langit yang penuh dengan keanehan. Ia menyaksikan segala aktifitas dan gerakan di dunia ini. Ia melihat matahari dan bulan terbit dan terbenam, malam dan siang datang silih berganti dengan teratur, dan bulan dan musim-musim datang silih berganti dengan teratur dan perhitungan yang jitu. Ketika malam tiba, langit dipenuhi dengan bintang-gumintang yang berkelap-kelip indah. Ia melihat pepohonan yang biji asalnya sangat kecil dan dapat digenggam oleh tangannya. Akan tetapi, setelah beberapa waktu berlalu, biji kecil itu akan berubah menjadi sebuah pohon yang sangat tegar dengan ranting-rantingnya yang panjang, dedaunan dan kuncup bunganya yang berwarna-warni dan buah-buahannya yang beraneka ragam yang memiliki rasa dan bau yang dapat membangkitkan semangat dan selera. Ia melihat hewan yang memiliki bentuk, ukuran dan naluri yang beraneka-ragam. Ia melihat beberapa makhluk lahir ke dunia dan musnah kembali, hidup dan mati kembali. Ia menyaksikan aktifitas kehidupan dari pepohonan hingga manusia. Ia melihat keagungan dan seluruh perincian ciptaan dirinya. Ia menyaksikan sekujur tubuhnya, tulang-belulang dan segala jenis urat badan, keajaiban susunan tulang kepala, mata, telinga, wajah, alat pencernaan, sirkulasi darah, detak jantung, penciptaan tangan, jari-jemari, penyusunan anggota badan, pemasokan makanan dan bahan-bahan penting ke badan, alat reproduksi keuturnan, peran akal, syahwat, kekuatan khayal dan seluruh kekuatan yang tak terlihat di dalam dirinya. Secara tidak sadar ia akan berkata:

Wahai Dzat dari-Mu-lah segala sesuatu terwujud ** tanah yang lemah menjadi kuat karena-Mu.

Segala wujud di bawah naungan ilmu-Mu ** kami tegak karena-Mu dan Engkau tegak karena Dzat-Mu.

Dengan penuh pasrah ia akan berkata:

Wahai Dzat dari wujud-Mu wujud segala sesuatu ** serpihan dari wujud-Mu wujud segala sesuatu.

Tiadakan dan adakan, ada dan tiada ** selain diri dan ciptaan-Mu tiada.

Ya! Dalam kondisi seperti ini, seseorang dapat melihat satu kehendak, satu kehidupan, satu kekuatan, satu ilmu dan satu wujud hakiki yang memiliki semua sifat tersebut dan berperan sebagai ruh alam semesta ini dengan sepenuh hatinya. Ia melihat-Nya menguasai segala sesuatu, mengetahuinya, kuasa atasnya dan mengaturnya. Ia pun melihat dirinya sangat bergantung kepada-Nya meskipun ia tidak dapat memahami substansin-Nya dan tidak mengetahui rahasia penciptaan alam semesta dan dirinya. Akan tetapi, sebatas ini ia dapat memahami bahwa alam semesta ini memiliki seorang pencipta yang bernama Allah, dan ia juga memahami bahwa pemahaman semacam ini juga terdapat di dalam fitrah setiap maujud dan segala sesuatu dengan segala wujudnya sangat bergantung kepadanya, serta segala sesuatu dengan segala wujudnya mengakui keberadaannya. Dan secara naluri, mereka akan tunduk di hadapan keagungan-Nya dan menyembah-Nya.

وَ ِللهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ

“Dan hanya kepada Allah-lah segala yang berada di langit dan bumi sujud.”[14]

إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.”[15]

Ya! Orang yang memiliki pemahaman dan akal, dengan sedikit perhatian, akan memahami bahwa seluruh alam semesta ini dipenuhi oleh kehidupan, perasaan, penglihatan dan pendengaran, dan seluruh makhluk bermunajat kepada Penciptanya melalui bahasa batin mereka, mengakui keberadaan-Nya, bertasbih dan menyucikan-Nya.

يُسَبِّحُ ِللهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِ

“Segala yang terdapat di langit dan bumi bertasbih kepada Allah, Raja Diraja Yang Maha Qudus, Perkasa dan Bijaksana.”[16]

Di sinilah secara naluri seseorang memahami Pencipta dirinya dan selalu mencari—Nya. Dan tidak mungkin ia tidak mencari-Nya. Di sinilah ia akan bangkit untuk menghamba dan menaaati-Nya. Di sinilah meskipun ia adalah orang yang celaka dan zalim, ia pasti merintih di haribaan Allah-nya. Di sinilah kita harus memandang batin seseorang dan tidak hanya menghukumi lahiriahnya saja. Mungkin kita sangat zalim, tapi

Siang hari Musa di haribaan Maha Hak merintih ** malam hari Fir’aun pun menangis.

Di sinilah ia akan mencari seorang utusan-Nya dan ingin mempelajari cara menghamba dan menyembah-Nya darinya demi mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap-Nya dan mencegah diri untuk menentang-Nya.

Imam Shadiq as berkata:

وَجَدْتُ عِلْمَ النَّاسِ كُلِّهِمْ فِيْ أَرْبَعٍ: أَوَّلُهَا أَنْ تَعْرِفَ رَبَّكَ، وَ الثَّانِيْ أَنْ تَعْرِفَ مَا صَنَعَ بِكَ، وَ الثَّالِثُ أَنْ تَعْرِفَ مَا أَرَادَ مِنْكَ، وَ الرَّابِعُ أَنْ تَعْرِفَ مَا يُخْرِجُكَ مِنْ دِيْنِكَ

“Aku menemukan ilmu seluruh manusia dalam empat hal: pertama, hendaknya engkau mengenal Tuhanmu, kedua,

 hendaknya engkau mengenal apa yang telah Ia perbuat denganmu, ketiga, hendaknya engkau mengetahui apa yang Ia inginkan darimu, dan keempat, hendaknya engkau mengetahui apa yang dapat mengeluarkanmu dari agamamu.”[17]

Amirul Mukminin Alias berkata: “Allah mengutus para rasul-Nya supaya mereka mengingatkan manusia akan tuntutan fitrahnya, mengingatkan nikmat Ilahi kepadanya, menyampaikan hujjah Ilahi kepadanya, membangkitkan rahasia-rahasia Ilahi yang tersembunyi di dalam dirinya, dan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi yang terdapat di bumi dan langit.”[18]


[1]Surah ar-Rum: 30.
[2]Surah ar-Ra’d: 28.
[3]Surah ad-Dahr: 7-9.
[4]Nahjul Balâghah, Shubhi Salih, Khotbah 224.
[5]Surah an-Nahl: 97.
[6]Surah Ali Imran: 103.
[7]Surah an-Nahl: 90.
[8]Surah al-Maidah: 2.
[9]Al-‘Urwah al-Wutsqâ, masalah ke-67.
[10] Allah berfirman: “Barangsiapa mengingkari Allah setalah keimanannya, (maka hal itu akan mendatangkan siksa) kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih memiliki keimanan (yang kokoh).” (QS. An-Nahl: 106) Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah: ‘Kalian belum beriman. Akan tetapi, katakanlah: ‘Kami telah masuk Islam (pasrah diri), dan iman belum masuk ke dalam relung hati kalian’.” (QS. Al-Hujurat: 14) Diriwayatkan dari Rasulullah saw sebaagi hadis yang mutawatir dari kedua mazhab: “Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia tidak mengenal imam pada zamanya, maka ia meninggal dunia seperti kematian Jahiliah.” (Bihâr al-Anwâr, jilid 23, hal. 76-95)
[11]Surah Ibrahim: 10.
[12]Surah al-‘Ankabut: 61.
[13]Surah ar-Rum: 30.
[14]Surah ar-Ra’d: 16.
[15]Surah Ali ‘Imran: 188.
[16]Surah al-Jumu’ah: 1.
[17]Syeikh Shaduq, al-Khishâl, bab 4, hadis ke-87.
[18]Nahjul Balâghah, khotbah 1.